Senin, 15 Mei 2017

DIPLOMASI MARITIM


Oleh: Laksda TNI Agus Setiadji, S.AP




Melalui diplomasi maritim, kami mengajak semua mitra-mitra Indonesia untuk bekerja sama di bidang kelautan ini. Bersama-sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Laut harus menyatukan, bukan memisahkan, kita semua”. (Presiden RI, Ir. Joko Widodo, 2014).

Diplomasi adalah seni dan praktik bernegosiasi oleh seseorang (disebut diplomat) yang biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi (Kemlu, 2010). Kata diplomasi sendiri biasanya terkait dengan diplomasi internasional, yang biasanya mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi, pertahanan dan perdagangan. Perjanjian-perjanjian internasional umumnya dirundingkan oleh para diplomat terlebih dahulu sebelum disetujui oleh pembesar-pembesar negara. Istilah “diplomacy diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Burke pada tahun 1796, berdasarkan sebuah kata dari bahasa Perancis yaitu “diplomatie”.  Negara maritim adalah negara yang dikelilingi oleh laut dan menjadikan laut sebagai bagian dari sumber penghidupan, sehingga diplomasi maritim adalah negosiasi atau perundingan yang dilakukan oleh dua negara atau lebih mengenai batas laut, kerjasama maritim serta pertahanan.

Berdasarkan UNCLOS 1982, zona-zona maritim yang berada dibawah yurisdiksi nasional dibagi lagi ke dalam dua zona. Zona-zona maritim yang berada dibawah kedaulatan penuh adalah perairan pedalaman (internal water), perairan kepulauan (archipelagic water) bagi negara kepulauan, dan laut territorial (territorial sea). Zona-zona maritim yang berada dibawah wewenang dan hak khusus negara pantai adalah jalur tambahan (contiguous zone), Zona Ekonomi Eksklusiif (ZEE) dan landas kontinen. Zona-zona maritim yang berada di luar yurisdiksi nasional adalah laut lepas (high seas) dan kawasan dasar laut internasional. Mengingat fungsi laut sebagai sumber daya yang dapat dikonversi menjadi nilai ekonomi, maka aktivitas manusia dalam kaitan kepentingan pemanfaatan sumber daya laut, terkadang memperlihatkan kecenderungan tidak memperhatikan fungsi laut lainnya. Tanpa pengaturan yang tegas dalam pemanfaatan laut, akan dapat berdampak pada terjadinya konflik pemanfaatan ruang di laut. Kegiatan penambangan pasir laut dapat berdampak negatif pada ekosistem pulau-pulau kecil, kelangsungan hidup nelayan tradisional, wisata bahari dan sektor terkait lainnya. Pembangunan bagan-bagan ikan di laut ataupun lahan budi daya rumput laut yang pada akhir-akhir ini berkembang cukup pesat, dan telah meningkatkan kerawanan konflik pemanfaatan ruang laut.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 mengamanatkan perlunya penanganan secara serius terhadap penataan batas-batas maritim dengan negara-negara tetangga. Laut Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara, yakni India, Singapura, Australia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, dan Timor Leste. Dalam aspek nasional, batas daerah di laut (batas maritim antar daerah), adalah pemisah antara daerah yang berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dan daftar koordinat di peta, yang dalam implementasinya merupakan batas kewenangan pengelolaan sumber daya wilayah laut. Mengacu kepada Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 3 disebutkan bahwa wilayah daerah propinsi di laut adalah sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas atau ke arah perairan kepulauan. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat 3 juga menyebutkan bahwa kewenangan daerah Kabupaten dan Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut propinsi.

Sesuai ketentuan UNCLOS 1982, dalam penentuan batas maritim internasional, titik pangkal yang merupakan perpotongan garis air rendah (low water line) dengan pantai, yang digunakan sebagai acuan untuk mengukur lima batas maritim internasional. UNCLOS 1982 memberi kebebasan kepada tiap negara pantai untuk menentukan air rendah sebagai datum vertikal yang akan digunakan untuk delimitasi batas maritim, baik pada penentuan limit batas maritim secara unilateral, maupun pada delimitasi batas maritim secara bilateral. UNCLOS 1982 juga memberi kebebasan kepada tiap negara pantai untuk menentukan garis air pasang (high water) sebagai datum vertikal yang akan digunakan untuk delimitasi batas maritim, baik pada penentuan batas limit secara unilateral maupun pada delimitasi maritim secara bilateral. Pemilihan garis air pasang sebagai datum vertikal akan memiliki implikasi pada penentuan pulau dan elevasi pasut yang selanjutnya secara berantai akan berimplikasi pada delimitasi batas maritim.

Salah satu persoalan yang dapat memicu persengketaan antar negara, adalah masalah perbatasan (baik darat, udara maupun laut). Anggapan bahwa situasi regional kawasan Asia Pasifik dalam tiga dekade ke depan tetap aman dan damai, tidak sepenuhnya benar. Kawasan ini bertabur potensi konflik yang diakibatkan oleh berbagai persoalan, antara lain ketidak sepahaman mengenai garis batas antar negara yang belum terselesaikan, peningkatan perlombaan persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara kawasan maupun negara dari luar kawasan serta eskalasi aksi terorisme lintas negara dan gerakan sparatis bersenjata, yang dapat mengundang kesalah pahaman antar negara tetangga dan lain-lain. Faktor-faktor potensial di kawasan yang dapat menyulut persengketaan terbuka tersebut antara lain adalah persaingan antara negara besar di kawasan (Amerika Serikat dan Tiongkok), serta situasi sengketa perbatasan Laut Tiongkok Selatan yang makin memanas, yang melibatkan berbagai negara pengklaim (Claimant States), yang juga menyangkut perbatasan nasional Indonesia di ZEE dan landas kontinental di utara Kepulauan Natuna.   

Mengingat kerawanan perbatasan antar negara sering menjadi penyebab sengketa maka diplomasi maritim perlu ditujukan untuk mencapai kepentingan nasional, yakni mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan, berdaulat di bidang pertahanan, dengan latar belakang geostrategi sebagai negara maritim. Diplomasi maritim tetap dijalankan berdasarkan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Dalam Pidato pelantikannya, Presiden Jokowi menegaskan arti penting diplomasi maritim, dengan tujuan utama adalah “Jalesveva Jayamahe”, yaitu “…untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita”. Selain itu, Presiden Jokowi mengajak bangsa Indonesia mengingat himbauan “…Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti samudera; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung”.

Reorientasi kebijakan luar negeri yang ditempuh dalam upaya sistematis untuk mengedepankan aspek diplomasi maritim, adalah untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari Komunitas ASEAN 2015 (MEA), kerjasama multilateral maupun bilateral. Peran aktif Indonesia di ASEAN dalam 10 tahun telah mengembalikan peran aktif Indonesia di organisasi regional ini. Kepiawaian diplomasi Indonesia juga menonjol dalam keanggotaan aktif pada berbagai forum, seperti G7, G20, APEC, MDG’s, dan forum multilateral lainnya. Pengakuan itu juga diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Indonesia sebagai tuan rumah dan ketua dari forum-forum multilateral. Tantangan geostrategi dan geografi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, harus diwujudkan dan ditegakkan dalam konteks hukum internasional, melalui batas-batas negara yang jelas. Seperti ditegaskan Menteri Luar Negeri RI, Retno L. Marsudi (2014); kedaulatan Indonesia atas wilayah maritimnya harus ditegakkan tanpa dapat ditawar (non-negotiable). Kedaulatan maritim menuntut kapasitas dan kapabilitas Indonesia dalam mengamankan wilayah perairan/laut dari ancaman dan gangguan eksternal.

Kehadiran kekuatan militer dan kemampuan reaksi cepat dari para pemangku kepentingan keamanan maritim, menjadi syarat utama dari keberlangsungan kedaulatan negara, namun demikian kedaulatan yang bersifat teritorial, fisik dan militer, ternyata juga tidak cukup. Walaupun perlindungan terhadap wilayah laut dan udara diatasnya sangat penting, namun juga dituntut rasa nyaman dan aman  masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan, seperti nelayan, industri perkapalan maupun masyarakat maritim lainnya. Kesejahteraan ekonomi nelayan, konektivitas melalui tol laut, kemudahan kredit, pasokan BBM, merupakan sebagian dari “public goods” yang perlu disediakan pemerintah.

Rasa nyaman dan aman untuk tinggal dan melaut di wilayah perairan, akan mendorong nelayan Indonesia bekerja sama dengan aparat untuk mempertahankan wilayah laut dari gangguan kapal-kapal ilegal. Kedaulatan maritim melalui pengerahan kapal-kapal TNI Angkatan Laut dan pesawat terbang TNI Angkatan Udara, juga tetap diperlukan untuk menimbulkan efek gentar terhadap kemungkinan menyusupnya kapal-kapal/pesawat terbang asing secara ilegal.

Diplomasi maritim juga menuntut kesiapan Kementerian Luar Negeri RI sebagai leading sector dalam mengoordinasikan pelaksanaannya. Kemlu perlu mengidentifikasi negara-negara yang paling berpotensi untuk diajak bekerja sama dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Selain itu perlu keterlibatan TNI Angkatan Laut secara aktif dalam mendukung diplomasi maritim sesuai dengan teori Trinitas yang dikemukakan oleh Ken Booth (Navies and Foreign Policy, 1979), bahwa pada dasarnya semua Angkatan Laut di seluruh dunia memiliki tiga peran yaitu militer, polisional, diplomasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkaca Pada Negara Maritim Norway Yang Saya Kunjungi

Selama beberapa hari berkunjung ke Oslo sbg ibukota negara Norway dlm rangka mengikuti sidang FAO, banyak pelajaran yg saya anggap berm...