Oleh: Laksda TNI
Agus Setiadji, S.AP
“Melalui diplomasi maritim, kami mengajak semua mitra-mitra Indonesia untuk bekerja sama di bidang kelautan ini. Bersama-sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Laut harus menyatukan, bukan memisahkan, kita semua”. (Presiden RI, Ir. Joko Widodo, 2014).
Diplomasi
adalah seni dan praktik bernegosiasi oleh
seseorang (disebut diplomat)
yang biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi
(Kemlu, 2010). Kata diplomasi sendiri biasanya terkait dengan diplomasi
internasional, yang biasanya mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi,
pertahanan dan perdagangan.
Perjanjian-perjanjian internasional
umumnya dirundingkan oleh para diplomat terlebih dahulu sebelum disetujui oleh
pembesar-pembesar negara. Istilah “diplomacy” diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Edward Burke pada tahun 1796, berdasarkan sebuah kata dari bahasa Perancis
yaitu “diplomatie”. Negara maritim adalah negara yang dikelilingi oleh laut dan
menjadikan laut sebagai bagian dari sumber penghidupan, sehingga diplomasi maritim adalah
negosiasi atau perundingan yang dilakukan oleh dua negara atau lebih mengenai
batas laut, kerjasama maritim serta pertahanan.
Berdasarkan UNCLOS 1982, zona-zona maritim yang berada
dibawah yurisdiksi nasional dibagi lagi ke dalam dua zona. Zona-zona maritim
yang berada dibawah kedaulatan penuh adalah perairan pedalaman (internal water), perairan kepulauan (archipelagic water) bagi negara
kepulauan, dan laut territorial (territorial
sea). Zona-zona maritim yang berada dibawah wewenang dan hak khusus negara
pantai adalah jalur tambahan (contiguous
zone), Zona Ekonomi Eksklusiif (ZEE) dan landas kontinen. Zona-zona maritim yang berada di luar
yurisdiksi nasional adalah laut lepas (high
seas) dan kawasan dasar laut internasional. Mengingat fungsi laut sebagai
sumber daya yang dapat dikonversi menjadi nilai ekonomi, maka aktivitas manusia
dalam kaitan kepentingan pemanfaatan sumber daya laut, terkadang memperlihatkan
kecenderungan tidak memperhatikan fungsi laut lainnya. Tanpa pengaturan yang
tegas dalam pemanfaatan laut, akan dapat berdampak pada terjadinya konflik
pemanfaatan ruang di laut. Kegiatan penambangan pasir laut dapat berdampak
negatif pada ekosistem pulau-pulau kecil, kelangsungan hidup nelayan
tradisional, wisata bahari dan sektor terkait lainnya. Pembangunan bagan-bagan
ikan di laut ataupun lahan budi daya rumput laut yang pada akhir-akhir ini
berkembang cukup pesat, dan telah meningkatkan kerawanan konflik pemanfaatan
ruang laut.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985
mengamanatkan perlunya penanganan secara serius terhadap penataan batas-batas
maritim dengan negara-negara tetangga. Laut Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh)
negara, yakni India, Singapura, Australia, Malaysia, Thailand, Vietnam,
Filipina, Palau, Papua Nugini, dan Timor Leste. Dalam aspek nasional, batas
daerah di laut (batas maritim antar daerah), adalah pemisah antara daerah yang
berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dan daftar koordinat di peta,
yang dalam implementasinya merupakan batas kewenangan pengelolaan sumber daya
wilayah laut. Mengacu kepada Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pasal 3 disebutkan bahwa wilayah daerah propinsi di laut
adalah sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas atau
ke arah perairan kepulauan. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat 3 juga menyebutkan
bahwa kewenangan daerah Kabupaten dan Kota di wilayah laut adalah sejauh
sepertiga dari batas laut propinsi.
Sesuai ketentuan UNCLOS 1982, dalam penentuan batas
maritim internasional, titik pangkal yang merupakan perpotongan garis air
rendah (low water line) dengan pantai,
yang digunakan sebagai acuan untuk mengukur lima batas maritim internasional.
UNCLOS 1982 memberi kebebasan kepada tiap negara pantai untuk menentukan air
rendah sebagai datum vertikal yang akan digunakan untuk delimitasi batas maritim,
baik pada penentuan limit batas maritim secara unilateral, maupun pada
delimitasi batas maritim secara bilateral. UNCLOS 1982 juga memberi kebebasan
kepada tiap negara pantai untuk menentukan garis air pasang (high water) sebagai datum vertikal yang
akan digunakan untuk delimitasi batas maritim, baik pada penentuan batas limit
secara unilateral maupun pada delimitasi maritim secara bilateral. Pemilihan
garis air pasang sebagai datum vertikal akan memiliki implikasi pada penentuan
pulau dan elevasi pasut yang selanjutnya secara berantai akan berimplikasi pada
delimitasi batas maritim.
Salah satu persoalan yang dapat memicu persengketaan antar
negara, adalah masalah perbatasan (baik darat, udara maupun laut). Anggapan
bahwa situasi regional kawasan Asia Pasifik dalam tiga dekade ke depan tetap
aman dan damai, tidak sepenuhnya benar. Kawasan ini bertabur potensi konflik
yang diakibatkan oleh berbagai persoalan, antara lain ketidak sepahaman mengenai
garis batas antar negara yang belum terselesaikan, peningkatan perlombaan
persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara kawasan maupun
negara dari luar kawasan serta eskalasi aksi terorisme lintas negara dan
gerakan sparatis bersenjata, yang dapat mengundang kesalah pahaman antar negara
tetangga dan lain-lain. Faktor-faktor potensial di kawasan yang dapat menyulut
persengketaan terbuka tersebut antara lain adalah persaingan antara negara
besar di kawasan (Amerika Serikat dan Tiongkok), serta situasi sengketa
perbatasan Laut Tiongkok Selatan yang makin memanas, yang melibatkan berbagai
negara pengklaim (Claimant States),
yang juga menyangkut perbatasan nasional Indonesia di ZEE dan landas
kontinental di utara Kepulauan Natuna.
Mengingat kerawanan perbatasan antar negara sering menjadi
penyebab sengketa maka diplomasi maritim perlu ditujukan untuk mencapai
kepentingan nasional, yakni mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian
dalam kebudayaan, berdaulat di bidang pertahanan, dengan latar belakang
geostrategi sebagai negara maritim. Diplomasi maritim tetap
dijalankan berdasarkan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Dalam Pidato
pelantikannya, Presiden Jokowi menegaskan arti penting diplomasi maritim,
dengan tujuan utama adalah “Jalesveva
Jayamahe”, yaitu “…untuk
mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk
adalah masa depan peradaban kita”. Selain itu, Presiden Jokowi mengajak
bangsa Indonesia mengingat himbauan “…Presiden
Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi
negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki
jiwa cakrawarti samudera; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan
hempasan ombak yang menggulung”.
Reorientasi kebijakan
luar negeri yang ditempuh dalam upaya sistematis untuk mengedepankan aspek
diplomasi maritim, adalah untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari
Komunitas ASEAN 2015 (MEA), kerjasama multilateral maupun bilateral. Peran
aktif Indonesia di ASEAN dalam 10 tahun telah mengembalikan peran aktif Indonesia
di organisasi regional ini. Kepiawaian diplomasi Indonesia juga menonjol dalam
keanggotaan aktif pada berbagai forum, seperti G7, G20, APEC, MDG’s, dan forum
multilateral lainnya. Pengakuan itu juga diwujudkan dalam bentuk kepercayaan
kepada Indonesia sebagai tuan rumah dan ketua dari forum-forum multilateral. Tantangan
geostrategi dan geografi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia,
harus diwujudkan dan ditegakkan dalam konteks hukum internasional, melalui
batas-batas negara yang jelas. Seperti ditegaskan Menteri Luar Negeri RI, Retno
L. Marsudi (2014); kedaulatan Indonesia atas wilayah maritimnya harus
ditegakkan tanpa dapat ditawar (non-negotiable).
Kedaulatan maritim menuntut kapasitas dan kapabilitas Indonesia dalam
mengamankan wilayah perairan/laut dari ancaman dan gangguan eksternal.
Kehadiran kekuatan
militer dan kemampuan reaksi cepat dari para pemangku kepentingan keamanan maritim,
menjadi syarat utama dari keberlangsungan kedaulatan negara, namun demikian
kedaulatan yang bersifat teritorial, fisik dan militer, ternyata juga tidak
cukup. Walaupun perlindungan terhadap wilayah laut dan udara diatasnya sangat
penting, namun juga dituntut rasa nyaman dan aman masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada
sektor kelautan, seperti nelayan, industri perkapalan maupun masyarakat maritim
lainnya. Kesejahteraan ekonomi nelayan, konektivitas melalui tol laut,
kemudahan kredit, pasokan BBM, merupakan sebagian dari “public goods” yang perlu disediakan pemerintah.
Rasa nyaman dan aman
untuk tinggal dan melaut di wilayah perairan, akan mendorong nelayan Indonesia
bekerja sama dengan aparat untuk mempertahankan wilayah laut dari gangguan
kapal-kapal ilegal. Kedaulatan maritim melalui pengerahan kapal-kapal TNI
Angkatan Laut dan pesawat terbang TNI Angkatan Udara, juga tetap diperlukan
untuk menimbulkan efek gentar terhadap kemungkinan menyusupnya
kapal-kapal/pesawat terbang asing secara ilegal.
Diplomasi maritim juga
menuntut kesiapan Kementerian Luar Negeri RI sebagai leading sector dalam mengoordinasikan pelaksanaannya. Kemlu perlu mengidentifikasi
negara-negara yang paling berpotensi untuk diajak bekerja sama dalam rangka
mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Selain itu perlu keterlibatan
TNI Angkatan Laut secara aktif dalam mendukung diplomasi maritim sesuai dengan teori Trinitas yang dikemukakan oleh Ken
Booth (Navies and Foreign Policy, 1979), bahwa pada dasarnya semua
Angkatan Laut di seluruh dunia memiliki tiga peran yaitu militer, polisional,
diplomasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar