Oleh: Laksda TNI Agus Setiadji S.AP
Pertahanan negara, yang disebut juga sebagai pertahanan nasional adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Setiap negara akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dalam melaksanakan pertahanan negara. Beberapa negara telah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai dalam membuat dan mengembangkan alutsista, berdasarkan kebutuhan operasi maupun spesifikasi teknis, serta sesuai dengan kebijakan politik dan strategi negara.
Menurut Spruill, alutsista adalah semua yang berhubungan 
dengan sistem senjata, kendaraan dan perlengkapan militer serta 
komponen-komponennya, yang digunakan langsung oleh militer untuk 
melaksanakan pertempuran, sedangkan Huntington mendefinisikan 
alutsista sebagai alat yang dapat melemahkan atau mengancam/membahayakan
 suatu negara yang digunakan oleh pasukan militer lawan. 
Alutsista merupakan sistem kesenjataan yang sangat kompleks karena 
terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Setiap alutsista dibuat sesuai 
dengan kemajuan teknologi yang dimiliki oleh produsen yang bersangkutan.
 Teknologi dan peralatan perang yang dibuat oleh suatu negara belum 
tentu compatible dengan negara lain. Sehingga keuntungan bagi 
negara yang telah mampu memenuhi kebutuhan alat peralatan perangnya 
adalah dalam bentuk kepastian memiliki lebih banyak kemungkinan 
memenangkan perang, memiliki bargaining power dan dapat selalu menjaga kerahasiaan alat tempurnya.
Selama ini terjadi berbagai polemik yang berkaitan harga alutsista yang 
cenderung mahal dan tidak memiliki standar harga, umur alutsista dapat 
dipertahankan (lifetime), pemilihan terhadap teknologi dan 
negara asal serta biaya daur hidup alutsista itu sendiri. Pengadaan 
alutsista seharusnya tidak berdasarkan pertimbangan harga yang murah, 
asal teknologi, kecanggihan peralatan dan teknologi semata, namun juga 
harus mempertimbangkan aspek kelanjutan perlakuan terhadap alutsista 
tersebut, seperti dukungan sarana dan prasarana, special tools,
 biaya operasi (bahan bakar dll), biaya latihan, ketersediaan suku 
cadang, biaya pemeliharaan dan perawatan sampai dengan penghapusan.
Dinamika Belanja Alutsista
Pada dasarnya setiap negara di dunia akan berusaha mempertahankan 
kepentingan nasionalnya serta melindungi bangsa dan negara dari setiap 
ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri. Salah satu tolok ukur
 kemampuan pertahanan negara adalah kemampuan kuantitas maupun kualitas 
persenjataan yang dimiliki. Sulit membedakan antara “peningkatan kemampuan persenjataan” suatu negara dan “perlombaan senjata” dengan negara lain atau sekedar usaha untuk “mempertahankan diri“, sebagai “alat deterensi” atau bahkan hanya untuk memelihara “status quo” terhadap stabilitas kawasan tertentu.
Thomas Schelling
 (1966) menulis tentang deterensi (kekuatan pertahanan sebagai daya 
penggetar), dan menyampaikan bahwa strategi militer tidak bisa lagi 
dijadikan standar kemenangan pertempuran. Ia berpendapat bahwa strategi 
militer saat ini lebih mengarah ke seni koersif atau intimidasi dan 
deterensi. Schelling juga mengatakan bahwa kemampuan untuk menghancurkan
 negara lain bisa dijadikan motivasi bagi suatu negara untuk menghindari
 atau memengaruhi perilaku negara lain. Untuk bersikap koersif atau mencegah negara lain menyerang negara 
tersebut, harus dihindari melalui proses diplomasi. Kemampuan penggunaan
 kekuasaan untuk bertempur sebagai daya tawar, adalah dasar dari teori 
deterensi, dan dikatakan berhasil apabila kekuatan tersebut tidak 
digunakan.
Gelombang Perlombaan Senjata 
Perkembangan teknologi alutsista yang semakin mematikan, semakin 
presisi dan penemuan teknologi baru, telah memainkan peran penting dalam
 hubungan internasional. Terutama berkaitan dengan aspek perlombaan 
senjata (arms race) dan penentuan sampai seberapa jauh peningkatan kekuatan pertahanan suatu negara, mampu meningkatkan kekuatan nasionalnya.
Perlombaan senjata didefinisikan sebagai “penyesuaian kemampuan 
mesin perang secara berulang, kompetitif dan timbal balik (reciprocal) 
antara dua negara atau dua kelompok negara” (Steiner, 1973: 5). Huntington melihat dari segi kapan peristiwa dinamika itu terjadi dengan mendefinisikannya sebagai “peningkatan
 kemampuan persenjataan suatu negara atau kelompok negara secara 
progresif, yang terjadi pada masa damai, disebabkan perbedaan 
kepentingan dan saling ketakutan” (Huntington, 1958: 41). Dalam implikasi hubungan antar negara, perlombaan senjata merupakan “persaingan
 militer antar negara, di mana usaha peningkatkan kemampuan pertahanan 
salah satu pihak, akan menimbulkan ancaman bagi pihak lain” (Buzan, 1989: 69).
Implikasi dalam interaksi strategis terlihat dari konsep yang kemudian dikenal sebagai “stabilitas perlombaan senjata“. Selama bertahun-tahun “stabilitas strategis”
 telah menempati bagian penting bagi para pengambil keputusan militer. 
Konsep ini terdiri dari dua komponen, yaitu stabilitas krisis dan 
stabilitas perlombaan senjata. Berbeda dari stabilitas krisis (crisis stability), yang terutama mempelajari keuntungan dan resiko pengeluaran anggaran untuk membuat serangan awal pada saat krisis, “stabilitas perlombaan senjata” (arms race stability) terutama mempelajari keuntungan dan biaya penggelaran senjata-senjata baru pada masa damai.
Perlombaan senjata merupakan masalah penting dalam studi hubungan 
internasional, dan terutama dalam pengkajian strategi, karena 
menjelaskan tentang usaha salah satu negara untuk meningkatkan kekuatan 
nasionalnya melalui peningkatan kemampuan militer sehingga dapat dapat 
memengaruhi hubungan dengan negara lain.
Perlombaan senjata selalu melibatkan beberapa unsur, dengan tujuan 
memperoleh dominasi kekuatan militer dan kemenangan. Oleh sebab itu, 
istilah yang mungkin lebih tepat adalah “dinamika persenjataan”, (arms dynamic).
Konsep dinamika persenjataan menjelaskan segala sesuatu yang 
menyebabkan suatu negara meningkatkan kemampuan persenjataan, melalui 
penyesuaian kuantitas maupun kualitas sistem yang telah dimiliki. 
Idiom-idiom mengenai perlombaan senjata dapat berlangsung dalam 
perbandingan “simetris”, dimana kekuatan antar pihak yang berlomba dapat
 dibandingkan secara langsung, sedangkan perbandingan “asimetris”, 
merupakan perlombaan secara kuantitatif dan kualitatif terhadap sistem 
persenjataan yang tidak serupa, sebagaimana terlihat dari dinamika 
penggelaran persenjataan, rudal dan kapal-kapal perang.
Selain perlombaan persenjataan (arms race), saat ini 
masing-masing negara berusaha meningkatkan kualitas daya tempur dan daya
 gempur persenjataan melalui program peningkatan kemampuan senjata (arms built-up). Arms build-up
 adalah peningkatan secara spiral kemampuan militer suatu negara secara 
nyata, antara lain dari peningkatan belanja persenjataan, peningkatan 
kualitas personel militer, dan modernisasi sistem persenjataan. Hal ini 
seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor di luar  persaingan antar 
negara.
Pengaruh Dinamika Kawasan
Dalam konteks kondisi kawasan Asia Tenggara misalnya, akuisisi 
senjata dapat terjadi karena beberapa elemen dalam perlombaan senjata 
yang bukan karena potensi konflik langsung. Faktor lain tersebut antara 
lain adalah kemampuan industri persenjataan lokal, pergeseran strategi 
dan doktrin pertahanan, peningkatan kemampuan ekonomi, dan kemudahan 
untuk memperoleh persenjataan dari pasar internasional dan lain-lain.
Indikator yang dapat dipergunakan untuk menganalisa dinamika 
persenjataan adalah dengan melihat besaran anggaran pertahanan suatu 
negara. Persoalannya adalah tingkat relatif Produk Domestik Bruto (PDB) 
satu negara berbeda dari negara lain, karena anggaran pertahanan suatu 
negara umumnya memuat sektor pembiayaan yang berbeda dengan negara lain.
 Sebagai contoh walaupun anggaran pertahanan Indonesia termasuk paling 
kecil di Asia Tenggara, namun berbagai lembaga survei dunia, menempatkan
 Indonesia sebagai salah satu kekuatan tempur yang sangat disegani.
Sesuai dengan kemampuan industri pertahanan nasional, beberapa negara
 dapat dikategorikan sebagai negara eksportir persenjataan dan 
alutsista, beberapa negara lain dapat dikategorikan sebagai negara 
Importir, serta ada pula negara yang merupakan gabungan dari keduanya. 
Negara yang mempunyai kemampuan sebagai eksportir persenjataan dan 
alutsista, kecuali mendapatkan keuntungan dalam bentuk devisa, juga 
menghasilkan dampak pengganda (multiplier effect) dan daya tawar (bargaining power).
Ada beberapa alasan terjadinya penambahan alokasi anggaran pengadaan 
persenjataan dan alutsista dalam memperkuat pertahanan negara, antara 
lain: (1) Terjadinya krisis dan konflik yang menyebabkan perlu penguatan
 alat pertahanan dan alutsista (contoh kasus Irak, Suriah, Arab Saudi, 
Mesir, Turki, Nigeria, Israel); (2) Dalam rangka upaya mengimbangi 
kekuatan negara lain di kawasan (Polandia, Estonia, Latvia, India, 
Pakistan, Malaysia dan Indonesia); (3) Peningkatan eksistensi sebagai 
negara super power dalam menjaga kepentingan politiknya di 
dunia dan kawasan (Amerika Serikat, Inggris, Rusia dan Tiongkok); (4) 
Meningkatkan kemandirian bangsa bidang teknologi pertahanan (Turki, 
Jepang dan Korea Selatan); (5) Sebagai negara produsen  dalam rangka 
menambah devisa negara dari hasil ekspor (Belanda, Jerman, Perancis), 
serta (6) Walaupun tidak terjadi konflik, namun dengan kekayaan negara 
yang dimiliki, tetap konsisten memperkuat pertahanan dalam rangka 
stabilitas kawasan (Australia dan Singapura).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar