Oleh: Laksda TNI Agus Setiadji, S.AP
Kawasan Laut Tiongkok Selatan,[1] berada pada wilayah yang berbatasan dengan Tiongkok, Taiwan, dan sebagian negara-negara ASEAN. Dalam aspek kepentingan lalu lintas pelayaran, kawasan Laut Tiongkok Selatan merupakan salah satu jalur pelayaran dan perdagangan dunia yang sangat penting. Selain itu wilayah ini juga merupakan kawasan yang penting bagi tempat transit dan wilayah operasional kapal serta pesawat terbang militer. Dalam aspek sumber daya alam, wilayah ini merupakan landas kontinen yang memiliki kandungan sumber daya minyak dan gas, dari beberapa kegiatan eksplorasi membuktikan besarnya kandungan minyak dan gas, termasuk pipa-pipa dan kabel bawah laut. Pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Laut Tiongkok Selatan banyak juga mengandung sumber daya perikanan dan sumber daya hayati lainnya.
Dilatar-belakangi adanya
perbedaan kepentingan dari para pihak, maka potensi konflik di wilayah Laut
Tiongkok Selatan setiap saat menjadi semakin meningkat dan melibatkan para
pihak claimant state, yaitu: RRT
(Republik Rakyat Tiongkok), Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei
Darussalam. RRT sebagai negara adidaya baru dengan kekuatan ekonomi dan
militernya nampaknya ingin menguasai seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan.
Beberapa insiden pelanggaran kedaulatan dan hukum yang terjadi antara kapal-kapal
RRT dengan kapal-kapal negara pengklaim di wilayah ini masih terus berlangsung,
sehingga makin mempertajam potensi konflik.
Obyek sengketa para pihak di Laut Tiongkok Selatan terfokus pada 2 (dua)
kepulauan utama, yaitu Spratly dan Paracel. Negara-negara pengklaim untuk
Kepulauan Spratly adalah Brunei, RRT, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
Taiwan dan Vietnam juga menuntut kepemilikan atas Kepulauan Paracel yang berada
dibawah kontrol RRT sejak tahun 1974. Wilayah Laut Tiongkok Selatan dianggap
penting dari segi ekonomi karena wilayah ini diyakini kaya akan sumber daya
alam, berupa minyak, gas bumi, perikanan dan hasil laut lainnya, yang dapat
dimanfaatkan baik oleh negara pengklaim, negara non pengklaim maupun
negara-negara lain yang berkepentingan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi
kekayaan sumber daya alam di wilayah ini.
Penguasaan Laut Tiongkok Selatan khususnya bagi RRT akan memperkokoh
posisi mereka sebagai salah satu global
power[2].
Selain itu, komando dan kontrol terhadap Laut Tiongkok Selatan akan memperkuat
posisi negara dari segi maritime regime,
mengingat wilayah tersebut merupakan the
heart of Southeast Asia[3]
dari segi aktifitas maritim, karena merupakan jalur utama kapal niaga dari
Eropa, Afrika dan Asia Barat menuju Amerika, kawasan Asia Pasifik, dan
sebaliknya. Wilayah ini juga digunakan sebagai Sea Lane Of Trade dan Sea
Lane Of Communication bagi kapal-kapal yang melalui Laut Tiongkok Selatan.
Walaupun tidak terlibat secara langsung dalam sengketa di Laut Tiongkok
Selatan, namun Indonesia juga memiliki kedaulatan dan hak berdaulat di perairan
yurisdiksi kawasan kepulauan Natuna, sehingga Indonesia mempunyai kepentingan
terhadap keamanan di wilayah tersebut. Secara politik, Indonesia tidak pernah
menyatakan bahwa telah terjadi overlap
antara ZEE dan landas Kontinten Indonesia dengan Nine Dashed Line, karena apabila dinyatakan seperti tersebut
diatas, berarti kita mengakui adanya klaim Tiongkok yang tidak berdasar
tersebut. Kementerian Luar Negeri RI juga telah membuat nota protes kepada
Pemerintah Tiongkok, dan menyatakan bahwa Indonesia tidak mengakui klaim Nine Dashed Lines. Namun demikian dari
tahun ke tahun selalu saja terjadi gesekan, insiden dan permasalahan yang
terjadi di utara kepulauan Natuna tersebut, dimana Pemerintah RRT berkali-kali
selalu menyatakan mengakui kedaulatan kepulauan Natuna sebagai bagian dari
NKRI, namun pada prakteknya, telah membiarkan kapal-kapal nelayannya dengan
dilindungi oleh kapal-kapal coastguardnya, mencari ikan sampai jauh memasuki ZEE Indonesia, dengan alasan yang
menyatakan sebagai “China traditional
fishing ground”, yang tidak dikenal dalam hukum Internasional termasuk
UNCLOS-1982.
[1] Istilah Tiongkok sesuai Keppres Nomor 12 Tahun 2014, tanggal 14 Maret
tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor
SE-06/Pred.Kab/6/1967, tanggal 28 Juni tahun 1967.
[3] Laut Tiongkok Selatan merupakan
the heart of Southeast Asia, karena
merupakan jalur utama kapal-kapal niaga yang lalu-lalang dari Eropa, Afrika dan
Asia Barat menuju Amerika, kawasan Asia Pasifik, dan sebaliknya.
[4] US
Energy Information Administration, US Departemen of State, Middlebury College,
National Geographic, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar