Minggu, 14 Mei 2017

KRISIS KAWASAN LAUT TIONGKOK SELATAN



Oleh: Laksda TNI Agus Setiadji, S.AP

            Kawasan Laut Tiongkok Selatan,[1] berada pada wilayah yang berbatasan dengan Tiongkok, Taiwan, dan sebagian negara-negara ASEAN. Dalam aspek kepentingan lalu lintas pelayaran, kawasan Laut Tiongkok Selatan merupakan salah satu jalur pelayaran dan perdagangan dunia yang sangat penting. Selain itu wilayah ini juga merupakan kawasan yang penting bagi tempat transit dan wilayah operasional kapal serta pesawat terbang militer. Dalam aspek sumber daya alam, wilayah ini merupakan landas kontinen yang memiliki kandungan sumber daya minyak dan gas, dari beberapa kegiatan eksplorasi membuktikan besarnya kandungan minyak dan gas, termasuk pipa-pipa dan kabel bawah laut. Pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Laut Tiongkok Selatan banyak juga mengandung  sumber daya perikanan dan sumber daya hayati lainnya.

         Dilatar-belakangi adanya perbedaan kepentingan dari para pihak, maka potensi konflik di wilayah Laut Tiongkok Selatan setiap saat menjadi semakin meningkat dan melibatkan para pihak claimant state, yaitu: RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. RRT sebagai negara adidaya baru dengan kekuatan ekonomi dan militernya nampaknya ingin menguasai seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan. Beberapa insiden pelanggaran kedaulatan dan hukum yang terjadi antara kapal-kapal RRT dengan kapal-kapal negara pengklaim di wilayah ini masih terus berlangsung, sehingga makin mempertajam potensi konflik.

Obyek sengketa para pihak di Laut Tiongkok Selatan terfokus pada 2 (dua) kepulauan utama, yaitu Spratly dan Paracel. Negara-negara pengklaim untuk Kepulauan Spratly adalah Brunei, RRT, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam. Taiwan dan Vietnam juga menuntut kepemilikan atas Kepulauan Paracel yang berada dibawah kontrol RRT sejak tahun 1974. Wilayah Laut Tiongkok Selatan dianggap penting dari segi ekonomi karena wilayah ini diyakini kaya akan sumber daya alam, berupa minyak, gas bumi, perikanan dan hasil laut lainnya, yang dapat dimanfaatkan baik oleh negara pengklaim, negara non pengklaim maupun negara-negara lain yang berkepentingan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam di wilayah ini.

Penguasaan Laut Tiongkok Selatan khususnya bagi RRT akan memperkokoh posisi mereka sebagai salah satu global power[2]. Selain itu, komando dan kontrol terhadap Laut Tiongkok Selatan akan memperkuat posisi negara dari segi maritime regime, mengingat wilayah tersebut merupakan the heart of Southeast Asia[3] dari segi aktifitas maritim, karena merupakan jalur utama kapal niaga dari Eropa, Afrika dan Asia Barat menuju Amerika, kawasan Asia Pasifik, dan sebaliknya. Wilayah ini juga digunakan sebagai Sea Lane Of Trade dan Sea Lane Of Communication bagi kapal-kapal yang melalui Laut Tiongkok Selatan.

Walaupun tidak terlibat secara langsung dalam sengketa di Laut Tiongkok Selatan, namun Indonesia juga memiliki kedaulatan dan hak berdaulat di perairan yurisdiksi kawasan kepulauan Natuna, sehingga Indonesia mempunyai kepentingan terhadap keamanan di wilayah tersebut. Secara politik, Indonesia tidak pernah menyatakan bahwa telah terjadi overlap antara ZEE dan landas Kontinten Indonesia dengan Nine Dashed Line, karena apabila dinyatakan seperti tersebut diatas, berarti kita mengakui adanya klaim Tiongkok yang tidak berdasar tersebut. Kementerian Luar Negeri RI juga telah membuat nota protes kepada Pemerintah Tiongkok, dan menyatakan bahwa Indonesia tidak mengakui klaim Nine Dashed Lines. Namun demikian dari tahun ke tahun selalu saja terjadi gesekan, insiden dan permasalahan yang terjadi di utara kepulauan Natuna tersebut, dimana Pemerintah RRT berkali-kali selalu menyatakan mengakui kedaulatan kepulauan Natuna sebagai bagian dari NKRI, namun pada prakteknya, telah membiarkan kapal-kapal nelayannya dengan dilindungi oleh kapal-kapal coastguardnya, mencari ikan sampai jauh  memasuki ZEE Indonesia, dengan alasan yang menyatakan sebagai “China traditional fishing ground”, yang tidak dikenal dalam hukum Internasional termasuk UNCLOS-1982.


[1] Istilah Tiongkok sesuai Keppres Nomor 12 Tahun 2014, tanggal 14 Maret tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967, tanggal 28 Juni tahun 1967.
[2] Nurlaili Azizah, “Pengantar Hubungan Internasional”  2015
[3]    Laut Tiongkok Selatan merupakan the heart of Southeast Asia, karena merupakan jalur utama kapal-kapal niaga yang lalu-lalang dari Eropa, Afrika dan Asia Barat menuju Amerika, kawasan Asia Pasifik, dan sebaliknya.
[4] US Energy Information Administration, US Departemen of State, Middlebury College, National Geographic, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkaca Pada Negara Maritim Norway Yang Saya Kunjungi

Selama beberapa hari berkunjung ke Oslo sbg ibukota negara Norway dlm rangka mengikuti sidang FAO, banyak pelajaran yg saya anggap berm...