Pertahanan negara merupakan salah satu unsur dalam sistem keamanan nasional (Sayidiman Suryohadiprojo, 2005). Pertahanan negara dilakukan untuk menghadapi dan mengatasi serangan fisik militer yang dilakukan terhadap negara Indonesia. Menurut Von Clauswitz dalam buku Vom Kriege, perang adalah tindak kekerasan yang dilakukan satu negara untuk memaksakan kehendaknya kepada negara lain. Pertahanan negara merupakan kekuatan utama untuk membentuk daya tangkal, yang amat dipengaruhi oleh efektifitas sistem keamanan nasional dan sistem kesejahteraan nasional. TNI sebagai kekuatan inti pertahanan harus dilengkapi dengan alutsista yang moderen dan handal, serta diupayakan semaksimal mungkin dapat dipasok oleh industri dalam negeri.
Pertahanan
negara pada hakekatnya merupakan segala upaya pertahanan yang bersifat semesta.
Penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran akan hak dan kewajiban seluruh
warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri untuk mempertahankan
kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia, yang merdeka dan berdaulat.
Kesemestaan mengandung makna pelibatan seluruh rakyat dan segenap sumber daya,
sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu
kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh. Sistem pertahanan negara bersifat
semesta bercirikan kerakyatan, kesemestaan, dan kewilayahan. Ciri kerakyatan
mengandung makna bahwa orientasi pertahanan diabdikan oleh dan untuk
kepentingan seluruh rakyat. Ciri kesemestaan mengandung makna bahwa seluruh
sumber daya nasional didayagunakan bagi upaya pertahanan, serta ciri
kewilayahan merupakan gelar kekuatan pertahanan yang tersebar di seluruh wilayah NKRI, sesuai dengan
kondisi geografi sebagai satu kesatuan pertahanan. Secara umum kondisi geografis
negara di dunia hanya dapat dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu negara yang
tidak memiliki laut (land locked
countries) dan negara yang dikelilingi oleh atau sebagian berbatasan dengan
laut atau pantai. Negara-negara yang dikelilingi oleh laut atau sebagian oleh
laut, dengan kebijakan yang mengutamakan aspek kelautan, disebut sebagai negara
maritim. Salah satu contoh negara yang menjadikan laut sebagai sumber
kemakmurannya adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat secara jelas dan gamblang
menyebut diri sebagai negara maritim (the
United States of America is a maritime nation).[1]
Pemerintah Amerika Serikat sangat menyadari bahwa laut dapat membawa kemakmuran
dan kesejahteraan bangsa. Politik dan pemerintahan suatu negara tidak boleh
mengingkari posisi dan kondisi geografisnya, karena faktor ini akan menjadi
penentu dalam penyusunan strategi pertahanan dan strategi militer, yang tentu
saja sangat berpengaruh pada kemajuan ekonomi negaranya (geography is the bone of strategy).
Postur pertahanan negara merupakan wujud penampilan kekuatan pertahanan
negara yang mencerminkan kekuatan, kemampuan, gelar pertahanan negara, yang
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan agar dapat menjawab berbagai kemungkinan
tantangan, ancaman potensial maupun aktual. Postur ini memiliki tiga
aspek utama, yaitu kemampuan (capability), kekuatan (force) dan
gelar (deployment). Pada Kabinet
Kerja tahun 2014-2019, kekuatan pertahanan negara dikembangkan untuk
mengintegrasikan postur pertahanan militer dan pertahanan nir-militer,
berdasarkan strategi yang merefleksikan kemampuan, kekuatan dan penggelaran
kekuatan pertahanan. Postur dan strategi pertahanan negara diharapkan
dapat mendukung kebijakan nasional, serta dapat diproyeksikan setidaknya sesuai
rencana pembangunan jangka waktu tertentu, dihadapkan pada kondisi kemampuan
negara dalam mengalokasikan anggaran pertahanan. Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 mengisyaratkan pembangunan keamanan
berfokus pada lima hal, antara lain pembangunan pertahanan yang mencakup sistem
dan strategi pertahanan, postur dan struktur pertahanan, profesionalisme TNI,
pengembangan teknologi pertahanan dalam mendukung ketersediaan alutsista,
komponen cadangan, dan pendukung pertahanan[2].
Pembangunan pertahanan diarahkan untuk mewujudkan kemampuan yang diharapkan
dapat melampaui kekuatan pertahanan minimal (dalam artian diatas Minimum Essential Forces), serta
memiliki efek penggentar. Alokasi anggaran pertahanan negara yang selalu
berkisar antara 0,7% s/d 1% dari PDB, secara bertahap akan ditingkatkan menjadi
1,5% sampai dengan tahun 2019. Oleh karena itu perlu pemilihan alutsista yang
tepat dan penerapan teknologi pertahanan yang moderen dengan memanfaatkan
teknologi industri dalam negeri semaksimal mungkin.
Sebagai konsekuensi ditetapkannya poros maritim dunia yang terdiri dari
lima pilar utama, maka segenap potensi kekuatan pertahanan dengan TNI sebagai
kekuatan inti, harus diarahkan untuk melindungi dan mengamankan visi poros
maritim dunia. Kekuatan alutsista pokok pertahanan maritim (baca: kapal perang,
pesawat tempur, senjata pertahanan udara Arhanud, drone, satelit dll) akan
memainkan peranan yang penting, mengingat konfigurasi negara
Indonesia sebagai negara maritim yang berbatasan laut dengan 10
negara tetangga. Dikaitkan antara pencapaian kekuatan pertahanan maritim yang
handal, serta dihadapkan kepada keterbatasan anggaran yang mewujud ke dalam
postur MEF, maka perhitungan kekuatan pertahanan selanjutnya tidak hanya
berdasarkan kuantitas alutsista semata, tetapi lebih kepada kualitas untuk
pencapaian tugas pokok yang dihadapkan kepada konstelasi geografis sebagai
negara kepulauan. Seberapapun jumlah perhitungan kekuatan dan kemampuan yang
dimiliki, harus dapat melindungi dan mengamankan kepentingan nasional Indonesia
sesuai prioritas yang dipilih, untuk itu perlu kebijakan Pembangunan Kekuatan
Pokok Minimum (MEF) direvisi menjadi Pembangunan Kekuatan Pokok Pertahanan
(Defense Essential Force) yang berdasarkan kondisi geografis negara Indonesia yang merupakan negara maritim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar