Senin, 15 Mei 2017

KEKUATAN PERTAHANAN MARITIM




Oleh :Laksda TNI Agus Setiadji, S.AP





Posisi geografi sebagai negara maritim telah mewujudkan Indonesia sebagai negara yang plural. Pluralisme ini menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan alam yang berlimpah serta kekayaan budaya yang sangat menakjubkan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, pulau-pulau tersebut terbentang dari timur ke barat yang sepadan dengan jarak antara London dan Siberia, serta dengan jarak sekitar 2.500 km dari utara ke selatan.  Dengan dilandasi kondisi itulah, maka para pendahulu bangsa (founding fathers), telah merumuskan dan mengajukan “Deklarasi Juanda” pada tahun 1957, agar dunia mengakui wilayah kedaulatan maritim Indonesia, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Deklarasi Djuanda terkandung suatu konsepsi “Negara Maritim Nusantara”, yang melahirkan konsekuensi bagi Pemerintah dan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan serta mempertahankannya hingga mendapat pengakuan internasional. Deklarasi Djuanda merupakan landasan struktural dan legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia, sebagai negara maritim.

Sebagai salah satu pilar berdirinya negara, pertahanan merupakan fungsi yang vital dan menentukan dalam kehidupan bernegara. Pertahanan negara adalah kemampuan dalam menjamin kelangsungan hidup dan mempertahankan diri dari setiap ancaman yang datang dari luar dan dalam negeri. Oleh karena itu sudah sudah menjadi konsekuensi logis bahwa pertahanan negara harus memiliki kemampuan yang handal untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Konstelasi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut yang sangat luas, terbentang pada jalur pelintasan dan transportasi internasional yang sangat strategis, berimplikasi pada munculnya peluang sekaligus tantangan geopolitik dan geostrategi, dalam rangka mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah.  Pertahanan negara adalah kewajiban seluruh warga negara, seperti yang tertulis pada Undang-Undang  Dasar 1945, Pasal 27 ayat 3, yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”, Pasal 30 ayat 1, berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”, Pasal 30 ayat 2, berbunyi “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung” serta Pasal 30 ayat 3, berbunyi “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”.

Pertahanan negara yang kuat, akan meningkatkan kemampuan dalam menghadapi berbagai ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri. Melalui Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002, tentang Pertahanan Negara, maka konsep pertahanan negara mengalami perubahan yang sangat mendasar. Pasal 3 ayat 2 menyebutkan “Pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan”. Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka orientasi pertahanan negara harus mengacu kepada archipelagic oriented bukan lagi land oriented.  

Archipelagic Oriented mengandung makna bahwa pertahanan negara tidak lagi inward looking, melainkan outward looking. Ketentuan tersebut senada dengan rumusan tentang ancaman dalam pasal 7 UU Nomor 3 tahu 2002, yang tidak lagi menyebutkan ancaman dari dalam negeri dan ancaman luar negeri, melainkan dinyatakan lebih jelas dengan istilah ancaman militer dan ancaman non militer. Ancaman militer dipersepsikan lebih bersifat outward looking, sehingga fokus pembangunan dan penggunaan kekuatan TNI adalah untuk menghadapi ancaman militer asing, tanpa mengabaikan pelibatan kekuatan TNI dalam menghadapi pemberontakan bersenjata di dalam negeri.

Sebagai negara Nusantara (Archipelagic State), Indonesia memiliki ciri khas dengan konfigurasi geografi yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dengan ditebari pulau-pulau besar dan kecil. Kekhasan tersebut memungkinkan Indonesia untuk memanfaatkan ketentuan United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS’82) sepenuhnya, karena Indonesia telah meratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985, yang diberlakukan sebagai hukum positif sejak tanggal 16 Nopember 1994, sehingga status Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State), diakui oleh dunia.  

Pengakuan dunia dalam hukum internasional tersebut, telah mengesahkan a defined territory negara Indonesia, sehingga Indonesia memiliki legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi wilayah darat, laut dan udara di atasnya. Demikian pula Indonesia juga mempunyai kedaulatan dan kewenangan untuk menjaga dan mempertahankan integritas wilayah kelautannya, termasuk mengelola dan mengatur orang dan barang yang ada di dalam wilayah kelautan tersebut, namun hal ini tidak berarti meniadakan hak negara lain sesuai dengan ketentuan dalam konvensi tersebut.

Secara legal formal, Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional tersebut, termasuk kewajiban Indonesia untuk menjamin keamanan wilayah kelautan, khususnya sebagai Sea Lines Of Communication (SLOC). Bila kewajiban ini diabaikan, dalam arti bahwa kapal-kapal niaga negara pengguna merasa tidak aman saat melintas di perairan Indonesia, maka hal itu dapat menjadi alasan bagi mereka untuk menghadirkan kekuatan angkatan laut negaranya.   Berkaitan dengan hal tersebut diatas diperlukan kesamaan persepsi tentang keamanan laut, khususnya bagi komponen bangsa yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang di laut, agar action plan yang dilaksanakan dapat tepat sasaran, terarah dan terpadu. Penegakan kedaulatan di laut memiliki dua dimensi pemahaman, yaitu kedaulatan negara (sovereignity) dan hak berdaulat (sovereign right) sebagaimana dijelaskan pada pasal 2, 34, 47 dan 49 dari UNCLOS 1982.  Kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi pada negara untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap perlu, demi kepentingan negara, berdasarkan hukum nasional dengan memperhatikan hukum internasional.

Dasar hukum penguasaan negara atas suatu wilayah bersumber dari eksistensi sebagai negara merdeka dan berdaulat. Kedaulatan negara meliputi kedaulatan atas wilayah, kedaulatan atas kepentingan nasional lainnya, serta kedaulatan atas pengawasan terhadap kegiatan di dalam wilayah negara.   Oleh karena itu negara memiliki hak dan wewenang untuk mengatur maupun membuat peraturan hukum (legislation), mengawasi berlakunya peraturan (control), serta menegakkan peraturan dan hukum yang berlaku (law enforcement), demi kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan pasal 56 UNCLOS 1982, menyatakan bahwa hak berdaulat adalah suatu hak negara pantai untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, atas sumber daya alam hayati maupun non hayati di ZEE dan di Landas Kontinen, berdasarkan hukum laut internasional. Oleh karena itu negara memiliki hak pemanfaatan sumber daya alam, dan wewenang mengatur/membuat peraturan hukum (legislation), mengawasi berlakunya peraturan (control), dan menegakkan peraturan/hukum (law enforcement) yang berkenaan dengan penegakan hak berdaulat, serta perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam di ZEE maupun di Landas Kontinen.

Disamping suatu negara mempunyai kedaulatan, dalam hukum laut juga disebutkan bahwa kapal perang juga memiliki nilai yang melambangkan kedaulatan negara secara utuh, yang tidak dimilki oleh wahana lain.  Sebuah kapal perang juga memiliki imunitas (pasal 95) yang membuatnya tidak tersentuh hukum teritorial setempat. Berbagai bentuk nyata penghormatan kedaulatan dan hak berdaulat negara pantai oleh pelaku lintas pelayaran di perairan wilayah kedaulatan, telah dijelaskan dalam UNCLOS 1982 pasal 39, antara lain:


a.   Berlayar tanpa berhenti, terus menerus dan secepat mungkin dengan cara normal, kecuali diperlukan karena alasan force majeure;

b.  Tidak mengancam dan atau menggunakan kekuatan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara yang berbatasan dengan selat, atau menggunakan cara lain apa pun yang melanggar hukum internasional;

c. Menaati peraturan hukum internasional tentang keselamatan laut, pencegahan pencemaran dari kapal;

d.  Menaati peraturan penerbangan yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) bagi pesawat udara sipil;

e.     Tidak melakukan riset atau kegiatan survei tanpa ijin negara pantai dan tidak melakukan penangkapan ikan, menaikkan atau menurunkan komoditi, mata uang atau orang yang bertentangan dengan peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter negara pantai.

Alur pelayaran merupakan Sea Lines of Communication (SLOC) serta Sea Lines of Trade (SLOT).   SLOC dan SLOT ini bagaikan urat nadi bagi kehidupan banyak bangsa di dunia, termasuk bagi bangsa Indonesia sendiri. Bagi sebagian besar negara di kawasan Asia Timur, di mana kebanyakan struktur ekonominya berorientasi kepada bidang ekspor dan impor, ketergantungan pada keberadaan SLOC/SLOT menjadi semakin penting. Hal tersebut bersamaan dengan makin dominannya kekuatan industri dunia di Asia Timur seperti Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, seiring kebutuhan minyak dari Timur Tengah, yang dari tahun ke tahun makin meningkat pesat.  Sejalan dengan hal itu, pola hubungan antar bangsa, cenderung bergeser ke arah semakin menonjolnya kepentingan ekonomi dibandingkan kepentingan lainnya, sehingga menimbulkan tuntutan terwujudnya stabilitas keamanan kawasan laut regional.

Sebagai negara maritim yang memiliki perairan yang sangat luas dan strategis, Indonesia dengan segala cara dan upaya, senantiasa berusaha untuk menjamin stabilitas perdamaian dan keamanan di wilayah perairan yurisdiksinya terhadap kemungkinan timbulnya konflik dan ancaman. Indonesia beserta negara kawasan, berusaha menciptakan keamanan kawasan laut regional, termasuk di Selat Malaka dan Selat Singapura, merupakan salah satu selat terpadat di dunia, yang menjadi perhatian masyarakat maritim internasional. Jalur perdagangan dunia yang menggunakan jasa angkutan laut, sebagian besar melalui perairan Indonesia, sehingga dapat dimengerti bahwa apabila keamanan laut di perairan Indonesia terganggu, akan berdampak terganggunya aktivitas perdagangan lewat laut, sehingga merugikan negara pengguna, khususnya negara dengan volume perdagangan yang lewat laut. 

Kawasan Asia Tenggara memiliki peranan sangat penting, karena merupakan penghubung antara samudera Pasifik dan samudera Hindia.   Selat-selat dan perairan kawasan ini merupakan jalur perdagangan dunia yang sekaligus menjadi choke points strategis bagi proyeksi armada Angkatan Laut negara maritim besar, dalam rangka forward presence ke seluruh penjuru dunia.  Sebagai jalur perdagangan, kondisi ini akan mengundang beberapa ekses negatif yang berkaitan dengan masalah keamanan kawasan.

Seluruh komponen bangsa Indonesia memiliki kepentingan yang sama terhadap laut, yaitu terwujudnya stabilitas keamanan di laut dalam rangka menjamin integritas wilayah maupun kepentingan nasional di dan atau lewat laut. Untuk dapat mewujudkan kondisi keamanan di laut, diperlukan upaya penegakan kedaulatan dan penegakan hukum. Masalah penegakan hukum di laut menjadi salah satu isu nasional yang sangat penting, mengingat kerugian yang dialami negara sangat besar, akibat berbagai pelanggaran hukum; antara lain illegal fishing, illegal migrant, illegal logging, dan illegal mining.

Penegakan keamanan di laut memiliki dua dimensi, yaitu penegakan kedaulatan dan penegakan hukum, sehingga kedua dimensi tersebut saling terkait satu sama lain. Sistem Pertahanan Negara, yaitu Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) diletakkan dalam format negara moderen melalui kebijakan politik negara, sehingga memberi kesadaran dan tanggung jawab kepada masyarakat bahwa masalah pertahanan negara bukan hanya urusan TNI semata, melainkan masalah seluruh bangsa. Demikian pula menyangkut pembangunan kemampuan pertahanan negara, bukan hanya tanggung jawab TNI atau Kementerian Pertahanan, melainkan juga tanggung jawab seluruh komponen bangsa yang meliputi pemerintahan dan segenap komponen masyarakat.

Pembangunan nasional di daerah juga harus memperhatikan pembinaan kemampuan pertahanan. Disamping itu, Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 juga mengamanatkan peningkatan kemampuan pertahanan negara melalui kegiatan penelitian dan pengembangan industri dan teknologi di bidang pertahanan, hal ini merupakan langkah awal yang sangat baik bagi tumbuh dan berkembangnya industri pertahanan. Perubahan yang fundamental dari Konsep Dasar Pertahanan Negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tersebut, masih perlu dijabarkan lebih lanjut, baik dalam peraturan perundang-undangan, sesuai yang diamanatkan dalam pasal-pasalnya, maupun dalam dokumen dan piranti lunak instrumen strategis lainnya, yang diperlukan untuk mengelola pertahanan negara.       

Strategi pertahanan negara harus mampu menjawab tiga hal yang mendasar, yakni apa yang dipertahankan, dengan apa mempertahankannya, serta bagaimana mempertahankannya. Strategi pertahanan hendaknya dirumuskan dengan mencermati kondisi geografis, dinamika yang terjadi pada lingkungan strategis, serta kecenderungan penggunaan persenjataan (alutsista), baik pada lingkungan internasional maupun regional. Strategi pertahanan Indonesia hendaknya dapat mengkaitkan dan mengintegrasikan karakteristik kekuatan masing-masing kekuatan pertahanan, baik darat, laut dan udara, tanpa adanya dominasi matra. Perumusan strategi pertahanan ditujukan untuk menciptakan kekuatan pertahanan yang terpadu (integrated armed forces).

Kekuatan terpadu Indonesia terdiri dari kekuatan darat yang interoperability dengan kekuatan laut maupun udara, terintegrasi ke dalam strategi pertahanan maritim. Kekuatan pertahanan hendaknya didasari strategi maritim sebagai negara kepulauan, juga membutuhkan kekuatan udara yang tangguh dalam penyelenggaraan pertahanan negara.  Dengan lahirnya Deklarasi Djuanda, landasan struktural dan legalitas batas perairan Indonesia menjadi semakin jelas. Untuk mencapai posisi sebagai negara maritim, tentu batas-batas wilayah perairan harus dijaga dengan ketat, sehingga sumber daya yang ada di dalamnya tidak dieksploitasi dengan sembarangan.

Sebagai komponen utama pertahanan negara, Tentara Nasional Indonesia memerlukan dukungan dan peran masyarakat dalam ikut melaksanakan fungsi utama untuk menjaga kedaulatan NKRI. Hal mendasar yang terkait kewajiban warga negara adalah bahwa negara dapat mewajibkan setiap warga negara untuk ikut dalam upaya pertahanan negara. Mewajibkan warga negara untuk ikut dalam upaya pertahanan negara, adalah konteks yang konstitusional sebagai konsekuensi menjadi warga negara dari suatu negara yang berdaulat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD RI tahun 1945. Dalam rangka menciptakan kekuatan pertahanan maritim yang tangguh, perlu alokasi anggaran yang sesuai dengan konstelasi geografis nasional. Keterbatasan alokasi anggaran dapat diatasi dengan pendekatan prioritas dan perencanaan yang matang. Selain itu sistem penganggaran perlu ditinjau kembali, agar efektifitas dan akuntabilitas anggaran negara dapat dipertanggung jawabkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkaca Pada Negara Maritim Norway Yang Saya Kunjungi

Selama beberapa hari berkunjung ke Oslo sbg ibukota negara Norway dlm rangka mengikuti sidang FAO, banyak pelajaran yg saya anggap berm...