Minggu, 14 Mei 2017

PENERAPAN TEKNOLOGI PERTAHANAN AMERIKA SERIKAT DAN INDONESIA



Pengertian penelitian, dan pengembangan atau Litbang (Research and Development atau R&D) adalah kegiatan penelitian, dan pengembangan, dalam kaitannya dengan riset ilmiah murni, dan pengembangan aplikatif di bidang teknologi. Seals dan Richey (1994) mendefinisikan penelitian dan pengembangan sebagai suatu kajian sistematik terhadap pendesainan, pengembangan dan evaluasi program, proses dan produk pembelajaran yang harus memenuhi kriteria validitas, kepraktisan, dan efektifitas. .

 Aktivitas penelitian dan pengembangan biasanya dilakukan oleh suatu unit, lembaga atau pusat khusus yang dimiliki oleh suatu perusahaan, perguruan tinggi, atau lembaga negara, biasanya merujuk pada aktivitas yang berorientasi ke masa yang akan datang, dan untuk jangka panjang baik dalam bidang ilmu maupun dalam bidang teknologi. Bentuk penelitian murni biasanya dihasilkan oleh lembaga penelitian seperti BATAN, LIPI, LAPAN, sementara bentuk yang bersifat praktis bisa dilakukan oleh BPPT dan institusi Puslitbang/Balitbang di masing-masing Kementerian, Lembaga maupun perusahaan.

Berkaitan dengan aspek R&D, Departemen Pertahanan Amerika Serikat menempatkan kegiatan penelitian dan pengembangan alutsista menjadi salah satu bagian yang sangat sentral, karena menyangkut kegiatan lanjutan hingga penghapusan material. Alokasi anggaran Litbang (R&D) berbeda-beda tergantung tipe, model, tingkat teknologi masing-masing alutsista.  Pada bulan Maret 2014, kantor Sektretaris Pertahanan Amerika Serikat telah melaksanakan assessment biaya dan evaluasi program alutsista, menyampaikan bahwa biaya litbang pesawat tempur dan kapal selam sekitar 7% dari Life Cycle Cost (LCC) sedangkan untuk kapal permukaan sekitar 5% dari LCC. Institusi Litbang industri pertahanan di Amerika Serikat langsung berada dibawah kendali Departemen Pertahanan Amerika Serikat, sedangkan di Indonesia setiap institusi memiliki lembaga Litbang sendiri-sendiri, lengkap dengan alokasi anggarannya masing-masing (Balitbang, Dislitbang Angkatan, Litbang masing-masing perusahaan BUMN/BUMS dll).

            Ditinjau dari kemampuan industri pertahanan, dari sepuluh perusahaan senjata terbesar di dunia, tujuh diantaranya berasal dari Amerika Serikat.
           

No

Perusahaan

Negara
Penjualan      
Senjata (dalam satuan $ Juta)
% Total Penjualan





1
Lockhead Martin
AS
30.000
76
2
Boeing
AS
27.610
34
3
BAE System
Inggris
26.850
95
4
Raytheon
AS
22.500
92
5
General Dynamics
AS
20.940
66
6
Northrop Grumman
AS
19.400
77
7
EADS
Trans Eropa
15.400
21
8
United Technologies
AS
13.460
22
9
Finmecanica
Perancis
12.530
57
10
L-3 Communication
AS
10.840
82

          Industri pertahanan merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung kekuatan pertahanan suatu negara. Negara yang memiliki industri pertahanan yang kuat, akan mempunyai kemampuan lebih dalam kekuatan pertahanannya. Industri pertahanan yang kuat mempunyai dua efek utama, yakni efek langsung terhadap pembangunan kemampuan pertahanan, serta efek terhadap pembangunan ekonomi dan teknologi nasional. Dalam bidang pembangunan kemampuan pertahanan, industri pertahanan yang kuat menjamin pasokan kebutuhan alutsista dan sarana pertahanan secara berkelanjutan, yang menjadi prasyarat mutlak bagi keleluasaan dan kepastian untuk menyusun rencana pembangunan kemampuan pertahanan dalam jangka panjang, tanpa adanya kekhawatiran akan faktor-faktor politik dan ekonomi, seperti embargo atau pembatasan. Industri pertahanan dapat memberikan efek pertumbuhan ekonomi dan industri nasional, yakni ikut menggairahkan pertumbuhan industri nasional yang berskala internasional, penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup signifikan, transfer teknologi yang dapat menggairahkan sektor penelitian, dan pengembangan, sekaligus memenuhi kebutuhan sektor pendidikan nasional di bidang sains dan teknologi.
            
Pengembangan industri nasional bidang pertahanan, memerlukan kerja sama tiga pilar industri pertahanan, yaitu (1) badan penelitian/pengembangan dan perguruan tinggi, (2) industri, serta (3) Kemhan/TNI. Penyelenggaraan pengembangan industri pertahanan sebagai penjabaran dari strategi raya (grand strategy) dilaksanakan oleh Kemhan dalam bentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), yang bertugas untuk melaksanakan sinkronisasi terhadap cetak biru (blue print) pembangunan kekuatan pokok pertahanan serta cetak biru penelitian dan pengembangan alutsista TNI. KKIP berperan sangat penting dalam fase penelitian dan pengembangan alutsista sesuai tahapan diatas. KKIP dengan melibatkan pengguna (Mabes Angkatan), bertugas menyinergikan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan BUMS (Badan Usaha Milik Swasta) agar mampu berperan dalam memenuhi kebutuhan alutsista TNI secara bertahap dan berlanjut. BUMN Industri Pertahanan (BUMNIP) di Indonesia antara lain PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, PT PAL, PT Dahana dan PT LEN. Masing-masing BUMNIP tersebut memiliki spesialisasi dan kekhususan tersendiri dalam rangka penentuan sebagai lead integrator, antara lain PTDI mampu memproduksi alutsista pesawat terbang.

Berdasarkan Undang-Undang RI nomor 16 tahun 2012, serta dihadapkan kepada tahapan LCC alutsista, Pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membangun dan mengembangkan industri pertahanan agar kuat, maju, mandiri dan berdaya saing. Industri pertahanan tersebut meliputi industri alat utama, industri alat utama dan penunjang, industri komponen dan pendukung serta industri bahan baku

Alutsista identik dengan penguasaan teknologi tinggi serta integrasi berbagai teknologi. Kemampuan industri pertahanan dalam membuat alutsista tidak dapat dikelompokkan secara parsial. Sebagai contoh sebuah kapal perang yang dibangun oleh PT PAL, bisa jadi menggunakan meriam buatan PT Pindad, sistem radio, ESM, IFF dan Combat Management System buatan PT LEN, dan dilengkapi dengan Rudal Anti Kapal Permukaan atau roket yang merupakan hasil kerjasama antara PTDI, PT Dahana dan lain-lain. KKIP harus mampu memetakan kemampuan masing-masing BUMN dan BUMS dalam membuat alutsista yang handal.

Pengelompokan industri pertahanan menurut fungsi dan teknologi pertahanan, meliputi:

a.       Industri yang memproduksi sarana-prasarana alutsista yang memfokuskan “daya gerak” (rantis, ranpur, kapal, pesawat udara).

b.        Industri yang dapat memproduksi senjata, amunisi dan bahan peledak atau yang memfokuskan “daya tempur”.

c.           Industri yang memproduksi peralatan elektronika untuk keperluan produk K4IPP (Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer, Informasi, Pengamatan dan Pengintaian).

d.      Industri yang bergerak di bidang sistem senjata yang terintegrasi (Fire Control System/Combat Management System)

e.          Industri yang bergerak di bidang perbekalan, baik yang mempunyai spesialisasi bekal makanan maupun bekal perlengkapan perorangan/prajurit.

           Peningkatan kemampuan industri pertahanan nasional yang memiliki teknologi tinggi  berkaitan dengan kualitas penelitian dan pengembangan alutsista, dengan indikator keberhasilan sebagai berikut:

a.   Lembaga penelitian dan pengembangan industri pertahanan, dapat menjadi sarana mengejar ketertinggalan teknologi militer dengan berperan aktif memenuhi persyaratan teknis alutsista TNI, serta bekerja sama dengan KKIP, Litbang Angkatan/ Balitbang Kemhan serta perguruan tinggi.

b.    Munculnya produk-produk industri pertahanan yang dapat dimanfaatkan TNI, bahkan dapat di ekspor.

c.   Sinergi yang saling mendukung/menguntungkan antara Kementerian dan Lembaga yang bertanggung jawab atas kesiapan alutsista. DPR, Kementerian PPN/Bappenas, Kemhan, Kemkeu, Kemenristek Dikti, Perguruan Tinggi, Industri pertahanan, dan lembaga penelitian nasional, dapat memahami perencanaan strategis, kebutuhan operasi, spesifikasi teknis dan persyaratan kelaikan militer, dalam menghasilkan alutsista yang dikehendaki pengguna.

d.         Industri pertahanan memahami jabaran skala prioritas alutsista yang dibutuhkan TNI, dalam rangka pembangunan kekuatan pertahanan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.

e.          Memperjuangkan alih teknologi dan kandungan lokal sebanyak mungkin (>35%) dalam setiap kontrak pengadaan alutsista, dengan memberi kesempatan kepada SDM Angkatan/Kemhan, industri nasional dan lembaga penelitian dan pengembangan yang lain, untuk berperan dalam alih teknologi.

f.     Terpenuhinya kemampuan teknologi  terhadap industri bahan baku pembuat alutsista.

g.   Terpenuhinya industri yang memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai teknologi kesenjataan dalam bentuk alutsista yang mempunyai daya gentar dan fire power tinggi.

Saat ini KKIP, Kemristek/Dikti, Kemhan dan TNI telah membangun landasan pijakan dalam bentuk cetak biru tahapan yang perlu dilalui untuk mengembangkan alutsista sampai dengan tahun 2024. Cetak biru tersebut merupakan perpaduan program antara KKIP, Kemhan/TNI, Dewan Riset Nasional, dengan keterangan KKIP melaksanakan fungsi sebagai pengambil kebijakan dalam industri pertahanan, Kemhan/TNI sebagai pengguna yang memahami rencana pembangunan kekuatan pokok dan kekuatan ideal pertahanan, Dewan Riset Nasional (DRN) yang berada di bawah koordinasi Kemristek Dikti, membidani penelitian dan pengembangan bersifat riset terapan tentang alutsista.

Teknologi tinggi dan ilmu terapan Industri Pertahanan yang telah dikuasai dari proses Industri Pertahanan dikembangkan pada perguruan tinggi nasional. Dalam meningkatkan sumber daya manusia yang diperlukan untuk menguasai ilmu terapan Industri Pertahanan serta teknologi pertahanan dan keamanan. Pemerintah mendorong kerja sama antar semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan jaringan informasi, ilmu pengetahuan pertahanan dan keamanan, serta teknologi Industri Pertahanan.

Dalam rangka meningkatkan kemampuan teknologi pertahanan dalam negeri, berdasarkan Undang-Undang nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengguna (Tentara Nasional Indonesia) wajib menggunakan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan produksi dalam negeri.
b. Pengguna wajib melakukan pemeliharaan dan perbaikan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan di dalam negeri.
c.    Dalam hal Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dalam negeri belum dapat dipenuhi oleh Industri Pertahanan, Pengguna dan Industri Pertahanan dapat mengusulkan untuk menggunakan produk luar negeri dengan pengadaan melalui proses langsung antar Pemerintah atau kepada pabrikan.
d.      Dalam hal kepentingan strategis nasional, DPR memberikan pertimbangan dalam pengadaan produk Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tertentu sesuai dengan politik luar negeri yang dijalankan Pemerintah.
e.       Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan produk luar negeri, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1)            Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan belum atau tidak bisa dibuat di dalam negeri;
2)            mengikutsertakan partisipasi Industri Pertahanan;
3)            kewajiban alih teknologi;
4)   jaminan tidak adanya potensi embargo, kondisionalitas politik dan hambatan penggunaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara;
5)          adanya imbal dagang, kandungan lokal dan/atau ofset paling rendah 85% (delapan puluh lima persen);
6)      kandungan lokal dan/atau ofset paling rendah 35% (tiga puluh lima persen) dengan peningkatan 10% (sepuluh persen) setiap 5 (lima) tahun; dan
7)            pemberlakuan ofset paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Beberapa pengalaman yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi industri pertahanan Amerika Serikat di Indonesia, antara lain:
a.              Beberapa alutsista TNI yang berasal dari Amerika Serikat cukup beragam, mulai pesawat tempur, pesawat angkut, kapal perang, Rudal rudal canggih hingga senapan serbu, namun demikian beberapa permasalahan yang terjadi adalah dengan adanya pembatasan dalam bentuk embargo maupun pembatasan operasional alutsista. Embargo senjata maupun suku cadang telah beberapa kali dialami alutsista TNI sehingga melumpuhkan kesiapan tempur dan operasional. Kebijakan yang berkaitan dengan export licence alutsista, suku cadang, senjata maupun sistem kesenjataan sangat ditentukan oleh Pemerintah Amerika Serikat, pihak perusahaan tidak mempunyai kewenangan berkaitan dengan kebijakan ekspor kepada negara pengguna.

b.              Keterbatasan alih teknologi. Beberapa peralatan Alutsista yang dimiliki tidak dilengkapi dengan special tools dan test bench, sehingg terjadi ketergantungan dengan pabrik pembuat.

c.    Pemerintah Amerika Serikat menerapkan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan alutsistanya dengan katagori: (1) dalam negeri Amerika Serikat, (2) negara sahabat, (2) negara aliansi, (3) negara netral, (5) negara musuh. Indonesia masuk dalam kategori negara netral sehingga beberapa kategori senjata dan alutsista dengan presisi tertentu masih belum diijinkan untuk dimiliki (contoh Gyro kompas dengan presisi sangat tinggi masih belum diijinkan untuk dibeli oleh Indonesia).


[1] Undang-Undang Nomor 16 tahun 2012, tentang Industri Pertahanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkaca Pada Negara Maritim Norway Yang Saya Kunjungi

Selama beberapa hari berkunjung ke Oslo sbg ibukota negara Norway dlm rangka mengikuti sidang FAO, banyak pelajaran yg saya anggap berm...