Pendahuluan
Peristiwa serangan teroris ke gedung kembar WTC di New York pada 11 September
2001 benar-benar mengejutkan dunia dan seolah menjadi babak baru terorisme
global, walaupun kenyataannya praktek-praktek terorisme telah ada sejak berabad
silam. Belum hilang rasa kaget, keprihatinan dan kesedihan yang
timbul dari peristiwa "9/11" tersebut, dunia
kembali dibuat terkejut saat Bali diguncang bom pada tanggal 12 Oktober 2002
yang kemudian membuat Indonesia menjadi fokus perhatian dunia. Dan,
kegetiran itu berlanjut ketika pada tanggal 5 Agustus 2003, Hotel J. W.
Marriot, Jakarta −sebuah hotel berbintang lima yang dianggap memiliki sistem
keamanan terbaik di Ibu Kota, porak poranda diguncang ledakan berkekuatan
tinggi serta menewaskan orang-orang yang tidak berdosa. Peristiwa-peristiwa tersebut di atas menunjukan bahwa Indonesia juga berada
dalam jangkauan operasi terorisme global.
Sejalan dengan itu, dunia juga mulai melihat sebuah geliat, di mana laut yang
selama ini relatif masih 'aman', tampaknya akan menjadi ladang kerja teroris
modern. Sebuah ide yang sebenarnya tidak baru dan telah diawali
dengan beberapa serangan terhadap obyek-obyek maritim selama dua dasawarsa
terakhir, termasuk pemboman kapal perang AS, USS Cole, dan Supertanker
Perancis, MV Limburg, di perairan Yaman pada tahun 2000 dan 2002.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara yang sebagian
perairannya menjadi alur pelayaran penting dunia serta lautnya dipenuhi
instalasi lepas pantai bernilai strategis tentunya bayangan serangan teroris di
lautnya merupakan sesuatu yang menakutkan. Tulisan ini berusaha mengetengahkan
sebuah perspektif tentang kemungkinan tergeraknya pola aktivitas terorisme
didukung aspek operasional serta didorong oleh psycological ground yang
kokoh ke domain baru, yakni Maritime Terrorism. Dan,
bila itu terjadi, maka negara kita diharapkan telah memiliki kebijakan dan
strategi untuk menghadapinya.
Terorisme
dan Terorisme Maritim
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1996) terorisme adalah "perbuatan
kekerasan yang menimbulkan kekacauan dan ketakutan kepada rakyat, terutama
berlatar belakang politik". Akhir-akhir ini, selain politik,
isu religi dan ideologi juga dianggap dapat menjadi faktor pendorong kegiatan
terorisme.
Dalam sidang Dewan Kerjasama Keamanan Asia Pasifik atau Council for
Security Cooperation in Asia Pacific (CSCAP), pada bulan Februari
2002, Kelompok Kerja Kerjasama Maritim mengkaji kandungan "maritime
terrorism". Pokja ini kemudian membuat batasan sementara bahwa
terorisme maritim merupakan kegiatan atau tindakan teroris, di mana :
a. kegiatannya
dilakukan di lingkungan maritim.
b. diarahkan pada kapal/instalasi di lepas pantai
atau pelabuhan atau terhadap personel/penumpang.
c. ditujukan pada fasilitas atau bangunan di
daerah pesisir, termasuk lokasi wisata, pelabuhan serta kota pelabuhan.
Namun demikian, definisi yang digariskan oleh CSCAP dapat dikatakan memberikan
celah di mana secara eksplisit membatasi bahwa terorisme maritim hanya
menyangkut puncak kegiatan teroris yang di-execute di
laut. Sebagai contoh, jaringan teroris yang sedang menyelundupkan senjata
atau bahan peledak untuk menghancurkan sebuah gedung kedutaan negara sahabat
tidak termasuk ke dalam kategori terorisme maritim karena "tidak diarahkan
pada personel, kapal, instalasi lepas pantai serta bangunan di wilayah
pesisir". Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila terorisme
maritim didefinisikan pada suatu tindakan atau kegiatan yang tidak
hanya menyangkut aksi-aksi langsung terhadap aspek maritim tetapi segala
sesuatu yang terkait dengan terorisme yang dilakukan di, ke dan lewat laut.
Hingga saat ini, serangan teroris yang langsung diarahkan ke ‘sasaran’ di laut
dapat dikatakan sangat jarang terjadi. Aksi terorisme maritim yang pernah
terjadi adalah pembajakan kapal Achille Lauro, pemboman USS
Cole serta peledakan tanker Limburg.
Achille Lauro adalah sebuah kapal pesiar berbendera Italia yang tengah berlayar
di lepas pantai Mesir dengan 400 penumpang beserta awak ketika dibajak oleh
sekelompok teroris pada tanggal 7 Oktober 1985. AS telah menyiapkan
tim SEAL untuk mengambil alih kapal tersebut ketika kawanan pembajak
menghentikan drama pembajakan tersebut dan menyerahkan diri kepada aparat
keamanan Mesir. Namun ketika Mesir menerbangkan para pembajak ke
tempat sesuai tuntutan mereka, F-14 AL AS menyergap pesawat komersial yang
ditumpangi para pembajak Achille Lauro dan memaksa pesawat tersebut untuk
mendarat di Sicilia. Dalam aksi pembajakan selama dua hari itu,
seorang turis warga negara AS yang berusia lanjut menjadi satu-satunya
korban.
Aksi peledakan USS Cole terjadi 5 tahun kemudian di
Yaman, pada tanggal 12 Oktober 2000. Saat itu kapal perang AS
tersebut tengah berlabuh dan didekati oleh sebuah perahu yang bermuatan bahan
peledak berkekuatan tinggi. Dalam serangan tersebut, 17 pelaut AL
AS tewas sementara 37 lainnya luka-luka. Aksi serupa terjadi lagi di Yaman dua tahun kemudian,
tepatnya pada tanggal 6 Oktober 2002. Kali ini yang menjadi sasaran
pemboman adalah sebuah kapal tanker raksasa berbendera Perancis, MV
Limburg. Akibat aksi tersebut seorang awak kapal MV Limburg yang
berkebangsaan Bulgaria tewas.
Indonesia dan Terorisme Maritim di Masa Depan
Minimnya angka serangan teroris terhadap instalasi di laut maupun kapal selama
ini terkait dengan kenyataan bahwa dari aspek operasional, target di laut lebih
sulit ditemukan dan lebih sulit pula diserang. Tingkat kesulitan
yang lebih tinggi itu dipengaruhi oleh faktor di mana untuk melakukan aksi di
laut, teroris memerlukan kecakapan yang relatif lebih tinggi serta membutuhkan
peralatan khusus dan tentunya dana yang lebih besar.
Di samping itu, terorisme membutuhkan suatu pesan yang bergema keluar dari
serangannya. Hal ini agaknya yang membuat kapal atau instalasi
lepas pantai selama ini masih tidak diminati terorisme. Berita
pemboman kapal atau rig kurang menyentuh sisi ketakutan massa karena tidak
memberikan ancaman langsung pada masyarakat dibanding serangan frontal terhadap
sarana publik di darat. Padahal, aspek kekerasan dan ketakutan
adalah inti dari terorisme itu sendiri. Carlo Pisacane, seorang
'ekstremis' Italia menyatakan bahwa kekerasan tidak hanya penting untuk
menyampaikan pesan atau mendapatkan publisitas tetapi juga merupakan sarana
informasi dan 'pendidikan' yang menggerakan massa untuk bergabung dengan
revolusi untuk menekan pihak yang berseberangan. Dalam konteks
Pisacane yang merupakan bagian dari kaum pendukung republik di Italia, penguasa
Itali kala itu merupakan musuhnya.
Namun demikian, perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini memberikan indikasi
bahwa laut tidak lagi menjadi daerah yang tidak dapat dijangkau
teroris. Tingkat para operator serangan dapat ditingkatkan
dengan latihan. Belajar dari kasus 9/11, para
pelaku memiliki kecakapan mengendalikan pesawat terbang, maka tentunya tidak
akan sulit untuk mengendalikan sebuah wahana air. Bahan peledak,
detonator, peralatan penentuan posisi, radar dan bahkan perahu atau kapal
sekalipun tampaknya tidak akan menjadi kesulitan bagi kelompok teroris modern
yang telah memiliki sumberdaya serba berkecukupan, bila mereka menginginkannya.
Dari aspek psikologis, perubahan paradigma penekanan kekerasan ala Pisacane
dapat saja diralat oleh waktu. Dan, pukulan terhadap jalur
perekonomian merupakan bentuk "kekerasan baru" dan pukulan langsung
bagi sisi kemanusiaan masa kini, utamanya bagi masyarakat dunia barat yang
belakangan menjadi sasaran teroris. Negara-negara lain, termasuk
Indonesia yang menjadi salah satu bagian dari mata rantai perekonomian global,
tidak luput dari daftar sasaran itu (Ong, 2002). Serangan ke gedung
kembar WTC di sentra bisnis AS, pemboman lokasi wisata Bali dan terakhir Hotel
J.W. Marriot merupakan serangan terhadap simbol-simbol ekonomi. Hal
ini juga diakui oleh ahli terorisme dari lembaga keamanan, Janusian
Securities, David Claridge, seperti dikutip Ong (2002).
Laut merupakan salah satu entitas penting ekonomi. Melalui Garis Penghubung Laut (GPL) atau Sea Lines of Communication (SLOC) di seluruh dunia, bahan baku, hasil industri serta komoditas lainnya diangkut dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Berarti, laut juga sangat relevan sekaligus feasible untuk dijadikan sasaran teroris modern. Selat Malaka merupakan salah satu SLOC paling ramai dan terpenting di dunia. Setiap harinya, antara 150 hingga 900 kapal melintas melalui selat ini. Tentunya, hal ini menjadikan Selat Malaka patut dijadikan fokus dalam upaya kita menangkal serangan teroris maritim di masa depan.
Terlepas dari kecilnya angka serangan teroris pada obyek maritim, laut tetap menjadi media yang penting bagi kegiatan terorisme secara keseluruhan. Seperti contoh, penyelundupan senjata maupun operator yang diseberangkan menggunakan kapal. Bahkan, diperkirakan teroris akan menggunakan laut pula sebagai sumber dananya dengan melakukan kegiatan perompakan di mana sea piracy ini bersama terorisme secara bersama-sama digolongkan ke dalam kejahatan lintas negara atau trans-national organised crime (TOC). Sebaliknya, laut juga penting bagi aparat negara untuk memerangi terorisme. Di Israel, kapal perang juga mendapat tugas untuk menghancurkan sarang-sarang teroris di pesisir.
Lawan
Terorisme Maritim
Aktivitas Terorisme Maritim
Secara umum, sasaran teroris di laut adalah kapal
perang nasional dan kapal perang asing; kapal pemerintah dan kapal niaga;
instalasi lepas pantai seperti offshore rig, pipa minyak dan kabel
bawah laut; instalasi / gedung di pesisir; resor wisata bahari; dan personel
baik masyarakat biasa maupun VIP / VVIP. Namun demikian, untuk
memerangi terorisme secara efektif, maka patut dipahami bahwa kegiatan terorisme
tidak bermula dan berakhir saat mereka menghancurkan sasarannya, tetapi
merupakan suatu proses yang berlanjut, tidak terputus serta memiliki kemampuan
untuk melakukan putaran kembali ke tahap awal.
Sebagaimana aktivitas terorisme lainnya, kegiatan teror di laut dapat dibagi ke
dalam 3 tahapan, yakni tahap pra-serangan (pre-attack), serangan (attack)
dan pasca-serangan (post-attack).
1) Tahap
Pra-Serangan
Dalam tahap ini, teroris melakukan aksi konsolidasi untuk mem-persiapkan serangannya.
Kegiatannya dapat berupa :
a) pencarian dana, misalnya dengan melakukan perompakan.
b) recruitment dengan
mencari SDM yang cakap di laut
c) perencanaan serangan
d) mobilisasi operator melalui kapal atau perahu
e) mobilisasi instrumen atau senjata dengan kapal atau perahu.
2) Tahap
Serangan
Pada tahap ini, teroris akan mengeksekusi rencananya. Kegiatan yang dapat
dilakukan di laut adalah :
a) Penghancuran instalasi lepas pantai.
b) Pembajakan kapal penumpang atau kapal niaga, kapal ikan dan lain-lain.
b) Pembajakan kapal penumpang atau kapal niaga, kapal ikan dan
c) Penghancuran kapal penumpang
atau kapal niaga, kapal ikan dan lain-lain.
d) Penyerangan kapal perang
nasional dalam hal ini KRI, kapal perang asing atau kapal negara (KN) lainnya seperti KPLP, BC, Polair.
e) Peranjauan alur pelayaran
atau perairan strategis. Bila hal ini terjadi di alur pelayaran internasional, misalnya Selat Malaka atau Selat Singapura, dampaknya akan sangat luas sekali/global.
f) Penculikan dan pelarian VIP / VVIP lewat laut
g) Pelarian sandera lewat laut
3) Tahap
Pasca-Serangan
a) Pelarian diri
b) Hibernasi (tahapan menjadi sleeping cell atau sleeping agent)
c) Regrouping
d) Konsolidasi serangan lanjutan
b. Kegiatan
Lawan Terorisme/Terorisme Maritim
Kegiatan lawan terorisme dapat dilakukan oleh suatu negara tidak hanya untuk
menghancurkan terorisme dengan sasaran-sasaran di laut tetapi juga menyerang
cell teroris yang bergiat di daratan. Pada dasarnya, kegiatan lawan
terorisme juga dibagi berdasarkan tahapan serangan teroris itu
sendiri. Namun, patut digarisbawahi bahwa inti dari konsep
memerangi teroris adalah aksi yang dilakukan oleh pemerintah harus dapat mendahului
tahapan yang dilakukan oleh teroris.
1) Pra-Serangan
a) Operasi
Intelijen
(1) Pengumpulan data
dan informasi awal tentang kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan aksi teror,
seperti markas, check point, daerah latihan, tempat perlindungan
atau safe house, contact person, sumber pendanaan,
rute-rute perjalanan, penemuan dan penyadapan alat komunikasi dan lain-lain.
(2) Analisa data
untuk meramalkan trend operasi bahkan rencana rinci serangan yang akan
dilaksanakan.
b) Upaya
preventif dengan melakukan patroli laut guna:
(1) menjaga alur
pendekat pelabuhan;
(2) menjaga daerah
lego jangkar;
(3) mengamankan
pelabuhan dan sarananya;
(4) melokalisasi atau memblokade jalur masuk personel, pasokan instrumen dan senjata lewat laut; serta
(5) penjagaan
instalasi-instalasi penting lepas pantai serta obyek terapung lainnya yang
diperkirakan akan menjadi sasaran penyerangan.
c) Upaya Pre-Emptive dapat
dilakukan secara terbuka dan tertutup.
(1) Operasi pre-emptive secara
terbuka dengan me-laksanakan serbuan lewat laut dengan menggunakan BTK atau
satuan peperangan laut khusus seperti Denjaka, Kopaska atau Taifib untuk menghancurkan
sasaran-sasaran di darat.
(2) Operasi tertutup
dilakukan dengan cara menghancurkan sistem komunikasi teroris, menciduk
personel teroris, simpatisan atau donatur.
2) Saat
Serangan
a) Upaya
Represif dilakukan ketika teroris telah dan sedang menyerang dengan melakukan
serbuan lewat laut baik untuk membebaskan sandera atau merebut kembali
instalasi yang diduduki.
b) Hot
Pursuit ketika pelaku melakukan pelarian sandera lewat laut.
3) Pasca
Serangan
a) Evaluasi menyangkut
bagaimana serangan teroris telah dilakukan sebagai bahan pencegahan di waktu
yang akan datang.
b) Evaluasi
menyangkut dampak yang ditimbulkan dan mencari solusi untuk menekan dampak
tersebut bila serangan serupa terulang. Dengan meminimalkan atau
bahkan mengeliminir dampak yang ditimbulkan akan menyurutkan keinginan teroris
yang ingin mendapatkan dampak maksimal.
c) Investigasi dan operasi intelijen
untuk memperoleh data dan informasi menyangkut serangan yang telah terjadi
misalnya untuk mencari tempat pelaku menyembunyikan diri dan rencana serangan
selanjutnya
d) Rehabilitasi
tempat sasaran ledakan dengan bantuan salvage, atau melakukan
survei penelitian hidro-oseanografi.
e) Konsolidasi dengan cara melakukan latihan,
pengawasan perbatasan, dan lain-lain.
Beberapa Skenario Terburuk
Beberapa skenario lapangan terburuk yang mungkin terjadi di perairan Indonesia
dan sekitarnya adalah:
a. Pemanfaatan tindakan perompakan oleh kelompok
teroris sebagai kegiatan pengumpulan dana.
b. Penculikan VIP/VVIP.
c. Pembajakan atau peledakan
kapal tanker di Selat Malaka sehingga menutup jalur pelayaran penting namun
sempit itu. Atau, kapal tanker tersebut dapat dilayarkan ke
perairan Indonesia, Malaysia atau Singapura dan diledakan di kawasan penimbunan
bahan bakar minyak atau gas. Hal tersebut tentunya akan memberikan
dampak mengerikan baik bagi negara terkait serta menimbulkan kerugian ekologis
yang tidak sedikit.
d. Penghancuran pipa minyak atau
kabel komunikasi bawah laut.
Kendala
a. Kendala pertama yang akan
dihadapi dalam memerangi terorisme maritim adalah masih rendahnya koordinasi
antar instansi operasional di laut akibat penonjolan ego sektoral serta
ketiadaan perangkat lunak yang mampu mensinergikan setiap upaya yang dilakukan
di laut.
b. Celah koordinasi antar negara
karena wilayah gerak teroris modern yang tidak lagi mengenal batas negara.
c. Masih kurangnya pengalaman dan
pemahaman tentang konsep terorisme maritim itu sendiri.
S
a r a n
a. Meningkatkan koordinasi antar institusi
untuk mengoptimalkan pengumpulan data dan informasi serta kesatuan aksi.
b. Meningkatkan kerjasama dengan negara lain untuk
mempersempit gerak dan kemampuan jaringan teroris.
c. Merumuskan langkah-langkah teknis dalam mengamankan
sasaran-sasaran terorisme maritim misalnya dengan memperkuat pengamanan dan
memperketat akses masuk pelabuhan, alur pendekat pelabuhan atau daerah lego
jangkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar