Berdirinya sebuah negara tidak terlepas
dari bagaimana proses pembentukannya. Dengan mengetahui terbentuknya negara,
maka dapat dipelajari kemampuan negara tersebut dalam menghadapi berbagai
ancaman dan halangan dalam rangka mempertahankan eksistensi negara.
Mempertahankan keberlanjutan negara yang dirupakan dalam pembangunan nasional
juga tidak terlepas dari faktor geopolitik dan geostrategik negara tersebut. Sebagai
negara kepulauan yang terbesar di dunia, dengan populasi penduduk terbesar keempat
dunia, sudah selayaknya bangsa Indonesia tetap memiliki identitas bangsa yang
sesuai dengan wadah dimana mereka hidup, yaitu sebagai bangsa maritim. Jiwa
kemaritiman yang tersirat pada orang-orang laut antara lain: religius,
kemanusiaan, bersatu dan gotong royong, ulet, toleransi serta kekeluargaan dan
mufakat.
Sejarah bangsa Indonesia tidak lepas
dari cikal bakal keberadaan manusia yang mendiami bumi pertiwi serta
sejarah-sejarah kerajaan-kerajaan besar yang pernah berdiri. Kerajaan-kerajaan
besar yang pernah berjaya di Nusantara, yang dengan cakupan kekuasaan bahkan
pernah sampai di luar wilayah Indonesia, selalu memiliki kekuatan tempur (fighting power) handal serta karakter
sebagai sebuah bangsa maritim. Uniknya kerajaan-kerajaan tersebut menjadi besar
karena paham dengan jati diri bangsa dan menjadi hancur bukan karena perbedaan
agama, namun diakibatkan oleh konflik internal elite kerajaan, yang diakibatkan
oleh politik devide et impera dan
penghancuran jati diri oleh pihak penjajah.
Para ahli sependapat bahwa kekuatan
tempur/kekuatan militer (military power)
suatu negara, merupakan modal dasar dalam memperkokoh kekuatan nasional (national power), oleh karena itu
faktor-faktor penentu kekuatan tempur yaitu komponen inti harus profesional
yang dilengkapi dengan persenjataan moderen dan strategis, serta didukung oleh komponen
cadangan dan komponen pendukung yang siap setiap saat. Sebuah situs online yang bernama Global Firepower (GFP) secara periodik melakukan penilaian dan
memberikan peringkat kekuatan militer terhadap 126 negara di dunia. Peringkat
yang disebut dikenal dengan Power Index yang
disusun berdasarkan 50 faktor utama yang memengaruhi kekuatan militer suatu
negara, dan memperkenalkan istilah “firepower”.
Menurut GFP, firepower tidak hanya
berkaitan dengan kekuatan militer beserta alutsistanya semata, namun merupakan
gabungan kekuatan yang mampu menghasilkan kekuatan militer pada tingkat
kemampuan tertentu. Selain komponen utama militer, komponen
cadangan dan komponen pendukung, faktor lain yang ikut memengaruhi dan dapat
menentukan kekuatan tempur, antara lain: (1) anggaran belanja pertahanan (military axpenditure), (2) sistem
logistik nasional (infrastruktur nasional), (3) sumber daya minyak (produksi
minyak, konsumsi bahan bakar dan cadangan minyak), (4) posisi geografi negara,
(5) kesiapan SDM dan tenaga kerja (populasi dll) serta (6) keuangan negara
(komitmen pinjaman luar negeri, cadangan mata uang asing dan Purchasing Power Parity). Agar penilaian ini lebih terasa adil, maka oleh GFP, kemampuan
negara dalam mengembangkan dan memiliki persenjataan nuklir tidak menjadi
faktor penilai. Dengan model perhitungan GFP ini, maka dapat dipastikan sehebat
apapun kekuatan tempur negara Singapura, dikarenakan geografis sebagai negara
kota, tidak akan mampu menghadapi negara sekitarnya, sehingga menggunakan aspek
kekuatan ekonomi, diplomatik maupun melalui hubungan kerja sama dengan negara
besar.
Penilaian yang dibuat
oleh GFP masih bersifat kuantitatif dan bukan kualitatif, sehingga walaupun
cukup merepresentasikan kekuatan tempur suatu negara, namun masih banyak
kelemahan dalam perhitungannya. Melalui perhitungan
detail berdasarkan data terbaru, Pada tahun 2016, GFP telah menempatkan
Indonesia pada posisi yang sangat terhormat, yaitu “sebagai negara dengan firepower
terbesar ke 14 (keempat belas) dari 126 (seratus dua puluh enam) negara yang
dinilai”. Penilaian GFP menggunakan Index
Rating sebesar 0,3354 (dimana 0,0000 adalah nilai sempurna).
Beberapa hal menarik yang ditemukan untuk
dicermati tentang hasil penilaian GFP, antara lain: (1) tingginya posisi Indonesia disebabkan oleh elemen
statis (berdasarkan teori Kekuatan Nasional dariJans J. Morgenthau) atau Gatra
Alamiah (Ketahanan Nasional) yaitu geografi, kekayaan alam dan kependudukan,
(2) Perhitungan kuantitatif aspek
alutsista darat, laut dan udara Indonesia masih berada pada posisi ke 30 dunia,
(3) perlu peningkatan infrastruktur nasional dan kemampuan industri pertahanan
nasional, (4) sumber daya manusia Indonesia masih perlu ditingkatkan karena berdasarkan data Human
Development Index (HDI) yang disajikan UNDP, menunjukkan bahwa angka HDI
Indonesia masih menempati urutan ke-111 dari 182 negara.
Selain aspek kuantitatif terhadap
penilaian index power kekuatan tempur
suatu bangsa, perlu penekanan bahwa karakter bangsa sangat
menentukan kualitas dan militansi warga negara dalam membela tanah airnya.
Karakter bangsa merupakan identitas nasional atau
jati diri suatu bangsa, yang pada hakekatnya merupakan penjelasan tentang
nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam aspek kehidupan suatu
bangsa. Beberapa negara di Asia terbukti sangat
menjaga nilai-nilai luhur bangsa, yang membentuk karakter dalam rangka menjaga
kelangsungan hidup bangsa maupun berkaitan hubungan antara bangsa dan negara,
antara lain adalah bangsa Jepang dan bangsa Korea Selatan.
Karakter
bangsa Indonesia yang hidup di negara kepulauan, secara sangat tepat
diterjemahkan oleh para founding fathers dalam bentuk “Kelima Sila dalam
Pancasila”. Pancasila pada dasarnya adalah jati diri bangsa Indonesia, membentuk
pusat kekuatan (Center of Gravity),
sehingga perlu terus dijaga dan dipertahankan. Center of Gravity bangsa Indonesia sangat dipahami oleh kolonial
penjajah, sehingga dengan metoda Devide
Et Impera serta merubah karakter
bangsa Indonesia menjadi kontinental, penjajah telah mampu menguasai wilayah
Nusantara lebih dari 350 tahun. Selain karakter positif bangsa maritim yang mengalir
dalam darah bangsa Indonesia, terdapat pula tantangan dan kebiasaan yang
diakibatkan oleh faktor geografi maupun lingkungan sosial, yang perlu diperbaiki,
antara lain: (1) bangsa yang hidup di daerah dua musim yang sangat subur,
cenderung malas karena semua kebutuhan untuk hidup bisa dengan mudah didapat di
sekitarnya, (2) walaupun religius, bangsa Indonesia cenderung mudah percaya
kepada hal-hal yang berbau klenik dan irasional (tidak rasional), (3) bangsa
Indonesia cenderung senang disanjung, mudah lupa dan kurang mempedulikan faktor
sejarah, (4) kelemahan yang sangat mendasar pada bangsa Indonesia adalah
kecenderungan untuk tidak disiplin dan tidak taat aturan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar