Minggu, 14 Mei 2017

FIREPOWER INDONESIA


Berdirinya sebuah negara tidak terlepas dari bagaimana proses pembentukannya. Dengan mengetahui terbentuknya negara, maka dapat dipelajari kemampuan negara tersebut dalam menghadapi berbagai ancaman dan halangan dalam rangka mempertahankan eksistensi negara. Mempertahankan keberlanjutan negara yang dirupakan dalam pembangunan nasional juga tidak terlepas dari faktor geopolitik dan geostrategik negara tersebut. Sebagai negara kepulauan yang terbesar di dunia, dengan populasi penduduk terbesar keempat dunia, sudah selayaknya bangsa Indonesia tetap memiliki identitas bangsa yang sesuai dengan wadah dimana mereka hidup, yaitu sebagai bangsa maritim. Jiwa kemaritiman yang tersirat pada orang-orang laut antara lain: religius, kemanusiaan, bersatu dan gotong royong, ulet, toleransi serta kekeluargaan dan mufakat.

Sejarah bangsa Indonesia tidak lepas dari cikal bakal keberadaan manusia yang mendiami bumi pertiwi serta sejarah-sejarah kerajaan-kerajaan besar yang pernah berdiri. Kerajaan-kerajaan besar yang pernah berjaya di Nusantara, yang dengan cakupan kekuasaan bahkan pernah sampai di luar wilayah Indonesia, selalu memiliki kekuatan tempur (fighting power) handal serta karakter sebagai sebuah bangsa maritim. Uniknya kerajaan-kerajaan tersebut menjadi besar karena paham dengan jati diri bangsa dan menjadi hancur bukan karena perbedaan agama, namun diakibatkan oleh konflik internal elite kerajaan, yang diakibatkan oleh politik devide et impera dan penghancuran jati diri oleh pihak penjajah.

Para ahli sependapat bahwa kekuatan tempur/kekuatan militer (military power) suatu negara, merupakan modal dasar dalam memperkokoh kekuatan nasional (national power), oleh karena itu faktor-faktor penentu kekuatan tempur yaitu komponen inti harus profesional yang dilengkapi dengan persenjataan moderen dan strategis, serta didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung yang siap setiap saat. Sebuah situs online yang bernama Global Firepower (GFP) secara periodik melakukan penilaian dan memberikan peringkat kekuatan militer terhadap 126 negara di dunia. Peringkat yang disebut dikenal dengan Power Index yang disusun berdasarkan 50 faktor utama yang memengaruhi kekuatan militer suatu negara, dan memperkenalkan istilah “firepower”. Menurut GFP, firepower tidak hanya berkaitan dengan kekuatan militer beserta alutsistanya semata, namun merupakan gabungan kekuatan yang mampu menghasilkan kekuatan militer pada tingkat kemampuan tertentu. Selain komponen utama militer, komponen cadangan dan komponen pendukung, faktor lain yang ikut memengaruhi dan dapat menentukan kekuatan tempur, antara lain: (1) anggaran belanja pertahanan (military axpenditure), (2) sistem logistik nasional (infrastruktur nasional), (3) sumber daya minyak (produksi minyak, konsumsi bahan bakar dan cadangan minyak), (4) posisi geografi negara, (5) kesiapan SDM dan tenaga kerja (populasi dll) serta (6) keuangan negara (komitmen pinjaman luar negeri, cadangan mata uang asing dan Purchasing Power Parity). Agar penilaian ini lebih terasa adil, maka oleh GFP, kemampuan negara dalam mengembangkan dan memiliki persenjataan nuklir tidak menjadi faktor penilai. Dengan model perhitungan GFP ini, maka dapat dipastikan sehebat apapun kekuatan tempur negara Singapura, dikarenakan geografis sebagai negara kota, tidak akan mampu menghadapi negara sekitarnya, sehingga menggunakan aspek kekuatan ekonomi, diplomatik maupun melalui hubungan kerja sama dengan negara besar.

Penilaian yang dibuat oleh GFP masih bersifat kuantitatif dan bukan kualitatif, sehingga walaupun cukup merepresentasikan kekuatan tempur suatu negara, namun masih banyak kelemahan dalam perhitungannya. Melalui perhitungan detail berdasarkan data terbaru, Pada tahun 2016, GFP telah menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat terhormat, yaitu “sebagai negara dengan firepower terbesar ke 14 (keempat belas) dari 126 (seratus dua puluh enam) negara yang dinilai”. Penilaian GFP menggunakan Index Rating sebesar 0,3354 (dimana 0,0000 adalah nilai sempurna).
                                 
Beberapa hal menarik yang ditemukan untuk dicermati tentang hasil penilaian GFP, antara lain: (1) tingginya posisi Indonesia disebabkan oleh elemen statis (berdasarkan teori Kekuatan Nasional dariJans J. Morgenthau) atau Gatra Alamiah (Ketahanan Nasional) yaitu geografi, kekayaan alam dan kependudukan, (2) Perhitungan kuantitatif  aspek alutsista darat, laut dan udara Indonesia masih berada pada posisi ke 30 dunia, (3) perlu peningkatan infrastruktur nasional dan kemampuan industri pertahanan nasional, (4) sumber daya manusia Indonesia masih perlu ditingkatkan karena berdasarkan data Human Development Index (HDI) yang disajikan UNDP, menunjukkan bahwa angka HDI Indonesia masih menempati urutan ke-111 dari 182 negara.

Selain aspek kuantitatif terhadap penilaian index power kekuatan tempur suatu bangsa, perlu penekanan bahwa karakter bangsa sangat menentukan kualitas dan militansi warga negara dalam membela tanah airnya. Karakter bangsa merupakan identitas nasional atau jati diri suatu bangsa, yang pada hakekatnya merupakan penjelasan tentang nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam aspek kehidupan suatu bangsa. Beberapa negara di Asia terbukti sangat menjaga nilai-nilai luhur bangsa, yang membentuk karakter dalam rangka menjaga kelangsungan hidup bangsa maupun berkaitan hubungan antara bangsa dan negara, antara lain adalah bangsa Jepang dan bangsa Korea Selatan.

Karakter bangsa Indonesia yang hidup di negara kepulauan, secara sangat tepat diterjemahkan oleh para founding fathers dalam bentuk “Kelima Sila dalam Pancasila”. Pancasila pada dasarnya adalah jati diri bangsa Indonesia, membentuk pusat kekuatan (Center of Gravity), sehingga perlu terus dijaga dan dipertahankan. Center of Gravity bangsa Indonesia sangat dipahami oleh kolonial penjajah, sehingga dengan metoda Devide Et Impera  serta merubah karakter bangsa Indonesia menjadi kontinental, penjajah telah mampu menguasai wilayah Nusantara lebih dari 350 tahun. Selain karakter positif bangsa maritim yang mengalir dalam darah bangsa Indonesia, terdapat pula tantangan dan kebiasaan yang diakibatkan oleh faktor geografi maupun lingkungan sosial, yang perlu diperbaiki, antara lain: (1) bangsa yang hidup di daerah dua musim yang sangat subur, cenderung malas karena semua kebutuhan untuk hidup bisa dengan mudah didapat di sekitarnya, (2) walaupun religius, bangsa Indonesia cenderung mudah percaya kepada hal-hal yang berbau klenik dan irasional (tidak rasional), (3) bangsa Indonesia cenderung senang disanjung, mudah lupa dan kurang mempedulikan faktor sejarah, (4) kelemahan yang sangat mendasar pada bangsa Indonesia adalah kecenderungan untuk tidak disiplin dan tidak taat aturan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkaca Pada Negara Maritim Norway Yang Saya Kunjungi

Selama beberapa hari berkunjung ke Oslo sbg ibukota negara Norway dlm rangka mengikuti sidang FAO, banyak pelajaran yg saya anggap berm...