Oleh: Laksamana Muda TNI Agus Setiadji S.AP
PENDAHULUAN
Berdirinya sebuah negara tidak terlepas
dari bagaimana proses pembentukannya. Dengan mengetahui terbentuknya negara,
maka dapat dipelajari kemampuan negara tersebut dalam menghadapi berbagai
ancaman dalam rangka mempertahankan eksistensi negara. Demikian pula berdirinya
negara Indonesia tidak lepas dari sejarah masa lalu, diawali sejarah
kerajaan-kerajaan yang ada dan pernah
berdiri di tanah air, ratusan tahun penjajahan oleh bangsa asing, serta
pergerakan perjuangan rakyatnya yang menuntut kemerdekaan. Indonesia sendiri
merupakan sebuah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.499
pulau dengan 5.696 pulau bernama,[1] oleh karena itu geopolitik lndonesia sudah seharusnya sejalan dengan posisi
geografis sebagai negara kepulauan. Rezim negara kepulauan
pertama kali diperkenalkan di Indonesia saat “Deklarasi Djuanda” pada tanggal 13 Desember 1957, yang menyatakan
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan, yang sebelumnya mengacu pada Teritoriale
Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).[2]
Konstelasi geografis
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut yang sangat luas,
terbentang pada jalur pelintasan dan transportasi internasional yang sangat
strategis, berimplikasi pada munculnya peluang sekaligus tantangan geopolitik
dan geostrategi, dalam rangka mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah. Presiden RI Ir. Joko Widodo telah
mengembalikan pandangan nasional untuk membangun negara berlandaskan geografis
sebagai negara maritim, melalui visi “Terwujudnya Indonesia Berdaulat, Mandiri,
Dan Berkepribadian Berdasarkan Gotong Royong”,[3]
dengan sembilan agenda prioritas (Nawa Cita) yang pada agenda pertama adalah “menghadirkan kembali negara untak melindungi
segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui
pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya
dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan
nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim”.[4]
Selain itu berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002, tentang Pertahanan
Negara, maka konsep pertahanan negara pada Pasal 3 ayat 2 menyebutkan “Pertahanan negara disusun dengan
memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan”. Orientasi
pertahanan negara harus mengacu kepada archipelagic oriented, bukan lagi
land oriented. Archipelagic
Oriented mengandung makna bahwa pertahanan negara tidak lagi inward
looking, melainkan outward looking. Ketentuan tersebut senada dengan
rumusan tentang ancaman dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002, yang
tidak lagi menyebutkan ancaman dari dalam negeri dan ancaman luar negeri,
melainkan dinyatakan lebih jelas dengan istilah ancaman militer dan ancaman non
militer.
Pelaksanaan fungsi pertahanan negara
merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa dan negara dengan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama yang didukung oleh komponen
cadangan dan komponen pendukung. Komponen cadangan adalah sumber daya nasional
yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan
memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama, sedangkan komponen pendukung
adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan
dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Bangsa Indonesia harus
memiliki kekuatan pertahanan maritim yang handal dan profesional dalam rangka
menjadikan Indonesia sebagai negara besar dunia yang disegani. Bangsa Indonesia
juga harus memiliki karakter bangsa yang sesuai dengan jati diri sebagai
manusia yang hidup di wilayah kepulauan dan memiliki jiwa kemaritiman yang telah
mengakar pada nilai-nilai sila-sila dalam Pancasila yang antara lain adalah religius,
ulet, toleransi dan kekeluargaan dan kerja sama.
KETAHANAN NASIONAL DAN KEKUATAN NASIONAL
Konsepsi
Ketahanan Nasional adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional (national power) melalui pengaturan dan
penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan selaras
dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan terpadu berlandaskan UUD RI tahun
1945 dan Wawasan Nusantara. Dengan kata lain konsepsi Ketahanan Nasional
merupakan pedoman untuk meningkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa Indonesia,
yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dengan
pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Ketahanan nasional adalah kondisi
dinamis suatu bangsa yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan
untuk mengembangkan ketahanan nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun
dari luar, secara langsung maupun yang tidak langsung yang mengancam dan
membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta
perjuangan dalam mewujudkan tujuan nasional (Lemhannas RI, 2012). Ketahanan
nasional adalah kondisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan, dibina terus
menerus dan sinergis, mulai dari pribadi, keluarga, lingkungan, daerah dan
nasional bermodalkan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional. Proses berkelanjutan untuk mewujudkan kondisi
tersebut dilakukan berdasarkan pemikiran geostrategis yang dirancang dengan
memerhatikan kondisi bangsa dan konstelasi geografi Indonesia sebagai negara
maritim.
Ketahanan Nasional merupakan istilah
khas Indonesia. Konsepsi
Ketahanan Nasional memiliki latar belakang sejarah kelahirannya di Indonesia.
Gagasan tentang Ketahanan Nasional bermula pada awal tahun 1960-an pada
kalangan militer angkatan darat dari SSKAD yang sekarang berubah menjadi
SESKOAD (Sunardi, 1997). Pada masa itu sedang meluas pengaruh komunisme seperti
di Laos, Vietnam dan beberapa negara lain, sampai ke Indonesia melalui Partai
Komunis Indonesia (PKI). Ketahanan Nasional kemudian semakin populer
sejak tahun 1965, terutama pasca tragedi G-30S-PKI dan setelah berdirinya
Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia.
Dalam
bukunya yang berjudul “Politic Among
Nation” yang telah dipublikasikan pertama kali pada tahun 1948, Hans J.
Morgenthau menyebutkan elemen-elemen kekuatan nasional, yang mengandung makna
enam unsur yang harus dimiliki oleh suatu negara agar memiliki kekuatan
nasional yang besar. Bercermin kepada sejarah nasional yang terjadi, bangsa
Indonesia lebih memilih untuk menggunakan Ketahanan Nasional (National Resilience) daripada Kekuatan
nasional (National Power),
dikarenakan istilah Ketahanan Nasional dipandang lebih sesuai dengan dinamika
sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang selama berabad-abad lamanya berhasil
mempertahankan kelangsungan hidupnya (survival)
sebagai sebuah bangsa.
Perjuangan
bangsa Indonesia mengalami pasang surut dan beberapa kali telah terjadi
pemberontakan dan pengkhianatan yang bahkan terjadi pada saat bangsa Indonesia
sedang mempertahankan kemerdekaannya. Kondisi tersebut membuat beberapa
pengamat asing memrediksi bahwa negara Indonesia yang luas dengan bentuk
konstelasi geografi sebagai negara kepulauan, terdiri dari berbagai agama,
beratus etnis dan suku, tidak akan berumur panjang dan suatu saat akan tercerai
berai menjadi beberapa negara kecil seperti yang terjadi di negara
Yugoslavia. Pada kenyataannya ternyata
Bangsa Indonesia masih tetap eksis dan sampai dengan sekarang bahkan tampil
sebagai salah satu negara besar yang diakui oleh dunia. Jawaban dari pertanyaan kenapa Indonesia tidak terpecah seperti
beberapa negara lain, bukan sekedar dikarenakan bangsa Indonesia memiliki
kekuatan nasional (national power)
yang besar, namun lebih kepada kemampuan
Indonesia membentuk “ketahanan sebagai
sebuah bangsa”.
Kekuatan
nasional (national power) adalah kombinasi antara kekuatan dan kemampuan negara
yang menggunakan negara untuk mencapai kepentingan nasional dan tujuan nasional
(Padelford and Lincoln, 1967)
sementara Hartman memandang bahwa
kekuatan nasional sebagai kemampuan suatu negara untuk mencapai tujuan
nasional. Elemen-elemen kekuatan nasional menurut Hans J. Morgenthau, terdiri
dari: (1) faktor geografis, (2) sumber daya alam, (3) kemampuan
industri, (4) kekuatan
militer (military strength), (5)
populasi penduduk, (6) karakter
nasional serta (7) kualitas
diplomasi. Sedangkan Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis suatu
bangsa yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk
mengembangkan ketahanan nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun
dari luar, secara langsung maupun yang tidak langsung yang mengancam dan
membahayakan integritas identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta
perjuangan dalam mewujudkan tujuan nasional, terdiri dari gatra Alamiah (Tri Gatra: geografi, sumber
kekayaan alam dan kependudukan) serta Gatra Sosial
(Panca Gatra: Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya serta Pertahanan
Keamanan).
MEWUJUDKAN INDONESIA SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA
Kata “maritim” diartikan
berkenaan dengan laut atau berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan.[5]
Pengertian yang lebih luas tentang maritim, selain menyangkut sumber-sumber
daya intern laut, juga menyangkut faktor ekstern laut yaitu pelayaran,
perdagangan, lingkungan pantai dan pelabuhan, aspek konektivitas serta
faktor-faktor strategis lainnya. Kata maritim mengandung arti integrasi atau
gabungan, menunjuk suatu lingkungan kelautan serta bukan menunjuk kepada
institusi tertentu. Mengalir dari uraian di atas, bangsa lndonesia patut
bersyukur, karena secara geografis, Tuhan Yang Maha Kuasa telah memosisikan
wilayah laut lndonesia sebagai salah satu poros maritim dunia. Pertanyaannya
adalah, apakah bangsa lndonesia dapat memanfaatkannya?
Memanfaatkan posisi strategis lndonesia sebagai poros maritim dunia sesungguhnya
merupakan keharusan, karena menyangkut upaya-upaya terhadap peningkatan
kesejahteraan bangsa dalam mencapai cita-cita nasional, sehingga diperlukan
kemampuan aspek maritim, yaitu kemampuan ekonomi, politik dan militer dari
suatu bangsa, yang diwujudkan melalui kemampuan dalam menggunakan laut untuk
kepentingan sendiri, serta mencegah penggunaan laut oleh pihak lain, yang
merugikan pihak sendiri. Oleh karena itu perlu dirumuskan peluang-peluang, yang
diorientasikan kepada kepentingan para pengguna poros maritim dunia, antara
lain penyediaan tempat berlabuh yang aman dan nyaman bagi kapal singgah, pemeliharaan
atau menunggu tempat sandar, penyediaan pelabuhan bongkar muat yang efisien,
penyediaan galangan kapal, mewajibkan penggunaan pandu, penyediaan sarana rekreasi
dan wisata, penyediaan sistem informasi yang cepat, dukungan manajemen yang
efektif serta masih banyak lagi peluang yang dapat digali agar para pengguna
laut untuk lebih memilih berhenti bahkan menjadikan lndonesia sebagai tempat
transit.
Jaminan keamanan tidak saja diperlukan oleh pengguna laut, tetapi juga
bagi lndonesia sebagai negara pantai, agar tidak terjadi pelanggaran hukum
maupun pelanggaran kedaulatan. lndonesia memiliki kedaulatan penuh di wilayah
NKRI yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya serta
ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya. Di wilayah daratan sampai dengan batas garis air rendah (low water line) atau garis pangkal (base line), termasuk teluk dan muara
sungai yang dibatasi garis pangkal (perairan pedalaman), merupakan wilayah
negara yang mempunyai kedaulatan mutlak. Wilayah laut yang meliputi laut
teritorial dan perairan kepulauan, merupakan wilayah negara dengan kedaulatan
yang dibatasi, sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982. Wilayah laut tersebut
mengakomodasikan berbagai kepentingan internasional seperti lintas damai,
lintas transit maupun lintas alur laut kepulauan. Selain itu lndonesia juga
memiliki hak-hak lain, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan dan hukum
internasional di wilayah perairan yurisdiksi nasional, yang terdiri atas zona
tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen, seperti perikanan,
pertambangan, pelestarian lingkungan laut dan penanggulangan berbagai kejahatan
di laut. Oleh karena itu penegakan kedaulatan dan hukum di laut, harus juga
diselenggarakan sesuai ketentuan hukum laut internasional, dan dilakukan oleh
otoritas yang mewakili negara pantai, yang merupakan bagian dari wilayah
kedaulatan negara. Sedangkan di luar wilayah perairan yurisdiksi nasional,
lndonesia juga memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga, melindungi kepentingan
nasional di dan atau lewat laut, berdasarkan peraturan perundangan dan hukum
internasional.
Adanya perbedaan antara perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut
territorial, pada dasarnya ditentukan oleh hak dan kewajiban negara kepulauan,
serta juga hak dan kewajiban yang dimiliki oleh negara lain di perairan
tersebut, yaitu hak pelayaran dan penerbangan serta pemanfaatan perairan
kepulauan dan laut teritorial. Kedaulatan yang dimiliki oleh negara kepulauan
dapat dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa hak yang dapat dinikmati oleh
negara lain, seperti memberikan dan mengakomodasikan hak berlayar melalui
perairan kepulauan, kewajiban untuk menghormati perjanjian yang telah ada
dengan negara lain sebelum pemberlakuan konvensi hukum laut, mengakui hak
perikanan tradisional, mengakui adanya aktivitas yang sah lainnya, serta
menghormati keberadaan kabel bawah laut dan memperbolehkan kegiatan
pemeliharaan/ penggantian kabel. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia, disebutkan bahwa lndonesia mempunyai
kedaulatan (sovereignty) di perairan
lndonesia, dengan wilayah yang terdiri dari perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial lndonesia. Pembatasan penunjukan wilayah
kedaulatan negara lndonesia tersebut, sesuai dengan ketentuan dalam konvensi
hukum laut yang menyatakan bahwa negara pantai/kepulauan di wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen, hanya mempunyai hak berdaulat (sovereign right). Konsekuensi sebagai
negara kepulauan, mewajibkan Indonesia untuk mengakomodasikan kepentingan
internasional, khususnya pelayaran dan penerbangan melalui wilayah perairan
kepulauan dan laut teritorialnya. Sesuai dengan konvensi hukum laut, setidaknya
ada tiga jenis lintas yang diatur yaitu lintas damai, lintas alur laut
kepulauan dan lintas transit, selain itu negara kepulauan diminta untuk menghormati
hak negara tetangga, terkait dengan kegiatan/kepentingan yang sah di perairan
kepulauannya, diantaranya adalah lintas pelayaran dan penerbangan.
Dalam pidato
tentang visi maritim dan poros maritim dunia, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa “sudah lama bangsa
Indonesia memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk”. Dengan visi maritim
nasional, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia
tentang pemahaman sebagai bangsa maritim beserta konsekuensi-konsekuensi dalam
menata peradaban. Pada dasarnya
wilayah perairan merupakan
pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam
orasi kebudayaannya di Dewan Kesenian Jakarta, Hilmar Farid (2014) menyebutkan
fakta-fakta yang tak terbantahkan tentang eksistensi sebagai negara maritim. Walaupun
Indonesia pada dasarnya merupakan negara maritim, tetapi semenjak Majapahit
runtuh empat abad lalu, bangsa Indonesia lebih banyak membangun peradaban di
darat, seolah lupa bahwa Sriwijaya dan Majapahit meraih kejayaannya karena
laut. Negara Indonesia secara geografi adalah sebuah archipelagic
state, yang kebetulan ada benjolan-benjolan tanah di dalam perairan yang
menjadikannya gugusan pulau-pulau. Hasil dari pelacakan Andrian Lapian (2009),
kata archipelago memiliki akar kata dari Yunani, yakni arch
(besar, utama) dan pelagos (laut), sehingga dapat diartikan sebagai “negara
laut utama” atau “laut yang ditaburi pulau-pulau”.
Bangsa Indonesia
pada era pemahaman kontinental, menganggap bahwa negaranya adalah daratan yang
kebetulan ada perairan-perairan yang melingkupinya. Paradigma yang terbalik ini
membuat bangsa Indonesia menganggap bahwa perairan-perairan sebagai pemisah
antara pulau dan suku, serta bukan sebagai pemersatu. Paradigma
ini membuat bangsa Indonesia kurang berhasil membangun Nusantara dalam arti
sebenarnya, karena sistem-sistem dan tata sosial, ekonomi dan politik, hanya
sekedar jiplakan dari hasil budaya kontinental. Salah satu aspek paradigma
terbalik adalah bahwa betapa bangsa Indonesia melupakan lautan, bisa dilihat
dari penilaian ekonomi nasional. Sektor maritim Indonesia sebenarnya memiliki
potensi untuk menyumbang Rp 3.000 trilyun per tahun, namun saat ini yang
terealisasi masih sekitar Rp 290 trilyun (Sharif Sutardjo, 2014). Apabila
digarap dengan baik, sektor maritim berpotensi membuka 40 juta lapangan kerja
di Indonesia sehingga Pemerintah Indonesia tidak perlu lagi mengirim TKI,
menjadi jongos di luar negeri (Rochmin Dahuri, 2014). Selama ini kita belum
menerjemahkan potensi itu menjadi realita, karena masih memfokuskan kegiatan-kegiatan
ekonomi di darat melalui pertanian, peternakan, perkebunan dan kehutanan,
pertambangan, serta industri yang hasilnya adalah kerusakan lingkungan
dimana-mana. Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, ada
“lima pilar” yang diharapkan dapat mendukung visi tersebut, antara lain
budaya maritim, ekonomi maritim, infrastruktur maritim, diplomasi maritim dan
kekuatan pertahanan maritim.
PEMBANGUNAN KEKUATAN PERTAHANAN MARITIM
DAN KETAHANAN NASIONAL
Posisi geografi sebagai negara maritim telah
mewujudkan Indonesia sebagai negara yang plural. Pluralisme ini menjadikan
Indonesia mempunyai kekayaan alam yang berlimpah serta kekayaan budaya yang
sangat menakjubkan. Sebagai salah satu
pilar berdirinya negara, pertahanan merupakan fungsi yang vital dan menentukan
dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu sudah sudah menjadi konsekuensi
logis bahwa pertahanan negara harus memiliki kemampuan yang handal untuk
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Pertahanan negara
adalah kewajiban seluruh warga negara, seperti yang tertulis pada
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat 3, yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam upaya pembelaan negara”, Pasal 30 ayat 1, berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”, Pasal 30 ayat 2,
berbunyi “Usaha pertahanan dan keamanan
negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai
kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung” serta Pasal 30 ayat
3, berbunyi “Tentara Nasional Indonesia
terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sebagai alat
negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan
kedaulatan negara”.
Archipelagic
Oriented mengandung makna bahwa pertahanan negara
tidak lagi inward looking, melainkan outward looking.
Ketentuan tersebut senada dengan rumusan tentang ancaman dalam pasal 7 UU Nomor
3 tahu 2002, yang tidak lagi menyebutkan ancaman dari dalam negeri dan ancaman
luar negeri, melainkan dinyatakan lebih jelas dengan istilah ancaman militer
dan ancaman non militer. Ancaman militer dipersepsikan lebih bersifat outward looking, sehingga fokus
pembangunan dan penggunaan kekuatan TNI adalah untuk menghadapi ancaman militer
asing, tanpa mengabaikan pelibatan kekuatan TNI dalam menghadapi pemberontakan
bersenjata di dalam negeri. Sebagai
negara Nusantara (Archipelagic State), Indonesia memiliki ciri khas
dengan konfigurasi geografi yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan
dengan ditebari pulau-pulau besar dan kecil. Kekhasan tersebut memungkinkan
Indonesia untuk memanfaatkan ketentuan United Nation Convention on the Law
Of the Sea 1982 (UNCLOS’82) sepenuhnya.
Pengakuan dunia dalam hukum internasional
tersebut, telah mengesahkan a defined territory negara Indonesia,
sehingga Indonesia memiliki legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang
meliputi wilayah darat, laut dan udara di atasnya. Demikian pula
Indonesia juga mempunyai kedaulatan dan kewenangan untuk menjaga dan
mempertahankan integritas wilayah kelautannya, termasuk mengelola dan mengatur
orang dan barang yang ada di dalam wilayah kelautan tersebut, namun hal ini
tidak berarti meniadakan hak negara lain sesuai dengan ketentuan dalam konvensi
tersebut. Secara legal formal, Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan
dalam hukum internasional tersebut, termasuk kewajiban Indonesia untuk menjamin
keamanan wilayah kelautan, khususnya sebagai Sea Lines Of Communication
(SLOC). Bila kewajiban ini diabaikan, dalam arti bahwa
kapal-kapal niaga negara pengguna merasa tidak aman saat melintas di perairan
Indonesia, maka hal itu dapat menjadi alasan bagi mereka untuk menghadirkan
kekuatan angkatan laut negaranya. Berkaitan dengan hal tersebut
diatas diperlukan kesamaan persepsi tentang keamanan laut, khususnya bagi
komponen bangsa yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang di laut, agar action
plan yang dilaksanakan dapat tepat sasaran, terarah dan terpadu. Penegakan
kedaulatan di laut memiliki dua dimensi pemahaman, yaitu kedaulatan
negara (sovereignity) dan hak berdaulat (sovereign right)
sebagaimana dijelaskan pada pasal 2, 34, 47 dan 49 dari UNCLOS 1982.
Kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi pada negara untuk melakukan suatu
tindakan yang dianggap perlu, demi kepentingan negara, berdasarkan hukum
nasional dengan memperhatikan hukum internasional.
Dasar hukum penguasaan negara atas suatu
wilayah bersumber dari eksistensi sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Kedaulatan negara meliputi kedaulatan atas wilayah, kedaulatan atas kepentingan
nasional lainnya, serta kedaulatan atas pengawasan terhadap kegiatan di dalam
wilayah negara. Oleh karena itu negara memiliki hak dan wewenang
untuk mengatur maupun membuat peraturan hukum (legislation), mengawasi
berlakunya peraturan (control), serta menegakkan peraturan dan hukum
yang berlaku (law enforcement), demi kepentingan negara dan bangsa.
Sedangkan pasal 56 UNCLOS 1982, menyatakan bahwa hak berdaulat adalah suatu hak
negara pantai untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, atas sumber daya alam
hayati maupun non hayati di ZEE dan di Landas Kontinen, berdasarkan hukum laut
internasional. Negara memiliki hak pemanfaatan sumber daya alam, dan wewenang
mengatur/membuat peraturan hukum (legislation), mengawasi berlakunya
peraturan (control), dan menegakkan
peraturan/hukum (law enforcement) yang berkenaan dengan penegakan hak
berdaulat, serta perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam di ZEE maupun di
Landas Kontinen.
Sebagai negara maritim yang memiliki perairan
yang sangat luas dan strategis, Indonesia senantiasa berusaha untuk menjamin
stabilitas perdamaian dan keamanan di wilayah perairan yurisdiksinya terhadap
kemungkinan timbulnya konflik dan ancaman. Indonesia beserta negara kawasan,
berusaha menciptakan keamanan kawasan laut regional, termasuk di Selat Malaka
dan Selat Singapura, merupakan salah satu selat terpadat di dunia, yang menjadi
perhatian masyarakat maritim internasional. Jalur perdagangan dunia yang
menggunakan jasa angkutan laut, sebagian besar melalui perairan Indonesia,
sehingga dapat dimengerti bahwa apabila keamanan laut di perairan Indonesia
terganggu, akan berdampak terganggunya aktivitas perdagangan lewat laut, sehingga
merugikan negara pengguna.
Masalah penegakan hukum di laut menjadi salah
satu isu nasional yang sangat penting, mengingat kerugian yang dialami negara
sangat besar, akibat berbagai pelanggaran hukum; antara lain illegal
fishing, illegal migrant, illegal logging, dan illegal mining. Penegakan keamanan di laut memiliki
dua dimensi, yaitu penegakan kedaulatan dan penegakan hukum, sehingga kedua
dimensi tersebut saling terkait satu sama lain. Sistem Pertahanan Negara, yaitu
Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) diletakkan dalam format negara moderen
melalui kebijakan politik negara, sehingga memberi kesadaran dan tanggung jawab
kepada masyarakat bahwa masalah pertahanan negara bukan hanya urusan TNI
semata, melainkan masalah seluruh bangsa. Demikian pula menyangkut pembangunan
kemampuan pertahanan negara, bukan hanya tanggung jawab TNI atau Kementerian
Pertahanan, melainkan juga tanggung jawab seluruh komponen bangsa yang meliputi
pemerintahan dan segenap komponen masyarakat.
Strategi pertahanan negara harus mampu
menjawab tiga hal yang mendasar, yakni apa yang dipertahankan, dengan apa
mempertahankannya, serta bagaimana mempertahankannya. Strategi pertahanan
hendaknya dirumuskan dengan mencermati kondisi geografis, dinamika yang terjadi
pada lingkungan strategis, serta kecenderungan penggunaan persenjataan
(alutsista), baik pada lingkungan internasional maupun regional. Strategi
pertahanan Indonesia hendaknya dapat mengkaitkan dan mengintegrasikan
karakteristik kekuatan masing-masing kekuatan pertahanan, baik darat, laut dan
udara, tanpa adanya dominasi matra. Perumusan strategi pertahanan ditujukan
untuk menciptakan kekuatan pertahanan yang terpadu (integrated armed forces).
Kekuatan terpadu Indonesia terdiri dari
kekuatan darat yang interoperability
dengan kekuatan laut maupun udara, terintegrasi ke dalam strategi pertahanan
maritim. Kekuatan pertahanan hendaknya didasari strategi maritim sebagai negara
kepulauan, juga membutuhkan kekuatan udara yang tangguh dalam penyelenggaraan
pertahanan negara. Dengan lahirnya
Deklarasi Djuanda, landasan struktural dan legalitas batas perairan Indonesia
menjadi semakin jelas. Untuk mencapai posisi sebagai negara maritim, tentu
batas-batas wilayah perairan harus dijaga dengan ketat, sehingga sumber daya
yang ada di dalamnya tidak dieksploitasi dengan sembarangan. Sebagai komponen utama pertahanan negara,
Tentara Nasional Indonesia memerlukan dukungan dan peran masyarakat dalam ikut
melaksanakan fungsi utama untuk menjaga kedaulatan NKRI. Hal mendasar yang
terkait kewajiban warga negara adalah bahwa negara dapat mewajibkan setiap
warga negara untuk ikut dalam upaya pertahanan negara. Mewajibkan warga negara
untuk ikut dalam upaya pertahanan negara, adalah konteks yang konstitusional
sebagai konsekuensi menjadi warga negara dari suatu negara yang berdaulat,
sebagaimana diamanatkan dalam UUD RI tahun 1945. Dalam rangka menciptakan
kekuatan pertahanan maritim yang tangguh, perlu alokasi anggaran yang sesuai
dengan konstelasi geografis nasional. Keterbatasan alokasi anggaran dapat
diatasi dengan pendekatan prioritas dan perencanaan yang matang. Selain itu
sistem penganggaran perlu ditinjau kembali, agar efektifitas dan akuntabilitas
anggaran negara dapat dipertanggung jawabkan.
Kekuatan
pertahanan maritim pada dasarnya adalah kekuatan nasional dari suatu bangsa,
yang digunakan sebagai sarana untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di
laut, dalam rangka menjamin dan melindungi kepentingan nasional bangsa.
Kata maritim tidak menunjukkan satu atau dua institusi saja, melainkan banyak
institusi yang bernaung di bawah suatu negara maritim. Berdasarkan hal
tersebut, suatu skuadron pesawat tempur dan suatu brigade infanteri, bisa
menjadi komponen utama dari kekuatan pertahanan maritim. Fakta sejarah
menunjukkan bahwa kekuatan pesawat tempur sangat diperlukan dalam operasi
di laut, baik waktu keadaan damai, terlebih dalam situasi perang. Suatu
kegiatan operasi di laut tidak terlepas keterkaitannya dengan kegiatan operasi
di darat dan udara, demikian pula sebaliknya.
Banyak
teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli berkaitan dengan maritime power atau Sea Power. Teori yang terkenal dikemukakan oleh Perwira Tinggi
Amerika Serikat, Rear Admiral Alfred Thayer Mahan dalam bukunya yang
terkenal: "The Influence Of
Sea Power Upon History 1660-1783"[6] yang terbit pada
tahun 1890, menjelaskan teorinya dengan menggunakan contoh-contoh dari perang
antara Inggris vs Belanda pada akhir abad 17, serta perang antara Inggris
melawan Perancis pada abad 18. AT Mahan mencatat bahwa kejadian-kejadian
di laut sangat mempengaruhi kejadian-kejadian di darat. Namun seringkali
keputusan-keputusan politik yang diambil berdasarkan kejadian-kejadian di
darat, jarang mempertimbangkan aspek kemaritiman. Mahan menggaris-bawahi
bahwa Sea Power merupakan unsur yang
sangat penting bagi kejayaan suatu bangsa. Sea
Power atau kekuatan laut, pada dasarnya identik dengan Maritime Power, apabila
kekuatan-kekuatan itu diberdayakan akan meningkatkan kesejahteraan dan keamanan
negara. Sebaliknya bila kekuatan-kekuatan itu kurang diberdayakan, akan
berakibat merugikan negara atau bahkan meruntuhkan keberadaan suatu bangsa.
Komponen
kekuatan maritim suatu bangsa menurut A.T. Mahan, ada enam yaitu: (1) posisi
geografi; (2) bentuk fisik wilayah; (3) luas wilayah; (4) jumlah penduduk; (5)
watak/karakter rakyat; serta (6) sikap Pemerintah. Enam komponen kekuatan
maritim yang dikemukakan oleh A.T.Mahan pada abad 19 tersebut, sampai sekarang
masih digunakan sebagai acuan, namun dengan penambahan pemahaman dalam konteks
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Oleh
karenanya faktor-faktor dominan lain seperti tingkat penguasaan Ilmu
pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia, sumber daya alam, serta
perkembangan industri dan jasa maritim yang merupakan penggerak dari
pembangunan kekuatan maritim, juga harus dipertimbangkan pengaruhnya. Selain
A.T Mahan, ada beberapa teori lainnya tentang komponen/elemen-elemen
kekuatan maritim, antara lain dikemukakan oleh Admiral Sir Herbert Richmond dari
Royal Navy (1871-1946). Sir
Herbert Richmond berpendapat bahwa elemen-elemen Kekuatan Maritim yang penting
ada tiga, yaitu: (1) armada niaga; (2) armada tempur; (3) pangkalan di seberang
lautan. Sedangkan Admiral Wegener dari Jerman berpendapat bahwa membangun
kekuatan maritim yang kuat diperlukan: armada, posisi/pangkalan dan mentalitas
bangsa yang berorientasi maritim. Dari beberapa teori tentang kekuatan maritim
tersebut di atas, dapat disusun suatu “Anatomi Kekuatan Maritim”, yaitu: (1)
Sumber Kekuatan: geografi, sumber daya, penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sikap pemerintah, dan karakter bangsa; (2) Elemen: armada
niaga, armada tempur, armada perikanan, armada pemerintah (Bakamla,
dan lain-lain), pesawat udara tempur dan non tempur, pangkalan
termasuk pangkalan udara, serta pelabuhan dan fasillitasnya; (3) wujud
holistik berupa kekuatan maritim atau maritime
power.
Kemampuan
Maritim atau Maritime Capability
dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu kemampuan ekonomi, politik dan
militer dari suatu bangsa, yang dapat diwujudkan dalam mempengaruhi penggunaan
laut untuk kepentingan sendiri (use
the sea), serta mencegah penggunaan laut oleh pihak-pihak lain yang
merugikan pihak sendiri (sea denial).
Pada dasarnya kemampuan maritim dari suatu bangsa selalu digunakan untuk
pengendalian laut (sea control),
demi untuk kepentingan ekonomi dan kelangsungan hidup bangsa. Maritime capability dalam pengertian
yang lebih spesifik adalah suatu kemampuan militer dari suatu bangsa yang
digunakan untuk tugas-tugas pertahanan di laut, yakni dalam rangka
menegakkan kedaulatan dan hukum di laut yurisdiksi, serta dapat mempengaruhi
peristiwa-peristiwa di darat, baik melalui kehadiran dari suatu kekuatan di
laut untuk tugas-tugas patroli perbatasan, operasi bantuan, proyeksi
kekuatan, maupun dalam bentuk sebagai komponen dari operasi gabungan. Dewasa
ini kemampuan proyeksi kekuatan maupun tugas-tugas operasi bantuan, semakin
berkembang karena adanya kombinasi dengan satelit, drone, pesawat tempur yang
berbasis operasi di laut, ditambah dengan penggunaan rudal dari kapal ke
sasaran di darat, sehingga semakin meningkatkan kemampuan operasi dan taktik.
Sumber
kekuatan maritim suatu negara terdiri dari
geografi, sumber daya, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sikap
pemerintah, dan karakter bangsa. Berkaitan dengan sikap pemerintah dan
karakter bangsa, sangat ditentukan oleh visi dan misi pemerintah. Presiden
Joko Widodo secara cerdas telah mengembalikan pemikiran kejayaan bangsa Indonesia
masa lalu dengan visi maritim. Berdasarkan data (Kadin: 2015), proyeksi nilai dari aspek
kelautan mencapai sebesar 171 miliar Dolar Amerika atau setara dengan 2.359
triliun Rupiah (kurs Rp.13.800 per dollar Amerika Serikat) yang meliputi:
perikanan sebesar 437 triliun Rupiah, wilayah pesisir 770 triliun Rupiah,
bioteknologi 552 triliun Rupiah, wisata bahari 27,6 triliun Rupiah, minyak bumi
289,8 triliun Rupiah, transportasi laut 276 triliun Rupiah. Mewujudkan
transportasi terintergarsi merupakan jawaban yang paling tepat, tol laut adalah
“konektivitas laut yang efektif berupa
adanya kapal yang melayari secara rutin dan terjadwal dari barat sampai ke
timur Indonesia”. Aspek kesejahteraan tidak dapat terpisahkan dari aspek
keamanan, sehingga aspek pertahanan harus menyesuaikan konsep rencana
pembangunan nasional. Dihadapkan kepada luas wilayah laut yurisdiksi nasional
serta kepentingan kesejahteraan dalam bentuk keamanan nasional, maka kekuatan
pertahanan maritim merupakan hal mutlak harus dipenuhi.
Visi maritim Presiden Joko Widodo, merupakan elemen keenam
dari teori sea power dari AT Mahan,
yaitu “sikap pemerintah”. Presiden
juga menyampaikan bahwa dalam rangka pertahanan negara, alokasi anggaran
militer akan ditingkatkan dari sebelumnya hanya sebesar 0,8 persen dari PDB
menjadi 1,5 persen dari PDB secara bertahap, sementara rata-rata anggaran
pertahanan negara kawasan Asia Tenggara adalah 2,3 persen dari PDB. Penambahan
persentase alokasi anggaran sebesar 0,7 persen bukanlah suatu nilai yang kecil.
Dihadapkan kepada proses pembangunan kekuatan pertahanan yang membutuhkan waktu
panjang, maka perlu perencanaan yang tepat dan terinci dalam membelanjakan
anggaran pertahanan sebaik-baiknya dalam mencapai kemakmuran bangsa.
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MARITIM
Pada masa
lampau, karakter bangsa dalam antropologi
dipandang sebagai tata nilai budaya
dan keyakinan
yang mengejawantah dalam kebudayaan
suatu masyarakat
dan memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar
sebagai kepribadian
masyarakat tersebut. Karakter bangsa atau karakter nasional (national character) adalah “refers to relatively functional personality
characteristics and patterns that are prototype among the adult members of a
society. The assumption is that virtually all individuals behave in conformity
with the prescribed norms, attitudes, desires and inclinations, views and
opinions, motives and standards, beliefs and ideas, and hopes and aspirations
of an individual which he shares with other members of his nation”.[7]
Karakter bangsa pada intinya merupakan identitas nasional atau jati diri yang
melekat pada bangsa tersebut. Identitas nasional
atau jati diri suatu bangsa, pada hakekatnya merupakan penjelasan tentang
nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam aspek kehidupan suatu
bangsa. Identitas berarti ciri-ciri, sifat khas yang melekat pada suatu hal
sehingga menunjukan suatu keunikan serta membedakan dengan hal-hal lain.
Sedangkan nasional berasal dari kata “nation”
yang memiliki arti bangsa, menunjukan kesatuan komunitas sosio-kultural serta
memiliki semangat, cita-cita, tujuan, dan ideologi bersama. Untuk lebih
memahami tentang identitas bangsa adalah dengan selalu menjunjung dan
mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa tersebut, sekaligus memunculkan rasa
kebangsaan, dan semangat kebangsaan, yang sangat diperlukan untuk membangun
serta memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Karakter
sering diberi padanan kata “watak,
tabiat, perangai atau akhlak”. Dalam bahasa Inggris “character” mengandung arti “a
distinctive differentiating mark”, tanda yang membedakan secara tersendiri.
Karakter adalah keakuan rohaniah yang nampak dalam keseluruhan sikap dan
perilaku, yang dipengaruhi oleh bakat, atau potensi dalam diri dan lingkungan.
Karakter dapat berubah akibat pengaruh lingkungan, oleh karena itu perlu usaha
membangun karakter dan menjaganya agar tidak terpengaruh oleh hal-hal yang menyesatkan
dan menjerumuskan. Sebagai contoh rakyat Indonesia yang semula dikenal bersikap
ramah, memiliki rasa menghargai, suka membantu dan peduli terhadap lingkungan;
dewasa ini telah luntur tergerus arus global, berubah menjadi sikap yang kurang
terpuji, seperti mementingkan diri sendiri, mudah mencaci maki pihak lain,
mencari-cari kesalahan, tidak bersahabat dan sebagainya.
Contoh negara yang mempunyai karakter bangsa kuat dan mampu
dengan cepat membangun negaranya, antara lain Jerman dengan motto “Uber Alles” (diatas segala-galanya),
Inggris dengan semboyan “Rule the waves”
serta Korea Selatan dengan “Urinara”
(demi bangsaku). Bangsa Korea Selatan merdeka pada tanggal 15 Agustus 1945,
hanya berbeda dua hari dengan Indonesia. Korea juga mengalami perang saudara pada tahun 1950-1953, yang
menewaskan hampir 2,5 juta jiwa serta menghancurkan perekonomian dan stabilitas
negara. Dengan karakter yang unggul, Korsel mencetak prestasi yang
sangat luar biasa sekaligus menjungkirkan semua pandangan rendah terhadap
bangsa Korea. Perihnya penjajahan Jepang membuat bangsa Korea bertekad
mengalahkan prestasi bangsa Jepang. Selama kurun 1960-1990,
Korea Selatan merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat.
Memasuki tahun 1990-an, Korea semakin menunjukkan eksistensinya menjadi negara
maju dengan pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia yang tinggi, dan hingga saat ini Korsel telah mengalahkan banyak negara
dunia termasuk negara-negara Eropa. Korsel menjadi salah satu negara
eksportir barang manufaktur berteknologi tinggi utama, mulai dari elektronik,
mobil/bus, kapal, mesin-mesin, petrokimia hingga robotik. Menurut ekonom Chuk Kyo Kim dari Korea Institut for International Economic
Policy, keberhasilan Korea Selatan tidak lepas dari perhatian besar
pemerintah pada bidang pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, serta
investasi agresif di kegiatan penelitian dan pengembangan. Kesuksesan
Korea Selatan juga tidak lepas dari pembangunan karakter rakyat Korea yang
tangguh, didukung kebanggaan dan cinta produksi dalam negeri, jiwa pekerja
keras yang disiplin, pengelolaan utang
luar negeri yang baik, makro-ekonomi yang solid, dan kondisi sosial-politik
yang relatif bebas dari konflik internal.
Selain Korea, bangsa
Jepang juga mempunyai karakter yang kuat. Karakter bangsa Jepang dibentuk sejak masih kecil serta
ditularkan oleh orang tua melalui contoh dan tauladan. Prinsip moral berasal
dari kebudayaan “Samurai”. Samurai
sangat menghormati dan peduli pada orang yang lebih tua baik orang tua sendiri,
pimpinan, maupun para leluhurnya. Mereka memahami silsilah keluarga juga
asal-usulnya, mereka juga fokus kepada kepentingan bersama dan tidak memikirkan
kepentingan pribadi semata. Kejujuran adalah salah satu prinsip utama karakter bangsa
Jepang. Prinsip hidup bangsa Jepang yang terinspirasi dari “Samurai” adalah
suka bekerja keras, mau hidup hemat, loyal, inovatif, pantang menyerah, gemar
membaca serta tetap menjaga tradisi di tengah modernisasi. Kerja keras mereka
dibuktikan dengan jumlah kerja pegawai Jepang adalah 2450 jam/tahun. Perilaku
bangsa Jepang yang sangat menginspirasi dunia antara lain: (1) ramah dan sopan,
(2) ekspresif, (3) menghargai usaha dan proses (tidak hanya berorientasi pada
hasil, tetapi lebih berorientasi pada proses), serta (4) tumbuh sebagai satu
komunitas. Orang Jepang cenderung maju dan berkembang sebagai satu komunitas
daripada sebagai individu-individu yang terpisah, serta (5) prosedural, well organized, tekun, dan teliti.
Karakter nasional sangat
memengaruhi kualitas warga bangsa tersebut, sehingga dapat dijadikan landasan
serta sumber penguat terhadap elemen nasional yang lain. Jumlah populasi
penduduk yang besar namun tidak didukung kualitas yang memadai, akan menjadi
beban negara dan pada gilirannya akan menimbulkan berbagai permasalahan baru,
baik aspek politik, ekonomi maupun keamanan. Warga negara dengan karakter yang
sesuai jati diri bangsa berdasarkan geografi negaranya, akan menjadi elemen
yang sangat ampuh dalam melawan berbagai pengaruh asing. Dalam sejarah dunia
maupun nasional, kolonialisasi suatu bangsa terhadap bangsa lain selalu diawali
dengan penghancuran karakter bangsa, yang merupakan identitas nasional atau jati diri bangsa tersebut. Jati diri
bangsa selalu dibentuk oleh kondisi lingkungan maupun letak geografis dimana
mereka tinggal.
Indonesia
adalah negara kepulauan di Asia Tenggara
yang dilintasi garis khatulistiwa
dan berada di antara benua Asia
dan Australia
serta antara Samudra Pasifik
dan Samudra Hindia.
Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa
lainnya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting sejak abad
ketujuh. Letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia telah membuat terbentuknya karakter sebagai bangsa dengan
budaya maritim. Para pakar
sejarah menduga bahwa perahu telah lama memainkan peranan penting di Nusantara,
jauh sebelum bukti tertulis menyebutkannya. Dugaan ini didasarkan atas sebaran
artefak perunggu, seperti nekara, kapak, dan bejana perunggu di berbagai tempat
di Sumatera, Sulawesi Utara, Papua hingga Rote. Bukti tertulis paling tua
mengenai pemakaian perahu sebagai sarana transportasi laut, tercetak dalam
Prasasti Kedukan Bukit (16 Juni tahun 682 Masehi). Pada prasasti tersebut
diberitakan; ”Dapunta Hiya bertolak dari
Minana sambil membawa pasukan sebanyak dua laksa dengan perbekalan sebanyak 200
peti, naik perahu…”. Selain itu pada masa yang bersamaan, dalam relief
Candi Borobudur (abad ke-7-8 Masehi) dipahatkan beberapa macam bentuk kapal dan
perahu. Dari relief ini dapat direkonstruksi, dugaan bentuk-bentuk perahu atau
kapal, yang sisanya banyak ditemukan di beberapa tempat di Nusantara. Hal ini membuktikan
bahwa pada dasarnya bangsa Indonesia telah mempunyai karakter dan budaya
maritim berdasarkan letak geografi, sejak jaman dahulu. Konsekuensi pemahaman sebagai manusia maritim
adalah dengan perlunya memahami dasar-dasar ontologis hingga kosmologis tentang
eksistensi bangsa Indonesia, yang kemudian menjadi bahan dasar dalam menata
cara hidup yang berbasis pada dunia laut dan pesisir. Manusia-manusia yang
hidup berkembang dalam dimensi spasial perairan, secara alami akan menjadi
kelompok masyarakat yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif.
Tatanan sosial, ekonomi, dan politik sebagai produk budaya maritim, pada
dasarnya akan memiliki kekhasan tersendiri dan berbeda dengan produk budaya
yang lahir di atas konteks alam yang lain (Radhar Dahana, 2011).
Karakter bangsa Indonesia secara sangat tepat
diterjemahkan oleh para founding fathers dalam bentuk “Kelima Sila dalam
Pancasila”. Pancasila pada dasarnya adalah jati diri bangsa maritim Indonesia.
Karakter bangsa maritim akan lebih religius dalam menghadapi perubahan cuaca di
laut yang bisa sangat ekstrim. Bangsa maritim akan lebih toleran terhadap
perbedaan-perbedaan dikarenakan interaks yang lentur dan intens antara satu
kelompok dengan kelompok yang lain. Hal ini berbeda dengan budaya daratan yang
dipenuhi konflik dan peperangan dikarenakan kondisi geografis dan geologis yang
memaksa mereka untuk melawan atau menguasai manusia, binatang, atau lingkungan
sekitarnya. Sebagaimana contoh negara-negara di kawasan Timur Tengah, baik pada
masa silam maupun pada masa kini, yang terus dipenuhi dengan
peristiwa-peristiwa kekerasan dan peperangan. Karakter bangsa maritim sangat
mengedepankan asas kekeluargaan dalam aktivitas perekonomian mereka.
Sebagaimana contoh penjelasan Charles Beraf (2014) tentang masyarakat nelayan
di Lamalera, Nusa Tenggara Timur. Tradisi “tena laja” (penangkapan
ikan-ikan besar) masih terus dihidupkan oleh masyarakat lokal hingga saat ini.
Tradisi ini tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan konsumtif belaka, namun juga
menjadi aktivitas kultural masyarakat. Melalui tradisi ini mereka dapat menjaga
kohesivitas antar anggota kelompok, selanjutnya hasil tangkapan yang didapat
dari aktivitas ini, tidak dinikmati oleh penangkap saja, namun dibagikan kepada siapapun di
Lamalera terutama para janda dan anak yatim.
Berbagai sejarah kehidupan dan
perjuangan bangsa menempatkan karakter bangsa maritim yang religius, toleransi,
kekeluargaan dan kebersamaan, merupakan faktor perekat persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia. Karakter bangsa
Indonesia tersebut tumbuh dan berkembang menjadi jati diri bangsa yang hidup di
kepulauan Nusantara, membentuk pusat kekuatan (Center of Gravity), sehingga perlu terus dijaga dan dipertahankan.
Di dalam bukunya “On War“
Clausewitz mendifinisikan arti Center of
Gravity sebagai: “The hub of all power and movement, on which everything
depends. That is the point against which all our energies should be directed”.
(halaman 596). Dalam pengertian ini Clausewitz berbicara tentang lawan atau
musuh, dengan berasumsi, jika musuh kehilangan keseimbangan akibat melemahnya Center of Gravity, maka pukulan demi
pukulan terus dilakukan sehingga kemenangan lebih mudah tercapai. Center of Gravity bangsa Indonesia
sangat dipahami oleh kolonial penjajah VOC Belanda sehingga, dengan metoda Devide Et Impera serta merubah karakter bangsa Indonesia
menjadi kontinental, telah mampu menjajah wilayah Nusantara lebih dari 300
tahun. Selain karakter positif bangsa maritim yang mengalir
dalam darah bangsa Indonesia, terdapat pula hambatan dan kebiasaan yang
diakibatkan oleh faktor geografi maupun lingkungan sosial, yang perlu untuk
diperbaiki melalui program revolusi mental, antara lain: (1) bangsa yang hidup
di daerah dua musim yang sangat subur, cenderung malas karena semua kebutuhan
untuk hidup bisa dengan mudah didapat di sekitarnya, (2) walaupun religius,
bangsa Indonesia cenderung mudah percaya kepada hal-hal yang berbau klenik dan
irasional (tidak rasional), (3) bangsa Indonesia cenderung senang disanjung,
mudah lupa dan kurang peduli faktor sejarah, (4) kelemahan yang sangat mendasar
pada bangsa Indonesia adalah kecenderungan untuk tidak disiplin dan tidak taat
aturan.
Pendidikan karakter bangsa perlu dilaksanakan
melalui konsep gerakan nasional yang didukung oleh semua lapisan masyarakat di
pusat pemerintahan maupun daerah. Langkah yang paling efektif untuk membentuk
karakter bangsa adalah pada usia dini. Perlu
dikembangkan pengalaman belajar (learning
experiences) dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan
karakter sejak dini ke dalam diri individu generasi muda Indonesia. Proses ini
dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan, yang berlangsung
dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat.
Pada aspek aplikatif, perlu dibangun berbagai museum-museum budaya maritim di
seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Sebagai contoh, pendidikan Sekolah
Dasar (Basisschool) di Belanda
berlangsung dengan sangat sederhana dan mengena, serta memberikan pijakan dalam
membentuk karakter. Siswa-siswa SD di Belanda, setiap hari selalu diarahkan
untuk mengunjungi berbagai museum, kantor pemerintahan (gemeente kantoren) maupun komunitas lain yang menunjukkan identitas
nasional, sementara pelajaran matematika masih belum banyak diajarkan. Siswa
kelas tiga beberapa kali dibekali uang beberapa Euro dan dibawa ke pasar, diharuskan berbelanja dan mempertanggung-jawabkan hasilnya di depan
kelas. Siswa SD di Belanda dari awal juga sudah dibekali pengetahuan bahwa
geografi negaranya sebagian besar berada di bawah permukaan laut, sehingga
wajib hukumnya untuk bisa berenang serta mampu berenang dengan menggunakan
pakaian lengkap.
Saat ini Pemerintah Kabinet Kerja telah
menggulirkan gerakan nasional revolusi mental. Revolusi
Mental adalah “gerakan seluruh rakyat
Indonesia bersama Pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi
Indonesia yang lebih baik”. Perbaikan karakter bangsa Indonesia hanya bisa
dilaksanakan bilamana tetap mengacu kepada jati diri bangsa maritim yang
merupakan identitas bangsa Indonesia yang tertampil dalam nilai-nilai pada
setiap sila dalam Pancasila, dan perlu ditanamkan dalam diri manusia Indonesia
sejak dini, melalui metoda yang benar dan mengena dalam benak mereka. Pendidikan
karakter bangsa yang berjiwa maritim harus merupakan komitmen seluruh sektor
kehidupan, bukan hanya tugas sektor pendidikan nasional. Keterlibatan aktif
dari sektor-sektor pemerintahan lainnya, khususnya sektor keagamaan,
kesejahteraan, pemerintah daerah, komunikasi dan informasi, kesehatan, hukum
dan hak azasi manusia, serta pemuda dan olah raga, juga sangat menentukan
keberhasilan pembentukan karakter bangsa. Karakter bangsa maritim yang kuat
akan menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dalam kancah
nasional, regional maupun global, sehingga memperkuat elemen nasional yang lain
dalam rangka Ketahanan Nasional.
PENUTUP
Pada dasarnya setiap negara di dunia
akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dalam rangka mencapai tujuan nasional
dan cita-cita nasionalnya. Dua aspek melekat yang berkaitan dengan eksistensi
bangsa dan negara dalam kancah kehidupan nasional, regional dan global adalah
kesejahteraan (prosperity) dan
keamanan (security). Keamanan
nasional dirupakan dalam bentuk kekuatan pertahanan nasional, oleh karena itu negara harus memiliki kemampuan yang handal
untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Kekuatan
pertahanan nasional yang berdasarkan geografi dan geostrategi negara secara
langsung akan meningkatkan Ketahanan Nasional.
Pemerintah Kabinet Kerja tahun 2014-2019 menempatkan pembangunan
nasional yang berlandaskan kondisi geografi Indonesia sebagai negara maritim.
Visi ini pada dasarnya merupakan ide cemerlang dalam rangka mengembalikan jati
diri bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim, karena sumber daya di laut sangat
melimpah dan dapat dikelola untuk menyejahterakan bangsa Indonesia, dalam
rangka menjadikan Indonesia sebagai negara besar yang disegani. Visi
kemaritiman Presiden Jokowi membutuhkan kekuatan postur pertahanan yang unggul.
Postur
pertahanan yang bervisi maritim, merupakan amanat Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 3 tahun 2002, tentang Pertahanan Negara, yaitu pembangunan
pertahanan yang berdasarkan konstelasi geografi sebagai negara kepulauan. Postur pertahanan maritim
memiliki tiga aspek utama, yaitu kemampuan (capability), kekuatan (force)
dan gelar (deployment). Ketersediaan alokasi anggaran pertahanan memang
penting, namun pembangunan kekuatan pertahanan yang hanya berdasarkan alokasi
anggaran semata, akan mendapatkan kualitas dan kuantitas yang tidak sesuai
dengan kondis geografi, sehingga pada gilirannya akan membuat inefisiensi
anggaran. Alokasi anggaran pertahanan sampai tahun 2016, masih kurang dari 0,8%
dari PDB. Pemerintah saat ini akan berupaya meningkatkan alokasi anggaran
pertahanan setiap tahun, menjadi 1,5% dari PDB secara bertahap. Penambahan
alokasi anggaran sebesar 0,7% (dari 0,8% menjadi 1,5%), merupakan suatu nilai
yang cukup signifikan, sehingga perlu penajaman dan prioritas kebijakan dalam
membangun kekuatan Tri Matra Terpadu pertahanan maritim.
Membangun kejayaan maritim juga harus
ditopang dari karakter bangsa unggul, sebagai jati diri yang sesuai dengan
geografis negara. Dengan mengembalikan kembali visi pembangunan nasional yang
berciri kemaritiman, mari kita gelorakan kembali kejayaan bangsa Indonesia
dalam menyongsong masa depan yang lebih baik.
Jalesveva Jayamahe, Justru di laut kita jaya.
[2] Neelakantan, V, Eradicating Smallox in Indonesia:
“The Archipelagic Challenge. Health and History”, 2010, Halaman 12
[3] “Jalan Perubahan Untuk Indonesia
yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”, Jokowi Jusuf Kalla, 2014.
[4] Ibid
[5] Doktrin TNI Angkatan Laut, Mabes
TNI Angkatan Laut, 2001
[6] http://jurnalmaritim.com/2015/04/membedah-gagasan-a-t-mahan-tentang-sea-power/ diakses tanggal 8 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar