Oleh :Laksda TNI Agus Setiadji, S.AP
Posisi geografi
sebagai negara maritim telah mewujudkan Indonesia sebagai negara yang plural.
Pluralisme ini menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan alam yang berlimpah
serta kekayaan budaya yang sangat menakjubkan. Indonesia merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia, pulau-pulau tersebut terbentang dari timur ke
barat yang sepadan dengan jarak antara London dan Siberia, serta dengan jarak
sekitar 2.500 km dari utara ke selatan.
Dengan dilandasi kondisi itulah, maka para pendahulu bangsa (founding fathers), telah merumuskan dan
mengajukan “Deklarasi Juanda” pada tahun 1957, agar dunia mengakui wilayah
kedaulatan maritim Indonesia, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Deklarasi Djuanda terkandung suatu konsepsi
“Negara Maritim Nusantara”, yang melahirkan konsekuensi bagi Pemerintah dan
bangsa Indonesia untuk memperjuangkan serta mempertahankannya hingga mendapat
pengakuan internasional. Deklarasi Djuanda merupakan landasan struktural dan
legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia, sebagai negara maritim.
Sebagai salah satu
pilar berdirinya negara, pertahanan merupakan fungsi yang vital dan menentukan
dalam kehidupan bernegara. Pertahanan negara adalah kemampuan dalam menjamin
kelangsungan hidup dan mempertahankan diri dari setiap ancaman yang datang dari
luar dan dalam negeri.
Oleh karena itu sudah sudah menjadi konsekuensi logis bahwa pertahanan negara
harus memiliki kemampuan yang handal untuk menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup bangsa dan negara. Konstelasi geografis Indonesia sebagai
negara kepulauan dengan wilayah laut yang sangat luas, terbentang pada jalur
pelintasan dan transportasi internasional yang sangat strategis, berimplikasi
pada munculnya peluang sekaligus tantangan geopolitik dan geostrategi, dalam
rangka mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah. Pertahanan negara adalah kewajiban seluruh
warga negara, seperti yang tertulis pada Undang-Undang Dasar 1945, Pasal
27 ayat 3, yang menyatakan bahwa “setiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”,
Pasal 30 ayat 1, berbunyi “tiap-tiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara”, Pasal 30 ayat 2, berbunyi “Usaha
pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan
pendukung” serta Pasal 30 ayat 3, berbunyi “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,
dan Angkatan Udara, sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”.
Pertahanan negara yang
kuat, akan meningkatkan kemampuan dalam menghadapi berbagai ancaman, baik yang
datang dari dalam maupun dari luar negeri. Melalui Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun
2002, tentang Pertahanan Negara, maka konsep pertahanan negara mengalami
perubahan yang sangat mendasar. Pasal 3 ayat 2 menyebutkan “Pertahanan negara disusun dengan
memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan”. Berdasarkan
pasal tersebut diatas, maka orientasi pertahanan negara harus mengacu kepada archipelagic
oriented bukan lagi land oriented.
Archipelagic
Oriented
mengandung makna bahwa pertahanan negara tidak lagi inward looking,
melainkan outward looking. Ketentuan tersebut senada
dengan rumusan tentang ancaman dalam pasal 7 UU Nomor 3 tahu 2002, yang tidak
lagi menyebutkan ancaman dari dalam negeri dan ancaman luar negeri, melainkan
dinyatakan lebih jelas dengan istilah ancaman militer dan ancaman non militer.
Ancaman militer dipersepsikan lebih bersifat outward looking, sehingga fokus pembangunan dan penggunaan kekuatan
TNI adalah untuk menghadapi ancaman militer asing, tanpa mengabaikan pelibatan
kekuatan TNI dalam menghadapi pemberontakan bersenjata di dalam negeri.
Sebagai negara Nusantara (Archipelagic State), Indonesia
memiliki ciri khas dengan konfigurasi geografi yang sebagian besar wilayahnya
terdiri dari lautan dengan ditebari pulau-pulau besar dan kecil. Kekhasan
tersebut memungkinkan Indonesia untuk memanfaatkan ketentuan United Nation
Convention on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS’82) sepenuhnya, karena
Indonesia telah meratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985,
yang diberlakukan sebagai hukum positif sejak tanggal 16 Nopember 1994,
sehingga status Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State),
diakui oleh dunia.
Pengakuan dunia dalam hukum internasional tersebut, telah mengesahkan
a defined territory negara Indonesia, sehingga Indonesia memiliki
legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi wilayah darat, laut
dan udara di atasnya. Demikian pula Indonesia juga mempunyai
kedaulatan dan kewenangan untuk menjaga dan mempertahankan integritas wilayah
kelautannya, termasuk mengelola dan mengatur orang dan barang yang ada di dalam
wilayah kelautan tersebut, namun hal ini tidak berarti meniadakan hak negara
lain sesuai dengan ketentuan dalam konvensi tersebut.
Secara legal formal, Indonesia terikat dengan
ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional tersebut, termasuk kewajiban
Indonesia untuk menjamin keamanan wilayah kelautan, khususnya sebagai Sea
Lines Of Communication (SLOC). Bila kewajiban ini diabaikan,
dalam arti bahwa kapal-kapal niaga negara pengguna merasa tidak aman saat
melintas di perairan Indonesia, maka hal itu dapat menjadi alasan bagi mereka untuk
menghadirkan kekuatan angkatan laut negaranya. Berkaitan dengan hal
tersebut diatas diperlukan kesamaan persepsi tentang keamanan laut, khususnya
bagi komponen bangsa yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang di laut, agar action
plan yang dilaksanakan dapat tepat sasaran, terarah dan terpadu. Penegakan
kedaulatan di laut memiliki dua dimensi pemahaman, yaitu kedaulatan
negara (sovereignity) dan hak berdaulat (sovereign right)
sebagaimana dijelaskan pada pasal 2, 34, 47 dan 49 dari UNCLOS 1982.
Kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi pada negara untuk melakukan suatu
tindakan yang dianggap perlu, demi kepentingan negara, berdasarkan hukum
nasional dengan memperhatikan hukum internasional.
Dasar hukum penguasaan negara atas suatu wilayah bersumber
dari eksistensi sebagai negara merdeka dan berdaulat. Kedaulatan negara
meliputi kedaulatan atas wilayah, kedaulatan atas kepentingan nasional lainnya,
serta kedaulatan atas pengawasan terhadap kegiatan di dalam wilayah
negara. Oleh karena itu negara memiliki hak dan wewenang untuk
mengatur maupun membuat peraturan hukum (legislation), mengawasi
berlakunya peraturan (control), serta menegakkan peraturan dan hukum
yang berlaku (law enforcement), demi kepentingan negara dan bangsa.
Sedangkan pasal 56 UNCLOS 1982, menyatakan bahwa hak berdaulat adalah suatu hak
negara pantai untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, atas sumber daya alam
hayati maupun non hayati di ZEE dan di Landas Kontinen, berdasarkan hukum laut
internasional. Oleh karena itu negara memiliki hak pemanfaatan sumber daya
alam, dan wewenang mengatur/membuat peraturan hukum (legislation),
mengawasi berlakunya peraturan (control),
dan menegakkan peraturan/hukum (law enforcement) yang berkenaan dengan
penegakan hak berdaulat, serta perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam di
ZEE maupun di Landas Kontinen.
Disamping suatu negara mempunyai kedaulatan, dalam hukum
laut juga disebutkan bahwa kapal perang juga memiliki nilai yang melambangkan
kedaulatan negara secara utuh, yang tidak dimilki oleh wahana lain.
Sebuah kapal perang juga memiliki imunitas (pasal 95) yang membuatnya tidak
tersentuh hukum teritorial setempat. Berbagai bentuk nyata penghormatan
kedaulatan dan hak berdaulat negara pantai oleh pelaku lintas pelayaran di
perairan wilayah kedaulatan, telah dijelaskan dalam UNCLOS 1982 pasal 39,
antara lain:
a. Berlayar tanpa berhenti, terus menerus dan secepat mungkin
dengan cara normal, kecuali diperlukan karena alasan force majeure;
b. Tidak mengancam dan atau menggunakan kekuatan apapun terhadap
kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara yang berbatasan
dengan selat, atau menggunakan cara lain apa pun yang melanggar hukum
internasional;
c. Menaati peraturan hukum internasional tentang keselamatan laut,
pencegahan pencemaran dari kapal;
d. Menaati peraturan penerbangan yang ditetapkan oleh Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) bagi pesawat udara sipil;
e. Tidak melakukan riset atau kegiatan survei tanpa ijin negara
pantai dan tidak melakukan penangkapan ikan, menaikkan atau menurunkan
komoditi, mata uang atau orang yang bertentangan dengan peraturan bea cukai,
fiskal, imigrasi atau saniter negara pantai.
Alur pelayaran merupakan Sea Lines of Communication
(SLOC) serta Sea Lines of Trade (SLOT). SLOC dan SLOT ini
bagaikan urat nadi bagi kehidupan banyak bangsa di dunia, termasuk bagi bangsa
Indonesia sendiri. Bagi sebagian besar negara di kawasan Asia Timur, di mana
kebanyakan struktur ekonominya berorientasi kepada bidang ekspor dan impor,
ketergantungan pada keberadaan SLOC/SLOT menjadi semakin penting. Hal tersebut
bersamaan dengan makin dominannya kekuatan industri dunia di Asia Timur seperti
Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, seiring kebutuhan minyak dari Timur Tengah,
yang dari tahun ke tahun makin meningkat pesat. Sejalan dengan hal itu,
pola hubungan antar bangsa, cenderung bergeser ke arah semakin menonjolnya
kepentingan ekonomi dibandingkan kepentingan lainnya, sehingga menimbulkan
tuntutan terwujudnya stabilitas keamanan kawasan laut regional.
Sebagai negara maritim yang memiliki perairan yang sangat
luas dan strategis, Indonesia dengan segala cara dan upaya, senantiasa berusaha
untuk menjamin stabilitas perdamaian dan keamanan di wilayah perairan
yurisdiksinya terhadap kemungkinan timbulnya konflik dan ancaman. Indonesia
beserta negara kawasan, berusaha menciptakan keamanan kawasan laut regional,
termasuk di Selat Malaka dan Selat Singapura, merupakan salah satu selat
terpadat di dunia, yang menjadi perhatian masyarakat maritim internasional.
Jalur perdagangan dunia yang menggunakan jasa angkutan laut, sebagian besar
melalui perairan Indonesia, sehingga dapat dimengerti bahwa apabila keamanan
laut di perairan Indonesia terganggu, akan berdampak terganggunya aktivitas
perdagangan lewat laut, sehingga merugikan negara pengguna, khususnya negara
dengan volume perdagangan yang lewat laut.
Kawasan Asia Tenggara memiliki peranan sangat penting,
karena merupakan penghubung antara samudera Pasifik dan samudera
Hindia. Selat-selat dan perairan kawasan ini merupakan jalur
perdagangan dunia yang sekaligus menjadi choke points strategis bagi
proyeksi armada Angkatan Laut negara maritim besar, dalam rangka forward
presence ke seluruh penjuru dunia. Sebagai jalur
perdagangan, kondisi ini akan mengundang beberapa ekses negatif yang berkaitan
dengan masalah keamanan kawasan.
Seluruh komponen bangsa Indonesia memiliki kepentingan
yang sama terhadap laut, yaitu terwujudnya stabilitas keamanan di laut
dalam rangka menjamin integritas wilayah maupun kepentingan nasional di dan
atau lewat laut. Untuk dapat mewujudkan kondisi keamanan di laut, diperlukan
upaya penegakan kedaulatan dan penegakan hukum. Masalah penegakan hukum di laut
menjadi salah satu isu nasional yang sangat penting, mengingat kerugian yang
dialami negara sangat besar, akibat berbagai pelanggaran hukum; antara lain illegal
fishing, illegal migrant, illegal logging, dan illegal mining.
Penegakan keamanan di laut memiliki dua dimensi, yaitu
penegakan kedaulatan dan penegakan hukum, sehingga kedua dimensi tersebut
saling terkait satu sama lain. Sistem Pertahanan Negara, yaitu Sistem
Pertahanan Semesta (Sishanta) diletakkan dalam format negara moderen melalui
kebijakan politik negara, sehingga memberi kesadaran dan tanggung jawab kepada
masyarakat bahwa masalah pertahanan negara bukan hanya urusan TNI semata, melainkan
masalah seluruh bangsa. Demikian pula menyangkut pembangunan kemampuan
pertahanan negara, bukan hanya tanggung jawab TNI atau Kementerian Pertahanan,
melainkan juga tanggung jawab seluruh komponen bangsa yang meliputi pemerintahan
dan segenap komponen masyarakat.
Pembangunan nasional di daerah juga harus memperhatikan
pembinaan kemampuan pertahanan. Disamping itu, Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun
2002 juga mengamanatkan peningkatan kemampuan pertahanan negara melalui
kegiatan penelitian dan pengembangan industri dan teknologi di bidang
pertahanan, hal ini merupakan langkah awal yang sangat baik bagi tumbuh dan
berkembangnya industri pertahanan. Perubahan yang fundamental dari Konsep Dasar
Pertahanan Negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun
2002 tersebut, masih perlu dijabarkan lebih lanjut, baik dalam peraturan
perundang-undangan, sesuai yang diamanatkan dalam pasal-pasalnya, maupun dalam
dokumen dan piranti lunak instrumen strategis lainnya, yang diperlukan untuk
mengelola pertahanan negara.
Strategi pertahanan
negara harus mampu menjawab tiga hal yang mendasar, yakni apa yang
dipertahankan, dengan apa mempertahankannya, serta bagaimana mempertahankannya.
Strategi pertahanan hendaknya dirumuskan dengan mencermati kondisi geografis,
dinamika yang terjadi pada lingkungan strategis, serta kecenderungan penggunaan
persenjataan (alutsista), baik pada lingkungan internasional maupun regional.
Strategi pertahanan Indonesia hendaknya dapat mengkaitkan dan mengintegrasikan
karakteristik kekuatan masing-masing kekuatan pertahanan, baik darat, laut dan
udara, tanpa adanya dominasi matra. Perumusan strategi pertahanan ditujukan
untuk menciptakan kekuatan pertahanan yang terpadu (integrated armed forces).
Kekuatan terpadu
Indonesia terdiri dari kekuatan darat yang
interoperability dengan kekuatan laut maupun udara, terintegrasi ke dalam
strategi pertahanan maritim. Kekuatan pertahanan hendaknya didasari strategi
maritim sebagai negara kepulauan, juga membutuhkan kekuatan udara yang tangguh
dalam penyelenggaraan pertahanan negara.
Dengan lahirnya Deklarasi Djuanda, landasan struktural dan legalitas
batas perairan Indonesia menjadi semakin jelas. Untuk mencapai posisi sebagai
negara maritim, tentu batas-batas wilayah perairan harus dijaga dengan ketat,
sehingga sumber daya yang ada di dalamnya tidak dieksploitasi dengan
sembarangan.
Sebagai komponen utama
pertahanan negara, Tentara Nasional Indonesia memerlukan dukungan dan peran
masyarakat dalam ikut melaksanakan fungsi utama untuk menjaga kedaulatan NKRI.
Hal mendasar yang terkait kewajiban warga negara adalah bahwa negara dapat
mewajibkan setiap warga negara untuk ikut dalam upaya pertahanan negara.
Mewajibkan warga negara untuk ikut dalam upaya pertahanan negara, adalah
konteks yang konstitusional sebagai konsekuensi menjadi warga negara dari suatu
negara yang berdaulat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD RI tahun 1945. Dalam
rangka menciptakan kekuatan pertahanan maritim yang tangguh, perlu alokasi
anggaran yang sesuai dengan konstelasi geografis nasional. Keterbatasan alokasi
anggaran dapat diatasi dengan pendekatan prioritas dan perencanaan yang matang.
Selain itu sistem penganggaran perlu ditinjau kembali, agar efektifitas dan
akuntabilitas anggaran negara dapat dipertanggung jawabkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar