Selasa, 09 Mei 2017

MENGULAS "ARMS DYNAMIC" UNTUK PENGUATAN PERTAHANAN NASIONAL

 
Oleh: Laksda TNI Agus Setiadji S.AP


Pertahanan negara, yang disebut juga sebagai pertahanan nasional adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Setiap negara akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dalam melaksanakan pertahanan negara. Beberapa negara telah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai dalam membuat dan mengembangkan alutsista, berdasarkan kebutuhan operasi maupun spesifikasi teknis, serta sesuai dengan kebijakan politik dan strategi negara.

Menurut Spruill, alutsista adalah semua yang berhubungan dengan sistem senjata, kendaraan dan perlengkapan militer serta komponen-komponennya, yang digunakan langsung oleh militer untuk melaksanakan pertempuran, sedangkan Huntington mendefinisikan alutsista sebagai alat yang dapat melemahkan atau mengancam/membahayakan suatu negara yang digunakan oleh pasukan militer lawan. 

Alutsista merupakan sistem kesenjataan yang sangat kompleks karena terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Setiap alutsista dibuat sesuai dengan kemajuan teknologi yang dimiliki oleh produsen yang bersangkutan. Teknologi dan peralatan perang yang dibuat oleh suatu negara belum tentu compatible dengan negara lain. Sehingga keuntungan bagi negara yang telah mampu memenuhi kebutuhan alat peralatan perangnya adalah dalam bentuk kepastian memiliki lebih banyak kemungkinan memenangkan perang, memiliki bargaining power dan dapat selalu menjaga kerahasiaan alat tempurnya.

Selama ini terjadi berbagai polemik yang berkaitan harga alutsista yang cenderung mahal dan tidak memiliki standar harga, umur alutsista dapat dipertahankan (lifetime), pemilihan terhadap teknologi dan negara asal serta biaya daur hidup alutsista itu sendiri. Pengadaan alutsista seharusnya tidak berdasarkan pertimbangan harga yang murah, asal teknologi, kecanggihan peralatan dan teknologi semata, namun juga harus mempertimbangkan aspek kelanjutan perlakuan terhadap alutsista tersebut, seperti dukungan sarana dan prasarana, special tools, biaya operasi (bahan bakar dll), biaya latihan, ketersediaan suku cadang, biaya pemeliharaan dan perawatan sampai dengan penghapusan.

Dinamika Belanja Alutsista

Pada dasarnya setiap negara di dunia akan berusaha mempertahankan kepentingan nasionalnya serta melindungi bangsa dan negara dari setiap ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri. Salah satu tolok ukur kemampuan pertahanan negara adalah kemampuan kuantitas maupun kualitas persenjataan yang dimiliki. Sulit membedakan antara “peningkatan kemampuan persenjataan” suatu negara dan “perlombaan senjata” dengan negara lain atau sekedar usaha untuk “mempertahankan diri“, sebagai “alat deterensi” atau bahkan hanya untuk memelihara “status quo” terhadap stabilitas kawasan tertentu.

Thomas Schelling (1966) menulis tentang deterensi (kekuatan pertahanan sebagai daya penggetar), dan menyampaikan bahwa strategi militer tidak bisa lagi dijadikan standar kemenangan pertempuran. Ia berpendapat bahwa strategi militer saat ini lebih mengarah ke seni koersif atau intimidasi dan deterensi. Schelling juga mengatakan bahwa kemampuan untuk menghancurkan negara lain bisa dijadikan motivasi bagi suatu negara untuk menghindari atau memengaruhi perilaku negara lain. Untuk bersikap koersif atau mencegah negara lain menyerang negara tersebut, harus dihindari melalui proses diplomasi. Kemampuan penggunaan kekuasaan untuk bertempur sebagai daya tawar, adalah dasar dari teori deterensi, dan dikatakan berhasil apabila kekuatan tersebut tidak digunakan.

Gelombang Perlombaan Senjata

Perkembangan teknologi alutsista yang semakin mematikan, semakin presisi dan penemuan teknologi baru, telah memainkan peran penting dalam hubungan internasional. Terutama berkaitan dengan aspek perlombaan senjata (arms race) dan penentuan sampai seberapa jauh peningkatan kekuatan pertahanan suatu negara, mampu meningkatkan kekuatan nasionalnya.

Perlombaan senjata didefinisikan sebagai “penyesuaian kemampuan mesin perang secara berulang, kompetitif dan timbal balik (reciprocal) antara dua negara atau dua kelompok negara” (Steiner, 1973: 5). Huntington melihat dari segi kapan peristiwa dinamika itu terjadi dengan mendefinisikannya sebagai “peningkatan kemampuan persenjataan suatu negara atau kelompok negara secara progresif, yang terjadi pada masa damai, disebabkan perbedaan kepentingan dan saling ketakutan” (Huntington, 1958: 41). Dalam implikasi hubungan antar negara, perlombaan senjata merupakan “persaingan militer antar negara, di mana usaha peningkatkan kemampuan pertahanan salah satu pihak, akan menimbulkan ancaman bagi pihak lain” (Buzan, 1989: 69).

Implikasi dalam interaksi strategis terlihat dari konsep yang kemudian dikenal sebagai “stabilitas perlombaan senjata“. Selama bertahun-tahun “stabilitas strategis” telah menempati bagian penting bagi para pengambil keputusan militer. Konsep ini terdiri dari dua komponen, yaitu stabilitas krisis dan stabilitas perlombaan senjata. Berbeda dari stabilitas krisis (crisis stability), yang terutama mempelajari keuntungan dan resiko pengeluaran anggaran untuk membuat serangan awal pada saat krisis, “stabilitas perlombaan senjata” (arms race stability) terutama mempelajari keuntungan dan biaya penggelaran senjata-senjata baru pada masa damai.

Perlombaan senjata merupakan masalah penting dalam studi hubungan internasional, dan terutama dalam pengkajian strategi, karena menjelaskan tentang usaha salah satu negara untuk meningkatkan kekuatan nasionalnya melalui peningkatan kemampuan militer sehingga dapat dapat memengaruhi hubungan dengan negara lain.
Perlombaan senjata selalu melibatkan beberapa unsur, dengan tujuan memperoleh dominasi kekuatan militer dan kemenangan. Oleh sebab itu, istilah yang mungkin lebih tepat adalah “dinamika persenjataan”, (arms dynamic).

Konsep dinamika persenjataan menjelaskan segala sesuatu yang menyebabkan suatu negara meningkatkan kemampuan persenjataan, melalui penyesuaian kuantitas maupun kualitas sistem yang telah dimiliki. Idiom-idiom mengenai perlombaan senjata dapat berlangsung dalam perbandingan “simetris”, dimana kekuatan antar pihak yang berlomba dapat dibandingkan secara langsung, sedangkan perbandingan “asimetris”, merupakan perlombaan secara kuantitatif dan kualitatif terhadap sistem persenjataan yang tidak serupa, sebagaimana terlihat dari dinamika penggelaran persenjataan, rudal dan kapal-kapal perang.

Selain perlombaan persenjataan (arms race), saat ini masing-masing negara berusaha meningkatkan kualitas daya tempur dan daya gempur persenjataan melalui program peningkatan kemampuan senjata (arms built-up). Arms build-up adalah peningkatan secara spiral kemampuan militer suatu negara secara nyata, antara lain dari peningkatan belanja persenjataan, peningkatan kualitas personel militer, dan modernisasi sistem persenjataan. Hal ini seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor di luar  persaingan antar negara.

Pengaruh Dinamika Kawasan

Dalam konteks kondisi kawasan Asia Tenggara misalnya, akuisisi senjata dapat terjadi karena beberapa elemen dalam perlombaan senjata yang bukan karena potensi konflik langsung. Faktor lain tersebut antara lain adalah kemampuan industri persenjataan lokal, pergeseran strategi dan doktrin pertahanan, peningkatan kemampuan ekonomi, dan kemudahan untuk memperoleh persenjataan dari pasar internasional dan lain-lain.
 
Indikator yang dapat dipergunakan untuk menganalisa dinamika persenjataan adalah dengan melihat besaran anggaran pertahanan suatu negara. Persoalannya adalah tingkat relatif Produk Domestik Bruto (PDB) satu negara berbeda dari negara lain, karena anggaran pertahanan suatu negara umumnya memuat sektor pembiayaan yang berbeda dengan negara lain. Sebagai contoh walaupun anggaran pertahanan Indonesia termasuk paling kecil di Asia Tenggara, namun berbagai lembaga survei dunia, menempatkan Indonesia sebagai salah satu kekuatan tempur yang sangat disegani.

Sesuai dengan kemampuan industri pertahanan nasional, beberapa negara dapat dikategorikan sebagai negara eksportir persenjataan dan alutsista, beberapa negara lain dapat dikategorikan sebagai negara Importir, serta ada pula negara yang merupakan gabungan dari keduanya. Negara yang mempunyai kemampuan sebagai eksportir persenjataan dan alutsista, kecuali mendapatkan keuntungan dalam bentuk devisa, juga menghasilkan dampak pengganda (multiplier effect) dan daya tawar (bargaining power).
Ada beberapa alasan terjadinya penambahan alokasi anggaran pengadaan persenjataan dan alutsista dalam memperkuat pertahanan negara, antara lain: (1) Terjadinya krisis dan konflik yang menyebabkan perlu penguatan alat pertahanan dan alutsista (contoh kasus Irak, Suriah, Arab Saudi, Mesir, Turki, Nigeria, Israel); (2) Dalam rangka upaya mengimbangi kekuatan negara lain di kawasan (Polandia, Estonia, Latvia, India, Pakistan, Malaysia dan Indonesia); (3) Peningkatan eksistensi sebagai negara super power dalam menjaga kepentingan politiknya di dunia dan kawasan (Amerika Serikat, Inggris, Rusia dan Tiongkok); (4) Meningkatkan kemandirian bangsa bidang teknologi pertahanan (Turki, Jepang dan Korea Selatan); (5) Sebagai negara produsen  dalam rangka menambah devisa negara dari hasil ekspor (Belanda, Jerman, Perancis), serta (6) Walaupun tidak terjadi konflik, namun dengan kekayaan negara yang dimiliki, tetap konsisten memperkuat pertahanan dalam rangka stabilitas kawasan (Australia dan Singapura).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkaca Pada Negara Maritim Norway Yang Saya Kunjungi

Selama beberapa hari berkunjung ke Oslo sbg ibukota negara Norway dlm rangka mengikuti sidang FAO, banyak pelajaran yg saya anggap berm...