Pengertian penelitian, dan pengembangan atau Litbang (Research
and Development atau R&D) adalah kegiatan penelitian, dan
pengembangan, dalam kaitannya dengan riset
ilmiah murni, dan pengembangan aplikatif di bidang teknologi. Seals dan Richey
(1994) mendefinisikan penelitian dan pengembangan sebagai suatu kajian
sistematik terhadap pendesainan, pengembangan dan evaluasi program, proses dan
produk pembelajaran yang harus memenuhi kriteria validitas, kepraktisan, dan
efektifitas. .
Aktivitas
penelitian dan pengembangan biasanya dilakukan oleh suatu unit, lembaga
atau pusat khusus yang dimiliki oleh suatu perusahaan, perguruan tinggi, atau
lembaga negara, biasanya merujuk pada aktivitas
yang berorientasi ke masa yang akan datang, dan untuk jangka panjang baik dalam
bidang ilmu maupun dalam
bidang teknologi. Bentuk penelitian murni biasanya dihasilkan oleh
lembaga penelitian seperti BATAN, LIPI, LAPAN,
sementara bentuk yang bersifat praktis bisa dilakukan oleh BPPT
dan institusi Puslitbang/Balitbang di masing-masing Kementerian, Lembaga maupun
perusahaan.
Berkaitan
dengan aspek R&D, Departemen Pertahanan Amerika Serikat menempatkan
kegiatan penelitian dan pengembangan alutsista menjadi salah satu bagian yang
sangat sentral, karena menyangkut kegiatan lanjutan hingga penghapusan
material. Alokasi anggaran Litbang (R&D) berbeda-beda tergantung tipe,
model, tingkat teknologi masing-masing alutsista. Pada bulan Maret 2014, kantor Sektretaris
Pertahanan Amerika Serikat telah melaksanakan assessment biaya dan evaluasi program alutsista, menyampaikan bahwa
biaya litbang pesawat tempur dan kapal selam sekitar 7% dari Life Cycle Cost
(LCC) sedangkan untuk kapal permukaan sekitar 5% dari LCC. Institusi Litbang
industri pertahanan di Amerika Serikat langsung berada dibawah kendali
Departemen Pertahanan Amerika Serikat, sedangkan di Indonesia setiap institusi
memiliki lembaga Litbang sendiri-sendiri, lengkap dengan alokasi anggarannya masing-masing
(Balitbang, Dislitbang Angkatan, Litbang masing-masing perusahaan BUMN/BUMS
dll).
Ditinjau dari kemampuan industri
pertahanan, dari sepuluh perusahaan senjata terbesar di dunia, tujuh
diantaranya berasal dari Amerika Serikat.
No
|
Perusahaan
|
Negara
|
Penjualan
Senjata (dalam satuan $ Juta)
|
% Total Penjualan
|
1
|
Lockhead Martin
|
AS
|
30.000
|
76
|
2
|
Boeing
|
AS
|
27.610
|
34
|
3
|
BAE System
|
Inggris
|
26.850
|
95
|
4
|
Raytheon
|
AS
|
22.500
|
92
|
5
|
General Dynamics
|
AS
|
20.940
|
66
|
6
|
Northrop Grumman
|
AS
|
19.400
|
77
|
7
|
EADS
|
Trans Eropa
|
15.400
|
21
|
8
|
United Technologies
|
AS
|
13.460
|
22
|
9
|
Finmecanica
|
Perancis
|
12.530
|
57
|
10
|
L-3 Communication
|
AS
|
10.840
|
82
|
Industri pertahanan merupakan salah
satu faktor penting dalam mendukung kekuatan pertahanan suatu negara. Negara
yang memiliki industri pertahanan yang kuat, akan mempunyai kemampuan lebih
dalam kekuatan pertahanannya. Industri pertahanan yang kuat mempunyai dua efek
utama, yakni efek langsung terhadap pembangunan kemampuan pertahanan, serta
efek terhadap pembangunan ekonomi dan teknologi nasional. Dalam bidang
pembangunan kemampuan pertahanan, industri pertahanan yang kuat menjamin
pasokan kebutuhan alutsista dan sarana pertahanan secara berkelanjutan, yang
menjadi prasyarat mutlak bagi keleluasaan dan kepastian untuk menyusun rencana
pembangunan kemampuan pertahanan dalam jangka panjang, tanpa adanya
kekhawatiran akan faktor-faktor politik dan ekonomi, seperti embargo atau
pembatasan. Industri pertahanan dapat memberikan efek pertumbuhan ekonomi dan
industri nasional, yakni ikut menggairahkan pertumbuhan industri nasional yang
berskala internasional, penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup signifikan,
transfer teknologi yang dapat menggairahkan sektor penelitian, dan
pengembangan, sekaligus memenuhi kebutuhan sektor pendidikan nasional di bidang
sains dan teknologi.
Pengembangan
industri nasional bidang pertahanan, memerlukan kerja sama tiga pilar industri
pertahanan, yaitu (1) badan penelitian/pengembangan dan perguruan tinggi, (2)
industri, serta (3) Kemhan/TNI. Penyelenggaraan pengembangan industri
pertahanan sebagai penjabaran dari strategi raya (grand strategy) dilaksanakan oleh Kemhan dalam bentuk Komite
Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), yang bertugas untuk melaksanakan
sinkronisasi terhadap cetak biru (blue
print) pembangunan kekuatan pokok pertahanan serta cetak biru penelitian
dan pengembangan alutsista TNI. KKIP berperan sangat penting dalam fase
penelitian dan pengembangan alutsista sesuai tahapan diatas. KKIP dengan
melibatkan pengguna (Mabes Angkatan), bertugas menyinergikan BUMN (Badan Usaha
Milik Negara) dan BUMS (Badan Usaha Milik Swasta) agar mampu berperan dalam
memenuhi kebutuhan alutsista TNI secara bertahap dan berlanjut. BUMN Industri
Pertahanan (BUMNIP) di Indonesia antara lain PT Pindad, PT Dirgantara
Indonesia, PT PAL, PT Dahana dan PT LEN. Masing-masing BUMNIP tersebut memiliki
spesialisasi dan kekhususan tersendiri dalam rangka penentuan sebagai lead integrator, antara lain PTDI mampu
memproduksi alutsista pesawat terbang.
Berdasarkan
Undang-Undang RI nomor 16 tahun 2012, serta dihadapkan kepada tahapan LCC
alutsista, Pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membangun dan
mengembangkan industri pertahanan agar kuat, maju, mandiri dan berdaya saing.
Industri pertahanan tersebut meliputi industri alat utama, industri alat utama
dan penunjang, industri komponen dan pendukung serta industri bahan baku
Alutsista
identik dengan penguasaan teknologi tinggi serta integrasi berbagai teknologi.
Kemampuan industri pertahanan dalam membuat alutsista tidak dapat dikelompokkan
secara parsial. Sebagai contoh sebuah kapal perang yang dibangun oleh PT PAL,
bisa jadi menggunakan meriam buatan PT Pindad, sistem radio, ESM, IFF dan Combat Management System buatan PT LEN,
dan dilengkapi dengan Rudal Anti Kapal Permukaan atau roket yang merupakan
hasil kerjasama antara PTDI, PT Dahana dan lain-lain. KKIP harus mampu memetakan
kemampuan masing-masing BUMN dan BUMS dalam membuat alutsista yang handal.
Pengelompokan
industri pertahanan menurut fungsi dan teknologi pertahanan, meliputi:
a. Industri yang memproduksi
sarana-prasarana alutsista yang memfokuskan “daya gerak” (rantis, ranpur,
kapal, pesawat udara).
b. Industri yang dapat memproduksi
senjata, amunisi dan bahan peledak atau yang memfokuskan “daya tempur”.
c. Industri yang memproduksi peralatan
elektronika untuk keperluan produk K4IPP (Komando, Kendali, Komunikasi,
Komputer, Informasi, Pengamatan dan Pengintaian).
d. Industri yang bergerak di bidang
sistem senjata yang terintegrasi (Fire
Control System/Combat Management System)
e. Industri yang bergerak di bidang
perbekalan, baik yang mempunyai spesialisasi bekal makanan maupun bekal
perlengkapan perorangan/prajurit.
Peningkatan kemampuan industri pertahanan nasional yang memiliki
teknologi tinggi berkaitan dengan kualitas
penelitian dan pengembangan alutsista, dengan indikator keberhasilan sebagai
berikut:
a.
Lembaga penelitian dan pengembangan
industri pertahanan, dapat menjadi sarana mengejar ketertinggalan teknologi
militer dengan berperan aktif memenuhi persyaratan teknis alutsista TNI, serta
bekerja sama dengan KKIP, Litbang Angkatan/ Balitbang Kemhan serta perguruan
tinggi.
b. Munculnya produk-produk industri
pertahanan yang dapat dimanfaatkan TNI, bahkan dapat di ekspor.
c. Sinergi yang saling mendukung/menguntungkan antara Kementerian dan Lembaga yang bertanggung jawab atas
kesiapan alutsista. DPR, Kementerian PPN/Bappenas, Kemhan, Kemkeu, Kemenristek
Dikti, Perguruan Tinggi, Industri pertahanan, dan lembaga penelitian nasional,
dapat memahami perencanaan strategis, kebutuhan operasi, spesifikasi teknis dan
persyaratan kelaikan militer, dalam menghasilkan alutsista yang dikehendaki
pengguna.
d. Industri pertahanan memahami jabaran
skala prioritas alutsista yang dibutuhkan TNI, dalam rangka pembangunan
kekuatan pertahanan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan keuangan
negara.
e. Memperjuangkan alih teknologi dan
kandungan lokal sebanyak mungkin (>35%) dalam setiap kontrak pengadaan
alutsista, dengan memberi kesempatan kepada SDM Angkatan/Kemhan, industri
nasional dan lembaga penelitian dan pengembangan yang lain, untuk berperan
dalam alih teknologi.
f. Terpenuhinya kemampuan teknologi terhadap industri bahan baku pembuat
alutsista.
g. Terpenuhinya industri yang memiliki
kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai teknologi kesenjataan dalam bentuk
alutsista yang mempunyai daya gentar dan fire
power tinggi.
Saat ini KKIP,
Kemristek/Dikti, Kemhan dan TNI telah membangun landasan pijakan dalam bentuk
cetak biru tahapan yang perlu dilalui untuk mengembangkan alutsista sampai
dengan tahun 2024. Cetak biru tersebut merupakan perpaduan program antara KKIP,
Kemhan/TNI, Dewan Riset Nasional, dengan keterangan KKIP melaksanakan fungsi
sebagai pengambil kebijakan dalam industri pertahanan, Kemhan/TNI sebagai
pengguna yang memahami rencana pembangunan kekuatan pokok dan kekuatan ideal
pertahanan, Dewan Riset Nasional (DRN) yang berada di bawah koordinasi
Kemristek Dikti, membidani penelitian dan pengembangan bersifat riset terapan
tentang alutsista.
Teknologi
tinggi dan ilmu terapan Industri Pertahanan yang telah dikuasai dari proses
Industri Pertahanan dikembangkan pada perguruan tinggi nasional. Dalam meningkatkan sumber daya manusia yang diperlukan
untuk menguasai ilmu terapan Industri Pertahanan serta teknologi pertahanan dan
keamanan. Pemerintah mendorong kerja sama antar semua unsur kelembagaan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan jaringan informasi, ilmu
pengetahuan pertahanan dan keamanan, serta teknologi Industri Pertahanan.
Dalam
rangka meningkatkan kemampuan teknologi pertahanan dalam negeri, berdasarkan
Undang-Undang nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan perlu diambil
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengguna (Tentara Nasional
Indonesia) wajib menggunakan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan produksi
dalam negeri.
b. Pengguna wajib melakukan
pemeliharaan dan perbaikan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan di dalam
negeri.
c. Dalam hal Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan dalam negeri belum dapat dipenuhi oleh Industri
Pertahanan, Pengguna dan Industri Pertahanan dapat mengusulkan untuk
menggunakan produk luar negeri dengan pengadaan melalui proses langsung antar
Pemerintah atau kepada pabrikan.
d. Dalam hal kepentingan
strategis nasional, DPR memberikan pertimbangan dalam pengadaan produk Alat
Peralatan Pertahanan dan Keamanan tertentu sesuai dengan politik luar negeri
yang dijalankan Pemerintah.
e. Pengadaan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan produk luar negeri, harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1)
Alat Peralatan Pertahanan
dan Keamanan belum atau tidak bisa dibuat di dalam negeri;
2)
mengikutsertakan
partisipasi Industri Pertahanan;
3)
kewajiban alih teknologi;
4) jaminan tidak adanya
potensi embargo, kondisionalitas politik dan hambatan penggunaan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara;
5) adanya imbal dagang,
kandungan lokal dan/atau ofset paling rendah 85% (delapan puluh lima persen);
6) kandungan lokal dan/atau
ofset paling rendah 35% (tiga puluh lima persen) dengan peningkatan 10%
(sepuluh persen) setiap 5 (lima) tahun; dan
7) pemberlakuan ofset paling
lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Beberapa pengalaman yang
berkaitan dengan pemanfaatan teknologi industri pertahanan Amerika Serikat di
Indonesia, antara lain:
a.
Beberapa
alutsista TNI yang berasal dari Amerika Serikat cukup beragam, mulai pesawat
tempur, pesawat angkut, kapal perang, Rudal rudal
canggih hingga senapan serbu, namun demikian beberapa permasalahan yang terjadi
adalah dengan adanya pembatasan dalam bentuk embargo maupun pembatasan
operasional alutsista. Embargo senjata maupun suku cadang telah beberapa kali
dialami alutsista TNI sehingga melumpuhkan kesiapan tempur dan operasional.
Kebijakan yang berkaitan dengan export
licence alutsista, suku cadang, senjata maupun sistem kesenjataan sangat
ditentukan oleh Pemerintah Amerika Serikat, pihak perusahaan tidak mempunyai
kewenangan berkaitan dengan kebijakan ekspor kepada negara pengguna.
b.
Keterbatasan alih teknologi. Beberapa
peralatan Alutsista yang dimiliki tidak dilengkapi dengan special tools dan test bench,
sehingg terjadi ketergantungan dengan pabrik pembuat.
c. Pemerintah
Amerika Serikat menerapkan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan alutsistanya
dengan katagori: (1) dalam negeri Amerika Serikat, (2) negara sahabat, (2)
negara aliansi, (3) negara netral, (5) negara musuh. Indonesia masuk dalam
kategori negara netral sehingga beberapa kategori senjata dan alutsista dengan
presisi tertentu masih belum diijinkan untuk dimiliki (contoh Gyro kompas
dengan presisi sangat tinggi masih belum diijinkan untuk dibeli oleh Indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar