Minggu, 14 Mei 2017

HAKEKAT DAN POSTUR PERTAHANAN NEGARA




Pertahanan negara merupakan salah satu unsur dalam sistem keamanan nasional (Sayidiman Suryohadiprojo, 2005). Pertahanan negara dilakukan untuk menghadapi dan mengatasi serangan fisik militer yang dilakukan terhadap negara Indonesia.  Menurut Von Clauswitz dalam buku Vom Kriege, perang adalah tindak kekerasan yang dilakukan satu negara untuk memaksakan kehendaknya kepada negara lain. Pertahanan negara merupakan kekuatan utama untuk membentuk daya tangkal, yang amat dipengaruhi oleh efektifitas sistem keamanan nasional dan sistem kesejahteraan nasional. TNI sebagai kekuatan inti pertahanan harus dilengkapi dengan alutsista yang moderen dan handal, serta diupayakan semaksimal mungkin dapat dipasok oleh industri dalam negeri.

Pertahanan negara pada hakekatnya merupakan segala upaya pertahanan yang bersifat semesta. Penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran akan hak dan kewajiban seluruh warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia, yang merdeka dan berdaulat. Kesemestaan mengandung makna pelibatan seluruh rakyat dan segenap sumber daya, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh. Sistem pertahanan negara bersifat semesta bercirikan kerakyatan, kesemestaan, dan kewilayahan. Ciri kerakyatan mengandung makna bahwa orientasi pertahanan diabdikan oleh dan untuk kepentingan seluruh rakyat. Ciri kesemestaan mengandung makna bahwa seluruh sumber daya nasional didayagunakan bagi upaya pertahanan, serta ciri kewilayahan merupakan gelar kekuatan pertahanan yang tersebar  di seluruh wilayah NKRI, sesuai dengan kondisi geografi sebagai satu kesatuan pertahanan. Secara umum kondisi geografis negara di dunia hanya dapat dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu negara yang tidak memiliki laut (land locked countries) dan negara yang dikelilingi oleh atau sebagian berbatasan dengan laut atau pantai. Negara-negara yang dikelilingi oleh laut atau sebagian oleh laut, dengan kebijakan yang mengutamakan aspek kelautan, disebut sebagai negara maritim. Salah satu contoh negara yang menjadikan laut sebagai sumber kemakmurannya adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat secara jelas dan gamblang menyebut diri sebagai negara maritim (the United States of America is a maritime nation).[1] Pemerintah Amerika Serikat sangat menyadari bahwa laut dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Politik dan pemerintahan suatu negara tidak boleh mengingkari posisi dan kondisi geografisnya, karena faktor ini akan menjadi penentu dalam penyusunan strategi pertahanan dan strategi militer, yang tentu saja sangat berpengaruh pada kemajuan ekonomi negaranya (geography is the bone of strategy).

Postur pertahanan negara merupakan wujud penampilan kekuatan pertahanan negara yang mencerminkan kekuatan, kemampuan, gelar pertahanan negara, yang diarahkan untuk meningkatkan kemampuan agar dapat menjawab berbagai kemungkinan tantangan, ancaman potensial maupun aktual. Postur ini memiliki tiga aspek utama, yaitu kemampuan (capability), kekuatan (force) dan gelar (deployment). Pada Kabinet Kerja tahun 2014-2019, kekuatan pertahanan negara dikembangkan untuk mengintegrasikan postur pertahanan militer dan pertahanan nir-militer, berdasarkan strategi yang merefleksikan kemampuan, kekuatan dan penggelaran kekuatan pertahanan. Postur dan strategi pertahanan negara diharapkan dapat mendukung kebijakan nasional, serta dapat diproyeksikan setidaknya sesuai rencana pembangunan jangka waktu tertentu, dihadapkan pada kondisi kemampuan negara dalam mengalokasikan anggaran pertahanan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 mengisyaratkan pembangunan keamanan berfokus pada lima hal, antara lain pembangunan pertahanan yang mencakup sistem dan strategi pertahanan, postur dan struktur pertahanan, profesionalisme TNI, pengembangan teknologi pertahanan dalam mendukung ketersediaan alutsista, komponen cadangan, dan pendukung pertahanan[2]. Pembangunan pertahanan diarahkan untuk mewujudkan kemampuan yang diharapkan dapat melampaui kekuatan pertahanan minimal (dalam artian diatas Minimum Essential Forces), serta memiliki efek penggentar. Alokasi anggaran pertahanan negara yang selalu berkisar antara 0,7% s/d 1% dari PDB, secara bertahap akan ditingkatkan menjadi 1,5% sampai dengan tahun 2019. Oleh karena itu perlu pemilihan alutsista yang tepat dan penerapan teknologi pertahanan yang moderen dengan memanfaatkan teknologi industri dalam negeri semaksimal mungkin.

Sebagai konsekuensi ditetapkannya poros maritim dunia yang terdiri dari lima pilar utama, maka segenap potensi kekuatan pertahanan dengan TNI sebagai kekuatan inti, harus diarahkan untuk melindungi dan mengamankan visi poros maritim dunia. Kekuatan alutsista pokok pertahanan maritim (baca: kapal perang, pesawat tempur, senjata pertahanan udara Arhanud, drone, satelit dll) akan memainkan peranan yang penting, mengingat konfigurasi negara Indonesia sebagai negara maritim yang berbatasan laut dengan 10 negara tetangga. Dikaitkan antara pencapaian kekuatan pertahanan maritim yang handal, serta dihadapkan kepada keterbatasan anggaran yang mewujud ke dalam postur MEF, maka perhitungan kekuatan pertahanan selanjutnya tidak hanya berdasarkan kuantitas alutsista semata, tetapi lebih kepada kualitas untuk pencapaian tugas pokok yang dihadapkan kepada konstelasi geografis sebagai negara kepulauan. Seberapapun jumlah perhitungan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki, harus dapat melindungi dan mengamankan kepentingan nasional Indonesia sesuai prioritas yang dipilih, untuk itu perlu kebijakan Pembangunan Kekuatan Pokok Minimum (MEF) direvisi menjadi Pembangunan Kekuatan Pokok Pertahanan (Defense Essential Force) yang berdasarkan kondisi geografis negara Indonesia yang merupakan negara maritim.


[1] US Navy,“A Cooperative Strategy For 21st Century Sea Power”, Maret 2015
[2] RPJPN 2005-2025, Bappenas RI, 2005

KRISIS KAWASAN LAUT TIONGKOK SELATAN



Oleh: Laksda TNI Agus Setiadji, S.AP

            Kawasan Laut Tiongkok Selatan,[1] berada pada wilayah yang berbatasan dengan Tiongkok, Taiwan, dan sebagian negara-negara ASEAN. Dalam aspek kepentingan lalu lintas pelayaran, kawasan Laut Tiongkok Selatan merupakan salah satu jalur pelayaran dan perdagangan dunia yang sangat penting. Selain itu wilayah ini juga merupakan kawasan yang penting bagi tempat transit dan wilayah operasional kapal serta pesawat terbang militer. Dalam aspek sumber daya alam, wilayah ini merupakan landas kontinen yang memiliki kandungan sumber daya minyak dan gas, dari beberapa kegiatan eksplorasi membuktikan besarnya kandungan minyak dan gas, termasuk pipa-pipa dan kabel bawah laut. Pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Laut Tiongkok Selatan banyak juga mengandung  sumber daya perikanan dan sumber daya hayati lainnya.

         Dilatar-belakangi adanya perbedaan kepentingan dari para pihak, maka potensi konflik di wilayah Laut Tiongkok Selatan setiap saat menjadi semakin meningkat dan melibatkan para pihak claimant state, yaitu: RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. RRT sebagai negara adidaya baru dengan kekuatan ekonomi dan militernya nampaknya ingin menguasai seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan. Beberapa insiden pelanggaran kedaulatan dan hukum yang terjadi antara kapal-kapal RRT dengan kapal-kapal negara pengklaim di wilayah ini masih terus berlangsung, sehingga makin mempertajam potensi konflik.

Obyek sengketa para pihak di Laut Tiongkok Selatan terfokus pada 2 (dua) kepulauan utama, yaitu Spratly dan Paracel. Negara-negara pengklaim untuk Kepulauan Spratly adalah Brunei, RRT, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam. Taiwan dan Vietnam juga menuntut kepemilikan atas Kepulauan Paracel yang berada dibawah kontrol RRT sejak tahun 1974. Wilayah Laut Tiongkok Selatan dianggap penting dari segi ekonomi karena wilayah ini diyakini kaya akan sumber daya alam, berupa minyak, gas bumi, perikanan dan hasil laut lainnya, yang dapat dimanfaatkan baik oleh negara pengklaim, negara non pengklaim maupun negara-negara lain yang berkepentingan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam di wilayah ini.

Penguasaan Laut Tiongkok Selatan khususnya bagi RRT akan memperkokoh posisi mereka sebagai salah satu global power[2]. Selain itu, komando dan kontrol terhadap Laut Tiongkok Selatan akan memperkuat posisi negara dari segi maritime regime, mengingat wilayah tersebut merupakan the heart of Southeast Asia[3] dari segi aktifitas maritim, karena merupakan jalur utama kapal niaga dari Eropa, Afrika dan Asia Barat menuju Amerika, kawasan Asia Pasifik, dan sebaliknya. Wilayah ini juga digunakan sebagai Sea Lane Of Trade dan Sea Lane Of Communication bagi kapal-kapal yang melalui Laut Tiongkok Selatan.

Walaupun tidak terlibat secara langsung dalam sengketa di Laut Tiongkok Selatan, namun Indonesia juga memiliki kedaulatan dan hak berdaulat di perairan yurisdiksi kawasan kepulauan Natuna, sehingga Indonesia mempunyai kepentingan terhadap keamanan di wilayah tersebut. Secara politik, Indonesia tidak pernah menyatakan bahwa telah terjadi overlap antara ZEE dan landas Kontinten Indonesia dengan Nine Dashed Line, karena apabila dinyatakan seperti tersebut diatas, berarti kita mengakui adanya klaim Tiongkok yang tidak berdasar tersebut. Kementerian Luar Negeri RI juga telah membuat nota protes kepada Pemerintah Tiongkok, dan menyatakan bahwa Indonesia tidak mengakui klaim Nine Dashed Lines. Namun demikian dari tahun ke tahun selalu saja terjadi gesekan, insiden dan permasalahan yang terjadi di utara kepulauan Natuna tersebut, dimana Pemerintah RRT berkali-kali selalu menyatakan mengakui kedaulatan kepulauan Natuna sebagai bagian dari NKRI, namun pada prakteknya, telah membiarkan kapal-kapal nelayannya dengan dilindungi oleh kapal-kapal coastguardnya, mencari ikan sampai jauh  memasuki ZEE Indonesia, dengan alasan yang menyatakan sebagai “China traditional fishing ground”, yang tidak dikenal dalam hukum Internasional termasuk UNCLOS-1982.


[1] Istilah Tiongkok sesuai Keppres Nomor 12 Tahun 2014, tanggal 14 Maret tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967, tanggal 28 Juni tahun 1967.
[2] Nurlaili Azizah, “Pengantar Hubungan Internasional”  2015
[3]    Laut Tiongkok Selatan merupakan the heart of Southeast Asia, karena merupakan jalur utama kapal-kapal niaga yang lalu-lalang dari Eropa, Afrika dan Asia Barat menuju Amerika, kawasan Asia Pasifik, dan sebaliknya.
[4] US Energy Information Administration, US Departemen of State, Middlebury College, National Geographic, 2010

Revolution in Military Affairs (RMA)



    Revolution in Military Affairs (RMA) adalah sebuah teori tentang peperangan masa depan, sering dikaitkan dengan kemampuan untuk siap melakukan perubahan terhadap tehnologi dan organisasi yang ditujukan terhadap peperangan. Peperangan masa depan adalah peperangan informasi, network-centric warfare, Komando dan kendali terintegrasi yang semuanya berbasis teknologi informasi yang bermuara pada keamanan nasional. 
 
        Negara-negara di seluruh dunia saat ini telah melakukan revolusi pertempuran, karena masalah ini tidak hanya berkaitan dengan pertempuran secara konvensional, namun telah terjadi pergeseran mendasar dalam bidang kemiliteran. RMA pada awalnya merupakan perkembangan cara berpikir para kalangan pemimpin militer Amerika Serikat, diakibatkan perkembangan teknologi yang dipicu oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi elektronika senjata, komunikasi termasuk komputer, internet dan teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing), media cetak dan media elektronika. Hal ini mengakibatkan perubahan penting dalam aspek komando dan pengawasan, sistim komunikasi, ketepatan penguncian pengarahan penembakan peluru kendali atau senjata moderen lainnya, serta pengumpulan data, keterangan dan penyebaran informasi yang sifatnya umum maupun rahasia.

FIREPOWER INDONESIA


Berdirinya sebuah negara tidak terlepas dari bagaimana proses pembentukannya. Dengan mengetahui terbentuknya negara, maka dapat dipelajari kemampuan negara tersebut dalam menghadapi berbagai ancaman dan halangan dalam rangka mempertahankan eksistensi negara. Mempertahankan keberlanjutan negara yang dirupakan dalam pembangunan nasional juga tidak terlepas dari faktor geopolitik dan geostrategik negara tersebut. Sebagai negara kepulauan yang terbesar di dunia, dengan populasi penduduk terbesar keempat dunia, sudah selayaknya bangsa Indonesia tetap memiliki identitas bangsa yang sesuai dengan wadah dimana mereka hidup, yaitu sebagai bangsa maritim. Jiwa kemaritiman yang tersirat pada orang-orang laut antara lain: religius, kemanusiaan, bersatu dan gotong royong, ulet, toleransi serta kekeluargaan dan mufakat.

Sejarah bangsa Indonesia tidak lepas dari cikal bakal keberadaan manusia yang mendiami bumi pertiwi serta sejarah-sejarah kerajaan-kerajaan besar yang pernah berdiri. Kerajaan-kerajaan besar yang pernah berjaya di Nusantara, yang dengan cakupan kekuasaan bahkan pernah sampai di luar wilayah Indonesia, selalu memiliki kekuatan tempur (fighting power) handal serta karakter sebagai sebuah bangsa maritim. Uniknya kerajaan-kerajaan tersebut menjadi besar karena paham dengan jati diri bangsa dan menjadi hancur bukan karena perbedaan agama, namun diakibatkan oleh konflik internal elite kerajaan, yang diakibatkan oleh politik devide et impera dan penghancuran jati diri oleh pihak penjajah.

Para ahli sependapat bahwa kekuatan tempur/kekuatan militer (military power) suatu negara, merupakan modal dasar dalam memperkokoh kekuatan nasional (national power), oleh karena itu faktor-faktor penentu kekuatan tempur yaitu komponen inti harus profesional yang dilengkapi dengan persenjataan moderen dan strategis, serta didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung yang siap setiap saat. Sebuah situs online yang bernama Global Firepower (GFP) secara periodik melakukan penilaian dan memberikan peringkat kekuatan militer terhadap 126 negara di dunia. Peringkat yang disebut dikenal dengan Power Index yang disusun berdasarkan 50 faktor utama yang memengaruhi kekuatan militer suatu negara, dan memperkenalkan istilah “firepower”. Menurut GFP, firepower tidak hanya berkaitan dengan kekuatan militer beserta alutsistanya semata, namun merupakan gabungan kekuatan yang mampu menghasilkan kekuatan militer pada tingkat kemampuan tertentu. Selain komponen utama militer, komponen cadangan dan komponen pendukung, faktor lain yang ikut memengaruhi dan dapat menentukan kekuatan tempur, antara lain: (1) anggaran belanja pertahanan (military axpenditure), (2) sistem logistik nasional (infrastruktur nasional), (3) sumber daya minyak (produksi minyak, konsumsi bahan bakar dan cadangan minyak), (4) posisi geografi negara, (5) kesiapan SDM dan tenaga kerja (populasi dll) serta (6) keuangan negara (komitmen pinjaman luar negeri, cadangan mata uang asing dan Purchasing Power Parity). Agar penilaian ini lebih terasa adil, maka oleh GFP, kemampuan negara dalam mengembangkan dan memiliki persenjataan nuklir tidak menjadi faktor penilai. Dengan model perhitungan GFP ini, maka dapat dipastikan sehebat apapun kekuatan tempur negara Singapura, dikarenakan geografis sebagai negara kota, tidak akan mampu menghadapi negara sekitarnya, sehingga menggunakan aspek kekuatan ekonomi, diplomatik maupun melalui hubungan kerja sama dengan negara besar.

Penilaian yang dibuat oleh GFP masih bersifat kuantitatif dan bukan kualitatif, sehingga walaupun cukup merepresentasikan kekuatan tempur suatu negara, namun masih banyak kelemahan dalam perhitungannya. Melalui perhitungan detail berdasarkan data terbaru, Pada tahun 2016, GFP telah menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat terhormat, yaitu “sebagai negara dengan firepower terbesar ke 14 (keempat belas) dari 126 (seratus dua puluh enam) negara yang dinilai”. Penilaian GFP menggunakan Index Rating sebesar 0,3354 (dimana 0,0000 adalah nilai sempurna).
                                 
Beberapa hal menarik yang ditemukan untuk dicermati tentang hasil penilaian GFP, antara lain: (1) tingginya posisi Indonesia disebabkan oleh elemen statis (berdasarkan teori Kekuatan Nasional dariJans J. Morgenthau) atau Gatra Alamiah (Ketahanan Nasional) yaitu geografi, kekayaan alam dan kependudukan, (2) Perhitungan kuantitatif  aspek alutsista darat, laut dan udara Indonesia masih berada pada posisi ke 30 dunia, (3) perlu peningkatan infrastruktur nasional dan kemampuan industri pertahanan nasional, (4) sumber daya manusia Indonesia masih perlu ditingkatkan karena berdasarkan data Human Development Index (HDI) yang disajikan UNDP, menunjukkan bahwa angka HDI Indonesia masih menempati urutan ke-111 dari 182 negara.

Selain aspek kuantitatif terhadap penilaian index power kekuatan tempur suatu bangsa, perlu penekanan bahwa karakter bangsa sangat menentukan kualitas dan militansi warga negara dalam membela tanah airnya. Karakter bangsa merupakan identitas nasional atau jati diri suatu bangsa, yang pada hakekatnya merupakan penjelasan tentang nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam aspek kehidupan suatu bangsa. Beberapa negara di Asia terbukti sangat menjaga nilai-nilai luhur bangsa, yang membentuk karakter dalam rangka menjaga kelangsungan hidup bangsa maupun berkaitan hubungan antara bangsa dan negara, antara lain adalah bangsa Jepang dan bangsa Korea Selatan.

Karakter bangsa Indonesia yang hidup di negara kepulauan, secara sangat tepat diterjemahkan oleh para founding fathers dalam bentuk “Kelima Sila dalam Pancasila”. Pancasila pada dasarnya adalah jati diri bangsa Indonesia, membentuk pusat kekuatan (Center of Gravity), sehingga perlu terus dijaga dan dipertahankan. Center of Gravity bangsa Indonesia sangat dipahami oleh kolonial penjajah, sehingga dengan metoda Devide Et Impera  serta merubah karakter bangsa Indonesia menjadi kontinental, penjajah telah mampu menguasai wilayah Nusantara lebih dari 350 tahun. Selain karakter positif bangsa maritim yang mengalir dalam darah bangsa Indonesia, terdapat pula tantangan dan kebiasaan yang diakibatkan oleh faktor geografi maupun lingkungan sosial, yang perlu diperbaiki, antara lain: (1) bangsa yang hidup di daerah dua musim yang sangat subur, cenderung malas karena semua kebutuhan untuk hidup bisa dengan mudah didapat di sekitarnya, (2) walaupun religius, bangsa Indonesia cenderung mudah percaya kepada hal-hal yang berbau klenik dan irasional (tidak rasional), (3) bangsa Indonesia cenderung senang disanjung, mudah lupa dan kurang mempedulikan faktor sejarah, (4) kelemahan yang sangat mendasar pada bangsa Indonesia adalah kecenderungan untuk tidak disiplin dan tidak taat aturan.

Selasa, 09 Mei 2017

MENGULAS "ARMS DYNAMIC" UNTUK PENGUATAN PERTAHANAN NASIONAL

 
Oleh: Laksda TNI Agus Setiadji S.AP


Pertahanan negara, yang disebut juga sebagai pertahanan nasional adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Setiap negara akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dalam melaksanakan pertahanan negara. Beberapa negara telah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai dalam membuat dan mengembangkan alutsista, berdasarkan kebutuhan operasi maupun spesifikasi teknis, serta sesuai dengan kebijakan politik dan strategi negara.

Menurut Spruill, alutsista adalah semua yang berhubungan dengan sistem senjata, kendaraan dan perlengkapan militer serta komponen-komponennya, yang digunakan langsung oleh militer untuk melaksanakan pertempuran, sedangkan Huntington mendefinisikan alutsista sebagai alat yang dapat melemahkan atau mengancam/membahayakan suatu negara yang digunakan oleh pasukan militer lawan. 

Alutsista merupakan sistem kesenjataan yang sangat kompleks karena terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Setiap alutsista dibuat sesuai dengan kemajuan teknologi yang dimiliki oleh produsen yang bersangkutan. Teknologi dan peralatan perang yang dibuat oleh suatu negara belum tentu compatible dengan negara lain. Sehingga keuntungan bagi negara yang telah mampu memenuhi kebutuhan alat peralatan perangnya adalah dalam bentuk kepastian memiliki lebih banyak kemungkinan memenangkan perang, memiliki bargaining power dan dapat selalu menjaga kerahasiaan alat tempurnya.

Selama ini terjadi berbagai polemik yang berkaitan harga alutsista yang cenderung mahal dan tidak memiliki standar harga, umur alutsista dapat dipertahankan (lifetime), pemilihan terhadap teknologi dan negara asal serta biaya daur hidup alutsista itu sendiri. Pengadaan alutsista seharusnya tidak berdasarkan pertimbangan harga yang murah, asal teknologi, kecanggihan peralatan dan teknologi semata, namun juga harus mempertimbangkan aspek kelanjutan perlakuan terhadap alutsista tersebut, seperti dukungan sarana dan prasarana, special tools, biaya operasi (bahan bakar dll), biaya latihan, ketersediaan suku cadang, biaya pemeliharaan dan perawatan sampai dengan penghapusan.

Dinamika Belanja Alutsista

Pada dasarnya setiap negara di dunia akan berusaha mempertahankan kepentingan nasionalnya serta melindungi bangsa dan negara dari setiap ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri. Salah satu tolok ukur kemampuan pertahanan negara adalah kemampuan kuantitas maupun kualitas persenjataan yang dimiliki. Sulit membedakan antara “peningkatan kemampuan persenjataan” suatu negara dan “perlombaan senjata” dengan negara lain atau sekedar usaha untuk “mempertahankan diri“, sebagai “alat deterensi” atau bahkan hanya untuk memelihara “status quo” terhadap stabilitas kawasan tertentu.

Thomas Schelling (1966) menulis tentang deterensi (kekuatan pertahanan sebagai daya penggetar), dan menyampaikan bahwa strategi militer tidak bisa lagi dijadikan standar kemenangan pertempuran. Ia berpendapat bahwa strategi militer saat ini lebih mengarah ke seni koersif atau intimidasi dan deterensi. Schelling juga mengatakan bahwa kemampuan untuk menghancurkan negara lain bisa dijadikan motivasi bagi suatu negara untuk menghindari atau memengaruhi perilaku negara lain. Untuk bersikap koersif atau mencegah negara lain menyerang negara tersebut, harus dihindari melalui proses diplomasi. Kemampuan penggunaan kekuasaan untuk bertempur sebagai daya tawar, adalah dasar dari teori deterensi, dan dikatakan berhasil apabila kekuatan tersebut tidak digunakan.

Gelombang Perlombaan Senjata

Perkembangan teknologi alutsista yang semakin mematikan, semakin presisi dan penemuan teknologi baru, telah memainkan peran penting dalam hubungan internasional. Terutama berkaitan dengan aspek perlombaan senjata (arms race) dan penentuan sampai seberapa jauh peningkatan kekuatan pertahanan suatu negara, mampu meningkatkan kekuatan nasionalnya.

Perlombaan senjata didefinisikan sebagai “penyesuaian kemampuan mesin perang secara berulang, kompetitif dan timbal balik (reciprocal) antara dua negara atau dua kelompok negara” (Steiner, 1973: 5). Huntington melihat dari segi kapan peristiwa dinamika itu terjadi dengan mendefinisikannya sebagai “peningkatan kemampuan persenjataan suatu negara atau kelompok negara secara progresif, yang terjadi pada masa damai, disebabkan perbedaan kepentingan dan saling ketakutan” (Huntington, 1958: 41). Dalam implikasi hubungan antar negara, perlombaan senjata merupakan “persaingan militer antar negara, di mana usaha peningkatkan kemampuan pertahanan salah satu pihak, akan menimbulkan ancaman bagi pihak lain” (Buzan, 1989: 69).

Implikasi dalam interaksi strategis terlihat dari konsep yang kemudian dikenal sebagai “stabilitas perlombaan senjata“. Selama bertahun-tahun “stabilitas strategis” telah menempati bagian penting bagi para pengambil keputusan militer. Konsep ini terdiri dari dua komponen, yaitu stabilitas krisis dan stabilitas perlombaan senjata. Berbeda dari stabilitas krisis (crisis stability), yang terutama mempelajari keuntungan dan resiko pengeluaran anggaran untuk membuat serangan awal pada saat krisis, “stabilitas perlombaan senjata” (arms race stability) terutama mempelajari keuntungan dan biaya penggelaran senjata-senjata baru pada masa damai.

Perlombaan senjata merupakan masalah penting dalam studi hubungan internasional, dan terutama dalam pengkajian strategi, karena menjelaskan tentang usaha salah satu negara untuk meningkatkan kekuatan nasionalnya melalui peningkatan kemampuan militer sehingga dapat dapat memengaruhi hubungan dengan negara lain.
Perlombaan senjata selalu melibatkan beberapa unsur, dengan tujuan memperoleh dominasi kekuatan militer dan kemenangan. Oleh sebab itu, istilah yang mungkin lebih tepat adalah “dinamika persenjataan”, (arms dynamic).

Konsep dinamika persenjataan menjelaskan segala sesuatu yang menyebabkan suatu negara meningkatkan kemampuan persenjataan, melalui penyesuaian kuantitas maupun kualitas sistem yang telah dimiliki. Idiom-idiom mengenai perlombaan senjata dapat berlangsung dalam perbandingan “simetris”, dimana kekuatan antar pihak yang berlomba dapat dibandingkan secara langsung, sedangkan perbandingan “asimetris”, merupakan perlombaan secara kuantitatif dan kualitatif terhadap sistem persenjataan yang tidak serupa, sebagaimana terlihat dari dinamika penggelaran persenjataan, rudal dan kapal-kapal perang.

Selain perlombaan persenjataan (arms race), saat ini masing-masing negara berusaha meningkatkan kualitas daya tempur dan daya gempur persenjataan melalui program peningkatan kemampuan senjata (arms built-up). Arms build-up adalah peningkatan secara spiral kemampuan militer suatu negara secara nyata, antara lain dari peningkatan belanja persenjataan, peningkatan kualitas personel militer, dan modernisasi sistem persenjataan. Hal ini seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor di luar  persaingan antar negara.

Pengaruh Dinamika Kawasan

Dalam konteks kondisi kawasan Asia Tenggara misalnya, akuisisi senjata dapat terjadi karena beberapa elemen dalam perlombaan senjata yang bukan karena potensi konflik langsung. Faktor lain tersebut antara lain adalah kemampuan industri persenjataan lokal, pergeseran strategi dan doktrin pertahanan, peningkatan kemampuan ekonomi, dan kemudahan untuk memperoleh persenjataan dari pasar internasional dan lain-lain.
 
Indikator yang dapat dipergunakan untuk menganalisa dinamika persenjataan adalah dengan melihat besaran anggaran pertahanan suatu negara. Persoalannya adalah tingkat relatif Produk Domestik Bruto (PDB) satu negara berbeda dari negara lain, karena anggaran pertahanan suatu negara umumnya memuat sektor pembiayaan yang berbeda dengan negara lain. Sebagai contoh walaupun anggaran pertahanan Indonesia termasuk paling kecil di Asia Tenggara, namun berbagai lembaga survei dunia, menempatkan Indonesia sebagai salah satu kekuatan tempur yang sangat disegani.

Sesuai dengan kemampuan industri pertahanan nasional, beberapa negara dapat dikategorikan sebagai negara eksportir persenjataan dan alutsista, beberapa negara lain dapat dikategorikan sebagai negara Importir, serta ada pula negara yang merupakan gabungan dari keduanya. Negara yang mempunyai kemampuan sebagai eksportir persenjataan dan alutsista, kecuali mendapatkan keuntungan dalam bentuk devisa, juga menghasilkan dampak pengganda (multiplier effect) dan daya tawar (bargaining power).
Ada beberapa alasan terjadinya penambahan alokasi anggaran pengadaan persenjataan dan alutsista dalam memperkuat pertahanan negara, antara lain: (1) Terjadinya krisis dan konflik yang menyebabkan perlu penguatan alat pertahanan dan alutsista (contoh kasus Irak, Suriah, Arab Saudi, Mesir, Turki, Nigeria, Israel); (2) Dalam rangka upaya mengimbangi kekuatan negara lain di kawasan (Polandia, Estonia, Latvia, India, Pakistan, Malaysia dan Indonesia); (3) Peningkatan eksistensi sebagai negara super power dalam menjaga kepentingan politiknya di dunia dan kawasan (Amerika Serikat, Inggris, Rusia dan Tiongkok); (4) Meningkatkan kemandirian bangsa bidang teknologi pertahanan (Turki, Jepang dan Korea Selatan); (5) Sebagai negara produsen  dalam rangka menambah devisa negara dari hasil ekspor (Belanda, Jerman, Perancis), serta (6) Walaupun tidak terjadi konflik, namun dengan kekayaan negara yang dimiliki, tetap konsisten memperkuat pertahanan dalam rangka stabilitas kawasan (Australia dan Singapura).

MEMBANGUN KEKUATAN PERTAHANAN MARITIM DAN KARAKTER BANGSA DALAM RANGKA MENINGKATKAN KETAHANAN NASIONAL INDONESIA

 
Oleh: Laksamana Muda TNI Agus Setiadji S.AP
PENDAHULUAN

Berdirinya sebuah negara tidak terlepas dari bagaimana proses pembentukannya. Dengan mengetahui terbentuknya negara, maka dapat dipelajari kemampuan negara tersebut dalam menghadapi berbagai ancaman dalam rangka mempertahankan eksistensi negara. Demikian pula berdirinya negara Indonesia tidak lepas dari sejarah masa lalu, diawali sejarah kerajaan-kerajaan yang ada dan pernah berdiri di tanah air, ratusan tahun penjajahan oleh bangsa asing, serta pergerakan perjuangan rakyatnya yang menuntut kemerdekaan. Indonesia sendiri merupakan sebuah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.499 pulau dengan 5.696 pulau bernama,[1] oleh karena itu geopolitik lndonesia sudah seharusnya sejalan dengan posisi geografis sebagai negara kepulauan. Rezim negara kepulauan pertama kali diperkenalkan di Indonesia saat “Deklarasi Djuanda” pada tanggal 13 Desember 1957, yang menyatakan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan, yang sebelumnya mengacu pada Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).[2]

Konstelasi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut yang sangat luas, terbentang pada jalur pelintasan dan transportasi internasional yang sangat strategis, berimplikasi pada munculnya peluang sekaligus tantangan geopolitik dan geostrategi, dalam rangka mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah.  Presiden RI Ir. Joko Widodo telah mengembalikan pandangan nasional untuk membangun negara berlandaskan geografis sebagai negara maritim, melalui visi  Terwujudnya Indonesia Berdaulat, Mandiri, Dan Berkepribadian Berdasarkan Gotong Royong”,[3] dengan sembilan agenda prioritas (Nawa Cita) yang pada agenda pertama adalah “menghadirkan kembali negara untak melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim”.[4] Selain itu berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002, tentang Pertahanan Negara, maka konsep pertahanan negara pada Pasal 3 ayat 2 menyebutkan “Pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan”. Orientasi pertahanan negara harus mengacu kepada archipelagic oriented, bukan lagi land orientedArchipelagic Oriented mengandung makna bahwa pertahanan negara tidak lagi inward looking, melainkan outward looking. Ketentuan tersebut senada dengan rumusan tentang ancaman dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002, yang tidak lagi menyebutkan ancaman dari dalam negeri dan ancaman luar negeri, melainkan dinyatakan lebih jelas dengan istilah ancaman militer dan ancaman non militer.

Pelaksanaan fungsi pertahanan negara merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa dan negara dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama yang didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama, sedangkan komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Bangsa Indonesia harus memiliki kekuatan pertahanan maritim yang handal dan profesional dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai negara besar dunia yang disegani. Bangsa Indonesia juga harus memiliki karakter bangsa yang sesuai dengan jati diri sebagai manusia yang hidup di wilayah kepulauan dan memiliki jiwa kemaritiman yang telah mengakar pada nilai-nilai sila-sila dalam Pancasila yang antara lain adalah religius, ulet, toleransi dan kekeluargaan dan kerja sama.

KETAHANAN NASIONAL DAN KEKUATAN NASIONAL

Konsepsi Ketahanan Nasional adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional (national power) melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan terpadu berlandaskan UUD RI tahun 1945 dan Wawasan Nusantara. Dengan kata lain konsepsi Ketahanan Nasional merupakan pedoman untuk meningkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa Indonesia, yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan ketahanan nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun dari luar, secara langsung maupun yang tidak langsung yang mengancam dan membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mewujudkan tujuan nasional (Lemhannas RI, 2012). Ketahanan nasional adalah kondisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan, dibina terus menerus dan sinergis, mulai dari pribadi, keluarga, lingkungan, daerah dan nasional bermodalkan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional. Proses berkelanjutan untuk mewujudkan kondisi tersebut dilakukan berdasarkan pemikiran geostrategis yang dirancang dengan memerhatikan kondisi bangsa dan konstelasi geografi Indonesia sebagai negara maritim.

Ketahanan Nasional merupakan istilah khas Indonesia.  Konsepsi Ketahanan Nasional memiliki latar belakang sejarah kelahirannya di Indonesia. Gagasan tentang Ketahanan Nasional bermula pada awal tahun 1960-an pada kalangan militer angkatan darat dari SSKAD yang sekarang berubah menjadi SESKOAD (Sunardi, 1997). Pada masa itu sedang meluas pengaruh komunisme seperti di Laos, Vietnam dan beberapa negara lain, sampai ke Indonesia melalui Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketahanan Nasional kemudian semakin populer sejak tahun 1965, terutama pasca tragedi G-30S-PKI dan setelah berdirinya Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia.

Dalam bukunya yang berjudul “Politic Among Nation” yang telah dipublikasikan pertama kali pada tahun 1948, Hans J. Morgenthau menyebutkan elemen-elemen kekuatan nasional, yang mengandung makna enam unsur yang harus dimiliki oleh suatu negara agar memiliki kekuatan nasional yang besar. Bercermin kepada sejarah nasional yang terjadi, bangsa Indonesia lebih memilih untuk menggunakan Ketahanan Nasional (National Resilience) daripada Kekuatan nasional (National Power), dikarenakan istilah Ketahanan Nasional dipandang lebih sesuai dengan dinamika sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang selama berabad-abad lamanya berhasil mempertahankan kelangsungan hidupnya (survival) sebagai sebuah bangsa.

Perjuangan bangsa Indonesia mengalami pasang surut dan beberapa kali telah terjadi pemberontakan dan pengkhianatan yang bahkan terjadi pada saat bangsa Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaannya. Kondisi tersebut membuat beberapa pengamat asing memrediksi bahwa negara Indonesia yang luas dengan bentuk konstelasi geografi sebagai negara kepulauan, terdiri dari berbagai agama, beratus etnis dan suku, tidak akan berumur panjang dan suatu saat akan tercerai berai menjadi beberapa negara kecil seperti yang terjadi di negara Yugoslavia.  Pada kenyataannya ternyata Bangsa Indonesia masih tetap eksis dan sampai dengan sekarang bahkan tampil sebagai salah satu negara besar yang diakui oleh dunia. Jawaban dari pertanyaan kenapa Indonesia tidak terpecah seperti beberapa negara lain, bukan sekedar dikarenakan bangsa Indonesia memiliki kekuatan nasional (national power) yang besar, namun lebih kepada  kemampuan Indonesia membentuk “ketahanan sebagai sebuah bangsa”.

Kekuatan nasional (national power) adalah kombinasi antara kekuatan dan kemampuan negara yang menggunakan negara untuk mencapai kepentingan nasional dan tujuan nasional (Padelford and Lincoln, 1967) sementara  Hartman memandang bahwa kekuatan nasional sebagai kemampuan suatu negara untuk mencapai tujuan nasional. Elemen-elemen kekuatan nasional menurut Hans J. Morgenthau, terdiri dari:  (1) faktor geografis, (2) sumber daya alam, (3) kemampuan industri, (4) kekuatan militer (military strength), (5) populasi penduduk, (6) karakter nasional serta (7) kualitas diplomasi. Sedangkan Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan ketahanan nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun dari luar, secara langsung maupun yang tidak langsung yang mengancam dan membahayakan integritas identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mewujudkan tujuan nasional, terdiri dari  gatra Alamiah (Tri Gatra: geografi, sumber kekayaan alam dan kependudukan) serta Gatra Sosial (Panca Gatra: Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya serta Pertahanan Keamanan).

MEWUJUDKAN INDONESIA SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA

Kata “maritim” diartikan berkenaan dengan laut atau berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan.[5] Pengertian yang lebih luas tentang maritim, selain menyangkut sumber-sumber daya intern laut, juga menyangkut faktor ekstern laut yaitu pelayaran, perdagangan, lingkungan pantai dan pelabuhan, aspek konektivitas serta faktor-faktor strategis lainnya. Kata maritim mengandung arti integrasi atau gabungan, menunjuk suatu lingkungan kelautan serta bukan menunjuk kepada institusi tertentu. Mengalir dari uraian di atas, bangsa lndonesia patut bersyukur, karena secara geografis, Tuhan Yang Maha Kuasa telah memosisikan wilayah laut lndonesia sebagai salah satu poros maritim dunia. Pertanyaannya adalah, apakah bangsa lndonesia dapat memanfaatkannya?

Memanfaatkan posisi strategis lndonesia sebagai poros maritim dunia sesungguhnya merupakan keharusan, karena menyangkut upaya-upaya terhadap peningkatan kesejahteraan bangsa dalam mencapai cita-cita nasional, sehingga diperlukan kemampuan aspek maritim, yaitu kemampuan ekonomi, politik dan militer dari suatu bangsa, yang diwujudkan melalui kemampuan dalam menggunakan laut untuk kepentingan sendiri, serta mencegah penggunaan laut oleh pihak lain, yang merugikan pihak sendiri. Oleh karena itu perlu dirumuskan peluang-peluang, yang diorientasikan kepada kepentingan para pengguna poros maritim dunia, antara lain penyediaan tempat berlabuh yang aman dan nyaman bagi kapal singgah, pemeliharaan atau menunggu tempat sandar, penyediaan pelabuhan bongkar muat yang efisien, penyediaan galangan kapal, mewajibkan penggunaan pandu, penyediaan sarana rekreasi dan wisata, penyediaan sistem informasi yang cepat, dukungan manajemen yang efektif serta masih banyak lagi peluang yang dapat digali agar para pengguna laut untuk lebih memilih berhenti bahkan menjadikan lndonesia sebagai tempat transit.

Jaminan keamanan tidak saja diperlukan oleh pengguna laut, tetapi juga bagi lndonesia sebagai negara pantai, agar tidak terjadi pelanggaran hukum maupun pelanggaran kedaulatan. lndonesia memiliki kedaulatan penuh di wilayah NKRI yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di wilayah daratan sampai dengan batas garis air rendah (low water line) atau garis pangkal (base line), termasuk teluk dan muara sungai yang dibatasi garis pangkal (perairan pedalaman), merupakan wilayah negara yang mempunyai kedaulatan mutlak. Wilayah laut yang meliputi laut teritorial dan perairan kepulauan, merupakan wilayah negara dengan kedaulatan yang dibatasi, sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982. Wilayah laut tersebut mengakomodasikan berbagai kepentingan internasional seperti lintas damai, lintas transit maupun lintas alur laut kepulauan. Selain itu lndonesia juga memiliki hak-hak lain, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan dan hukum internasional di wilayah perairan yurisdiksi nasional, yang terdiri atas zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen, seperti perikanan, pertambangan, pelestarian lingkungan laut dan penanggulangan berbagai kejahatan di laut. Oleh karena itu penegakan kedaulatan dan hukum di laut, harus juga diselenggarakan sesuai ketentuan hukum laut internasional, dan dilakukan oleh otoritas yang mewakili negara pantai, yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan negara. Sedangkan di luar wilayah perairan yurisdiksi nasional, lndonesia juga memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga, melindungi kepentingan nasional di dan atau lewat laut, berdasarkan peraturan perundangan dan hukum internasional.

Adanya perbedaan antara perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial, pada dasarnya ditentukan oleh hak dan kewajiban negara kepulauan, serta juga hak dan kewajiban yang dimiliki oleh negara lain di perairan tersebut, yaitu hak pelayaran dan penerbangan serta pemanfaatan perairan kepulauan dan laut teritorial. Kedaulatan yang dimiliki oleh negara kepulauan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa hak yang dapat dinikmati oleh negara lain, seperti memberikan dan mengakomodasikan hak berlayar melalui perairan kepulauan, kewajiban untuk menghormati perjanjian yang telah ada dengan negara lain sebelum pemberlakuan konvensi hukum laut, mengakui hak perikanan tradisional, mengakui adanya aktivitas yang sah lainnya, serta menghormati keberadaan kabel bawah laut dan memperbolehkan kegiatan pemeliharaan/ penggantian kabel. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, disebutkan bahwa lndonesia mempunyai kedaulatan (sovereignty) di perairan lndonesia, dengan wilayah yang terdiri dari perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial lndonesia. Pembatasan penunjukan wilayah kedaulatan negara lndonesia tersebut, sesuai dengan ketentuan dalam konvensi hukum laut yang menyatakan bahwa negara pantai/kepulauan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen, hanya mempunyai hak berdaulat (sovereign right). Konsekuensi sebagai negara kepulauan, mewajibkan Indonesia untuk mengakomodasikan kepentingan internasional, khususnya pelayaran dan penerbangan melalui wilayah perairan kepulauan dan laut teritorialnya. Sesuai dengan konvensi hukum laut, setidaknya ada tiga jenis lintas yang diatur yaitu lintas damai, lintas alur laut kepulauan dan lintas transit, selain itu negara kepulauan diminta untuk menghormati hak negara tetangga, terkait dengan kegiatan/kepentingan yang sah di perairan kepulauannya, diantaranya adalah lintas pelayaran dan penerbangan.

Dalam pidato tentang visi maritim dan poros maritim dunia, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa “sudah lama bangsa Indonesia memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk”. Dengan visi maritim nasional, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia tentang pemahaman sebagai bangsa maritim beserta konsekuensi-konsekuensi dalam menata peradaban. Pada dasarnya wilayah perairan merupakan pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam orasi kebudayaannya di Dewan Kesenian Jakarta, Hilmar Farid (2014) menyebutkan fakta-fakta yang tak terbantahkan tentang eksistensi sebagai negara maritim. Walaupun Indonesia pada dasarnya merupakan negara maritim, tetapi semenjak Majapahit runtuh empat abad lalu, bangsa Indonesia lebih banyak membangun peradaban di darat, seolah lupa bahwa Sriwijaya dan Majapahit meraih kejayaannya karena laut. Negara Indonesia secara geografi adalah sebuah archipelagic state, yang kebetulan ada benjolan-benjolan tanah di dalam perairan yang menjadikannya gugusan pulau-pulau. Hasil dari pelacakan Andrian Lapian (2009), kata archipelago memiliki akar kata dari Yunani, yakni arch (besar, utama) dan pelagos (laut), sehingga dapat diartikan sebagai “negara laut utama” atau “laut yang ditaburi pulau-pulau”.

Bangsa Indonesia pada era pemahaman kontinental, menganggap bahwa negaranya adalah daratan yang kebetulan ada perairan-perairan yang melingkupinya. Paradigma yang terbalik ini membuat bangsa Indonesia menganggap bahwa perairan-perairan sebagai pemisah antara pulau dan suku, serta bukan sebagai pemersatu. Paradigma ini membuat bangsa Indonesia kurang berhasil membangun Nusantara dalam arti sebenarnya, karena sistem-sistem dan tata sosial, ekonomi dan politik, hanya sekedar jiplakan dari hasil budaya kontinental. Salah satu aspek paradigma terbalik adalah bahwa betapa bangsa Indonesia melupakan lautan, bisa dilihat dari penilaian ekonomi nasional. Sektor maritim Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk menyumbang Rp 3.000 trilyun per tahun, namun saat ini yang terealisasi masih sekitar Rp 290 trilyun (Sharif Sutardjo, 2014). Apabila digarap dengan baik, sektor maritim berpotensi membuka 40 juta lapangan kerja di Indonesia sehingga Pemerintah Indonesia tidak perlu lagi mengirim TKI, menjadi jongos di luar negeri (Rochmin Dahuri, 2014). Selama ini kita belum menerjemahkan potensi itu menjadi realita, karena masih memfokuskan kegiatan-kegiatan ekonomi di darat melalui pertanian, peternakan, perkebunan dan kehutanan, pertambangan, serta industri yang hasilnya adalah kerusakan lingkungan dimana-mana. Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, ada “lima pilar” yang diharapkan dapat mendukung visi tersebut, antara lain budaya maritim, ekonomi maritim, infrastruktur maritim, diplomasi maritim dan kekuatan pertahanan maritim.

PEMBANGUNAN KEKUATAN PERTAHANAN MARITIM DAN KETAHANAN NASIONAL

Posisi geografi sebagai negara maritim telah mewujudkan Indonesia sebagai negara yang plural. Pluralisme ini menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan alam yang berlimpah serta kekayaan budaya yang sangat menakjubkan.  Sebagai salah satu pilar berdirinya negara, pertahanan merupakan fungsi yang vital dan menentukan dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu sudah sudah menjadi konsekuensi logis bahwa pertahanan negara harus memiliki kemampuan yang handal untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Pertahanan negara adalah kewajiban seluruh warga negara, seperti yang tertulis pada Undang-Undang  Dasar 1945, Pasal 27 ayat 3, yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”, Pasal 30 ayat 1, berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”, Pasal 30 ayat 2, berbunyi “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung” serta Pasal 30 ayat 3, berbunyi “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”.

Archipelagic Oriented mengandung makna bahwa pertahanan negara tidak lagi inward looking, melainkan outward looking.    Ketentuan tersebut senada dengan rumusan tentang ancaman dalam pasal 7 UU Nomor 3 tahu 2002, yang tidak lagi menyebutkan ancaman dari dalam negeri dan ancaman luar negeri, melainkan dinyatakan lebih jelas dengan istilah ancaman militer dan ancaman non militer. Ancaman militer dipersepsikan lebih bersifat outward looking, sehingga fokus pembangunan dan penggunaan kekuatan TNI adalah untuk menghadapi ancaman militer asing, tanpa mengabaikan pelibatan kekuatan TNI dalam menghadapi pemberontakan bersenjata di dalam negeri. Sebagai negara Nusantara (Archipelagic State), Indonesia memiliki ciri khas dengan konfigurasi geografi yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dengan ditebari pulau-pulau besar dan kecil. Kekhasan tersebut memungkinkan Indonesia untuk memanfaatkan ketentuan United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS’82) sepenuhnya.

Pengakuan dunia dalam hukum internasional tersebut, telah mengesahkan a defined territory negara Indonesia, sehingga Indonesia memiliki legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi wilayah darat, laut dan udara di atasnya.   Demikian pula Indonesia juga mempunyai kedaulatan dan kewenangan untuk menjaga dan mempertahankan integritas wilayah kelautannya, termasuk mengelola dan mengatur orang dan barang yang ada di dalam wilayah kelautan tersebut, namun hal ini tidak berarti meniadakan hak negara lain sesuai dengan ketentuan dalam konvensi tersebut. Secara legal formal, Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional tersebut, termasuk kewajiban Indonesia untuk menjamin keamanan wilayah kelautan, khususnya sebagai Sea Lines Of Communication (SLOC).   Bila kewajiban ini diabaikan, dalam arti bahwa kapal-kapal niaga negara pengguna merasa tidak aman saat melintas di perairan Indonesia, maka hal itu dapat menjadi alasan bagi mereka untuk menghadirkan kekuatan angkatan laut negaranya.   Berkaitan dengan hal tersebut diatas diperlukan kesamaan persepsi tentang keamanan laut, khususnya bagi komponen bangsa yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang di laut, agar action plan yang dilaksanakan dapat tepat sasaran, terarah dan terpadu. Penegakan kedaulatan di laut memiliki dua dimensi pemahaman, yaitu kedaulatan negara (sovereignity) dan hak berdaulat (sovereign right) sebagaimana dijelaskan pada pasal 2, 34, 47 dan 49 dari UNCLOS 1982.  Kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi pada negara untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap perlu, demi kepentingan negara, berdasarkan hukum nasional dengan memperhatikan hukum internasional.

Dasar hukum penguasaan negara atas suatu wilayah bersumber dari eksistensi sebagai negara merdeka dan berdaulat. Kedaulatan negara meliputi kedaulatan atas wilayah, kedaulatan atas kepentingan nasional lainnya, serta kedaulatan atas pengawasan terhadap kegiatan di dalam wilayah negara.   Oleh karena itu negara memiliki hak dan wewenang untuk mengatur maupun membuat peraturan hukum (legislation), mengawasi berlakunya peraturan (control), serta menegakkan peraturan dan hukum yang berlaku (law enforcement), demi kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan pasal 56 UNCLOS 1982, menyatakan bahwa hak berdaulat adalah suatu hak negara pantai untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, atas sumber daya alam hayati maupun non hayati di ZEE dan di Landas Kontinen, berdasarkan hukum laut internasional. Negara memiliki hak pemanfaatan sumber daya alam, dan wewenang mengatur/membuat peraturan hukum (legislation), mengawasi berlakunya peraturan (control), dan menegakkan peraturan/hukum (law enforcement) yang berkenaan dengan penegakan hak berdaulat, serta perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam di ZEE maupun di Landas Kontinen.

Sebagai negara maritim yang memiliki perairan yang sangat luas dan strategis, Indonesia senantiasa berusaha untuk menjamin stabilitas perdamaian dan keamanan di wilayah perairan yurisdiksinya terhadap kemungkinan timbulnya konflik dan ancaman. Indonesia beserta negara kawasan, berusaha menciptakan keamanan kawasan laut regional, termasuk di Selat Malaka dan Selat Singapura, merupakan salah satu selat terpadat di dunia, yang menjadi perhatian masyarakat maritim internasional. Jalur perdagangan dunia yang menggunakan jasa angkutan laut, sebagian besar melalui perairan Indonesia, sehingga dapat dimengerti bahwa apabila keamanan laut di perairan Indonesia terganggu, akan berdampak terganggunya aktivitas perdagangan lewat laut, sehingga merugikan negara pengguna.

Masalah penegakan hukum di laut menjadi salah satu isu nasional yang sangat penting, mengingat kerugian yang dialami negara sangat besar, akibat berbagai pelanggaran hukum; antara lain illegal fishing, illegal migrant, illegal logging, dan illegal mining. Penegakan keamanan di laut memiliki dua dimensi, yaitu penegakan kedaulatan dan penegakan hukum, sehingga kedua dimensi tersebut saling terkait satu sama lain. Sistem Pertahanan Negara, yaitu Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) diletakkan dalam format negara moderen melalui kebijakan politik negara, sehingga memberi kesadaran dan tanggung jawab kepada masyarakat bahwa masalah pertahanan negara bukan hanya urusan TNI semata, melainkan masalah seluruh bangsa. Demikian pula menyangkut pembangunan kemampuan pertahanan negara, bukan hanya tanggung jawab TNI atau Kementerian Pertahanan, melainkan juga tanggung jawab seluruh komponen bangsa yang meliputi pemerintahan dan segenap komponen masyarakat.

Strategi pertahanan negara harus mampu menjawab tiga hal yang mendasar, yakni apa yang dipertahankan, dengan apa mempertahankannya, serta bagaimana mempertahankannya. Strategi pertahanan hendaknya dirumuskan dengan mencermati kondisi geografis, dinamika yang terjadi pada lingkungan strategis, serta kecenderungan penggunaan persenjataan (alutsista), baik pada lingkungan internasional maupun regional. Strategi pertahanan Indonesia hendaknya dapat mengkaitkan dan mengintegrasikan karakteristik kekuatan masing-masing kekuatan pertahanan, baik darat, laut dan udara, tanpa adanya dominasi matra. Perumusan strategi pertahanan ditujukan untuk menciptakan kekuatan pertahanan yang terpadu (integrated armed forces).

Kekuatan terpadu Indonesia terdiri dari kekuatan darat yang interoperability dengan kekuatan laut maupun udara, terintegrasi ke dalam strategi pertahanan maritim. Kekuatan pertahanan hendaknya didasari strategi maritim sebagai negara kepulauan, juga membutuhkan kekuatan udara yang tangguh dalam penyelenggaraan pertahanan negara.  Dengan lahirnya Deklarasi Djuanda, landasan struktural dan legalitas batas perairan Indonesia menjadi semakin jelas. Untuk mencapai posisi sebagai negara maritim, tentu batas-batas wilayah perairan harus dijaga dengan ketat, sehingga sumber daya yang ada di dalamnya tidak dieksploitasi dengan sembarangan.  Sebagai komponen utama pertahanan negara, Tentara Nasional Indonesia memerlukan dukungan dan peran masyarakat dalam ikut melaksanakan fungsi utama untuk menjaga kedaulatan NKRI. Hal mendasar yang terkait kewajiban warga negara adalah bahwa negara dapat mewajibkan setiap warga negara untuk ikut dalam upaya pertahanan negara. Mewajibkan warga negara untuk ikut dalam upaya pertahanan negara, adalah konteks yang konstitusional sebagai konsekuensi menjadi warga negara dari suatu negara yang berdaulat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD RI tahun 1945. Dalam rangka menciptakan kekuatan pertahanan maritim yang tangguh, perlu alokasi anggaran yang sesuai dengan konstelasi geografis nasional. Keterbatasan alokasi anggaran dapat diatasi dengan pendekatan prioritas dan perencanaan yang matang. Selain itu sistem penganggaran perlu ditinjau kembali, agar efektifitas dan akuntabilitas anggaran negara dapat dipertanggung jawabkan.

Kekuatan pertahanan maritim pada dasarnya adalah kekuatan nasional dari suatu bangsa, yang digunakan sebagai sarana untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di laut, dalam rangka menjamin dan melindungi kepentingan nasional bangsa. Kata maritim tidak menunjukkan satu atau dua institusi saja, melainkan banyak institusi yang bernaung di bawah suatu negara maritim.   Berdasarkan hal tersebut, suatu skuadron pesawat tempur dan suatu brigade infanteri, bisa menjadi komponen utama dari kekuatan pertahanan maritim. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kekuatan pesawat tempur sangat diperlukan dalam operasi di laut, baik waktu keadaan damai, terlebih dalam situasi perang. Suatu kegiatan operasi di laut tidak terlepas keterkaitannya dengan kegiatan operasi di darat dan udara, demikian pula sebaliknya.

Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli berkaitan dengan maritime power atau Sea Power. Teori yang terkenal dikemukakan oleh Perwira Tinggi Amerika Serikat, Rear Admiral  Alfred Thayer Mahan dalam bukunya yang terkenal:  "The Influence Of Sea Power Upon History 1660-1783"[6]  yang terbit pada tahun 1890, menjelaskan teorinya dengan menggunakan contoh-contoh dari perang antara Inggris vs Belanda pada akhir abad 17, serta perang antara Inggris melawan Perancis pada abad 18.   AT Mahan mencatat bahwa kejadian-kejadian di laut sangat mempengaruhi kejadian-kejadian di darat.   Namun seringkali keputusan-keputusan politik yang diambil berdasarkan kejadian-kejadian di darat, jarang mempertimbangkan aspek kemaritiman. Mahan menggaris-bawahi  bahwa Sea Power merupakan unsur yang sangat penting bagi kejayaan suatu bangsa. Sea Power atau kekuatan laut, pada dasarnya identik dengan   Maritime Power, apabila kekuatan-kekuatan itu diberdayakan akan meningkatkan kesejahteraan dan keamanan negara.  Sebaliknya bila kekuatan-kekuatan itu kurang diberdayakan, akan berakibat merugikan negara atau bahkan meruntuhkan keberadaan suatu bangsa.

Komponen kekuatan maritim suatu bangsa menurut A.T. Mahan, ada enam yaitu: (1) posisi geografi; (2) bentuk fisik wilayah; (3) luas wilayah; (4) jumlah penduduk; (5) watak/karakter rakyat; serta (6) sikap Pemerintah. Enam komponen kekuatan maritim yang dikemukakan oleh A.T.Mahan pada abad 19 tersebut, sampai sekarang masih digunakan sebagai acuan, namun dengan penambahan pemahaman dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat.   Oleh karenanya faktor-faktor dominan lain seperti tingkat penguasaan Ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia, sumber daya alam, serta perkembangan industri dan jasa maritim yang merupakan penggerak dari pembangunan kekuatan maritim, juga harus dipertimbangkan pengaruhnya. Selain A.T Mahan, ada beberapa teori lainnya tentang komponen/elemen-elemen kekuatan maritim, antara lain dikemukakan oleh Admiral Sir Herbert Richmond dari Royal Navy  (1871-1946). Sir Herbert Richmond berpendapat bahwa elemen-elemen Kekuatan Maritim yang penting ada tiga, yaitu: (1) armada niaga; (2) armada tempur; (3) pangkalan di seberang lautan. Sedangkan Admiral Wegener dari Jerman berpendapat bahwa membangun kekuatan maritim yang kuat diperlukan: armada, posisi/pangkalan dan mentalitas bangsa yang berorientasi maritim. Dari beberapa teori tentang kekuatan maritim tersebut di atas, dapat disusun suatu “Anatomi Kekuatan Maritim”, yaitu: (1) Sumber Kekuatan: geografi, sumber daya, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sikap pemerintah,  dan karakter bangsa; (2) Elemen: armada niaga,  armada tempur,  armada perikanan,  armada pemerintah (Bakamla, dan lain-lain),  pesawat udara tempur dan non tempur,  pangkalan termasuk pangkalan udara, serta pelabuhan dan fasillitasnya; (3)  wujud holistik berupa kekuatan maritim atau maritime power.

Kemampuan Maritim atau Maritime Capability dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu kemampuan ekonomi, politik dan militer dari suatu bangsa, yang dapat diwujudkan dalam mempengaruhi penggunaan laut untuk kepentingan sendiri  (use the sea), serta mencegah penggunaan laut oleh pihak-pihak lain yang merugikan pihak sendiri  (sea denial).   Pada dasarnya kemampuan maritim dari suatu bangsa selalu digunakan untuk pengendalian laut  (sea control), demi untuk kepentingan ekonomi dan kelangsungan hidup bangsa. Maritime capability dalam pengertian yang lebih spesifik adalah suatu kemampuan militer dari suatu bangsa yang digunakan untuk tugas-tugas pertahanan di laut, yakni dalam rangka menegakkan kedaulatan dan hukum di laut yurisdiksi, serta dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa di darat, baik melalui kehadiran dari suatu kekuatan di laut untuk tugas-tugas patroli perbatasan, operasi bantuan, proyeksi kekuatan, maupun dalam bentuk sebagai komponen dari operasi gabungan. Dewasa ini kemampuan proyeksi kekuatan maupun tugas-tugas operasi bantuan, semakin berkembang karena adanya kombinasi dengan satelit, drone, pesawat tempur yang berbasis operasi di laut, ditambah dengan penggunaan rudal dari kapal ke sasaran di darat, sehingga semakin meningkatkan kemampuan operasi dan taktik.

Sumber kekuatan maritim suatu negara terdiri dari  geografi, sumber daya, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sikap pemerintah,  dan karakter bangsa. Berkaitan dengan sikap pemerintah dan karakter bangsa, sangat ditentukan oleh visi dan misi pemerintah. Presiden Joko Widodo secara cerdas telah mengembalikan pemikiran kejayaan bangsa Indonesia masa lalu dengan visi maritim. Berdasarkan data (Kadin: 2015), proyeksi nilai dari aspek kelautan mencapai sebesar 171 miliar Dolar Amerika atau setara dengan 2.359 triliun Rupiah (kurs Rp.13.800 per dollar Amerika Serikat) yang meliputi: perikanan sebesar 437 triliun Rupiah, wilayah pesisir 770 triliun Rupiah, bioteknologi 552 triliun Rupiah, wisata bahari 27,6 triliun Rupiah, minyak bumi 289,8 triliun Rupiah, transportasi laut 276 triliun Rupiah. Mewujudkan transportasi terintergarsi merupakan jawaban yang paling tepat, tol laut adalah “konektivitas laut yang efektif berupa adanya kapal yang melayari secara rutin dan terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia”. Aspek kesejahteraan tidak dapat terpisahkan dari aspek keamanan, sehingga aspek pertahanan harus menyesuaikan konsep rencana pembangunan nasional. Dihadapkan kepada luas wilayah laut yurisdiksi nasional serta kepentingan kesejahteraan dalam bentuk keamanan nasional, maka kekuatan pertahanan maritim merupakan hal mutlak harus dipenuhi.

Visi maritim Presiden Joko Widodo, merupakan elemen keenam dari teori sea power dari AT Mahan, yaitu “sikap pemerintah”. Presiden juga menyampaikan bahwa dalam rangka pertahanan negara, alokasi anggaran militer akan ditingkatkan dari sebelumnya hanya sebesar 0,8 persen dari PDB menjadi 1,5 persen dari PDB secara bertahap, sementara rata-rata anggaran pertahanan negara kawasan Asia Tenggara adalah 2,3 persen dari PDB. Penambahan persentase alokasi anggaran sebesar 0,7 persen bukanlah suatu nilai yang kecil. Dihadapkan kepada proses pembangunan kekuatan pertahanan yang membutuhkan waktu panjang, maka perlu perencanaan yang tepat dan terinci dalam membelanjakan anggaran pertahanan sebaik-baiknya dalam mencapai kemakmuran bangsa.

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MARITIM

Pada masa lampau, karakter bangsa dalam antropologi dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut. Karakter bangsa atau karakter nasional (national character) adalah “refers to relatively functional personality characteristics and patterns that are prototype among the adult members of a society. The assumption is that virtually all individuals behave in conformity with the prescribed norms, attitudes, desires and inclinations, views and opinions, motives and standards, beliefs and ideas, and hopes and aspirations of an individual which he shares with other members of his nation”.[7] Karakter bangsa pada intinya merupakan identitas nasional atau jati diri yang melekat pada bangsa tersebut. Identitas nasional atau jati diri suatu bangsa, pada hakekatnya merupakan penjelasan tentang nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam aspek kehidupan suatu bangsa. Identitas berarti ciri-ciri, sifat khas yang melekat pada suatu hal sehingga menunjukan suatu keunikan serta membedakan dengan hal-hal lain. Sedangkan nasional berasal dari kata “nation” yang memiliki arti bangsa, menunjukan kesatuan komunitas sosio-kultural serta memiliki semangat, cita-cita, tujuan, dan ideologi bersama. Untuk lebih memahami tentang identitas bangsa adalah dengan selalu menjunjung dan mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa tersebut, sekaligus memunculkan rasa kebangsaan, dan semangat kebangsaan, yang sangat diperlukan untuk membangun serta memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Karakter sering diberi padanan kata “watak, tabiat, perangai atau akhlak”. Dalam bahasa Inggris “character” mengandung arti “a distinctive differentiating mark”, tanda yang membedakan secara tersendiri. Karakter adalah keakuan rohaniah yang nampak dalam keseluruhan sikap dan perilaku, yang dipengaruhi oleh bakat, atau potensi dalam diri dan lingkungan. Karakter dapat berubah akibat pengaruh lingkungan, oleh karena itu perlu usaha membangun karakter dan menjaganya agar tidak terpengaruh oleh hal-hal yang menyesatkan dan menjerumuskan. Sebagai contoh rakyat Indonesia yang semula dikenal bersikap ramah, memiliki rasa menghargai, suka membantu dan peduli terhadap lingkungan; dewasa ini telah luntur tergerus arus global, berubah menjadi sikap yang kurang terpuji, seperti mementingkan diri sendiri, mudah mencaci maki pihak lain, mencari-cari kesalahan, tidak bersahabat dan sebagainya.

Contoh negara yang mempunyai karakter bangsa kuat dan mampu dengan cepat membangun negaranya, antara lain Jerman dengan motto “Uber Alles” (diatas segala-galanya), Inggris dengan semboyan “Rule the waves” serta  Korea Selatan  dengan “Urinara” (demi bangsaku). Bangsa Korea Selatan merdeka pada tanggal 15 Agustus 1945, hanya berbeda dua hari dengan Indonesia. Korea juga mengalami perang saudara pada tahun 1950-1953, yang menewaskan hampir 2,5 juta jiwa serta menghancurkan perekonomian dan stabilitas negara. Dengan karakter yang unggul, Korsel mencetak prestasi yang sangat luar biasa sekaligus menjungkirkan semua pandangan rendah terhadap bangsa Korea. Perihnya penjajahan Jepang membuat bangsa Korea bertekad mengalahkan prestasi bangsa Jepang. Selama kurun 1960-1990, Korea Selatan merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat. Memasuki tahun 1990-an, Korea semakin menunjukkan eksistensinya menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia yang tinggi, dan hingga saat ini Korsel telah mengalahkan banyak negara dunia termasuk negara-negara Eropa. Korsel menjadi salah satu negara eksportir barang manufaktur berteknologi tinggi utama, mulai dari elektronik, mobil/bus, kapal, mesin-mesin, petrokimia hingga robotik. Menurut ekonom Chuk Kyo Kim dari Korea Institut for International Economic Policy, keberhasilan Korea Selatan tidak lepas dari perhatian besar pemerintah pada bidang pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, serta investasi agresif di kegiatan penelitian dan pengembangan. Kesuksesan Korea Selatan juga tidak lepas dari pembangunan karakter rakyat Korea yang tangguh, didukung kebanggaan dan cinta produksi dalam negeri, jiwa pekerja keras yang  disiplin, pengelolaan utang luar negeri yang baik, makro-ekonomi yang solid, dan kondisi sosial-politik yang relatif bebas dari konflik internal.

Selain Korea, bangsa Jepang juga mempunyai karakter yang kuat. Karakter bangsa Jepang dibentuk sejak masih kecil serta ditularkan oleh orang tua melalui contoh dan tauladan. Prinsip moral berasal dari kebudayaan “Samurai”. Samurai sangat menghormati dan peduli pada orang yang lebih tua baik orang tua sendiri, pimpinan, maupun para leluhurnya. Mereka memahami silsilah keluarga juga asal-usulnya, mereka juga fokus kepada kepentingan bersama dan tidak memikirkan kepentingan pribadi semata. Kejujuran adalah salah satu prinsip utama karakter bangsa Jepang. Prinsip hidup bangsa Jepang yang terinspirasi dari “Samurai” adalah suka bekerja keras, mau hidup hemat, loyal, inovatif, pantang menyerah, gemar membaca serta tetap menjaga tradisi di tengah modernisasi. Kerja keras mereka dibuktikan dengan jumlah kerja pegawai Jepang adalah 2450 jam/tahun. Perilaku bangsa Jepang yang sangat menginspirasi dunia antara lain: (1) ramah dan sopan, (2) ekspresif, (3) menghargai usaha dan proses (tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi lebih berorientasi pada proses), serta (4) tumbuh sebagai satu komunitas. Orang Jepang cenderung maju dan berkembang sebagai satu komunitas daripada sebagai individu-individu yang terpisah, serta (5) prosedural, well organized, tekun, dan teliti.

Karakter nasional sangat memengaruhi kualitas warga bangsa tersebut, sehingga dapat dijadikan landasan serta sumber penguat terhadap elemen nasional yang lain. Jumlah populasi penduduk yang besar namun tidak didukung kualitas yang memadai, akan menjadi beban negara dan pada gilirannya akan menimbulkan berbagai permasalahan baru, baik aspek politik, ekonomi maupun keamanan. Warga negara dengan karakter yang sesuai jati diri bangsa berdasarkan geografi negaranya, akan menjadi elemen yang sangat ampuh dalam melawan berbagai pengaruh asing. Dalam sejarah dunia maupun nasional, kolonialisasi suatu bangsa terhadap bangsa lain selalu diawali dengan penghancuran karakter bangsa, yang merupakan identitas nasional atau jati diri bangsa tersebut. Jati diri bangsa selalu dibentuk oleh kondisi lingkungan maupun letak geografis dimana mereka tinggal.

Indonesia adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa lainnya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting sejak abad ketujuh. Letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia telah membuat terbentuknya karakter sebagai bangsa dengan budaya maritim. Para pakar sejarah menduga bahwa perahu telah lama memainkan peranan penting di Nusantara, jauh sebelum bukti tertulis menyebutkannya. Dugaan ini didasarkan atas sebaran artefak perunggu, seperti nekara, kapak, dan bejana perunggu di berbagai tempat di Sumatera, Sulawesi Utara, Papua hingga Rote. Bukti tertulis paling tua mengenai pemakaian perahu sebagai sarana transportasi laut, tercetak dalam Prasasti Kedukan Bukit (16 Juni tahun 682 Masehi). Pada prasasti tersebut diberitakan; ”Dapunta Hiya bertolak dari Minana sambil membawa pasukan sebanyak dua laksa dengan perbekalan sebanyak 200 peti, naik perahu…”. Selain itu pada masa yang bersamaan, dalam relief Candi Borobudur (abad ke-7-8 Masehi) dipahatkan beberapa macam bentuk kapal dan perahu. Dari relief ini dapat direkonstruksi, dugaan bentuk-bentuk perahu atau kapal, yang sisanya banyak ditemukan di beberapa tempat di Nusantara. Hal ini membuktikan bahwa pada dasarnya bangsa Indonesia telah mempunyai karakter dan budaya maritim berdasarkan letak geografi, sejak jaman dahulu. Konsekuensi pemahaman sebagai manusia maritim adalah dengan perlunya memahami dasar-dasar ontologis hingga kosmologis tentang eksistensi bangsa Indonesia, yang kemudian menjadi bahan dasar dalam menata cara hidup yang berbasis pada dunia laut dan pesisir. Manusia-manusia yang hidup berkembang dalam dimensi spasial perairan, secara alami akan menjadi kelompok masyarakat yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif. Tatanan sosial, ekonomi, dan politik sebagai produk budaya maritim, pada dasarnya akan memiliki kekhasan tersendiri dan berbeda dengan produk budaya yang lahir di atas konteks alam yang lain (Radhar Dahana, 2011).

Karakter bangsa Indonesia secara sangat tepat diterjemahkan oleh para founding fathers dalam bentuk “Kelima Sila dalam Pancasila”. Pancasila pada dasarnya adalah jati diri bangsa maritim Indonesia. Karakter bangsa maritim akan lebih religius dalam menghadapi perubahan cuaca di laut yang bisa sangat ekstrim. Bangsa maritim akan lebih toleran terhadap perbedaan-perbedaan dikarenakan interaks yang lentur dan intens antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Hal ini berbeda dengan budaya daratan yang dipenuhi konflik dan peperangan dikarenakan kondisi geografis dan geologis yang memaksa mereka untuk melawan atau menguasai manusia, binatang, atau lingkungan sekitarnya. Sebagaimana contoh negara-negara di kawasan Timur Tengah, baik pada masa silam maupun pada masa kini, yang terus dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa kekerasan dan peperangan. Karakter bangsa maritim sangat mengedepankan asas kekeluargaan dalam aktivitas perekonomian mereka. Sebagaimana contoh penjelasan Charles Beraf (2014) tentang masyarakat nelayan di Lamalera, Nusa Tenggara Timur. Tradisi “tena laja” (penangkapan ikan-ikan besar) masih terus dihidupkan oleh masyarakat lokal hingga saat ini. Tradisi ini tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan konsumtif belaka, namun juga menjadi aktivitas kultural masyarakat. Melalui tradisi ini mereka dapat menjaga kohesivitas antar anggota kelompok, selanjutnya hasil tangkapan yang didapat dari aktivitas ini, tidak dinikmati oleh penangkap saja, namun dibagikan kepada siapapun di Lamalera terutama para janda dan anak yatim.

Berbagai sejarah kehidupan dan perjuangan bangsa menempatkan karakter bangsa maritim yang religius, toleransi, kekeluargaan dan kebersamaan, merupakan faktor perekat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.  Karakter bangsa Indonesia tersebut tumbuh dan berkembang menjadi jati diri bangsa yang hidup di kepulauan Nusantara, membentuk pusat kekuatan (Center of Gravity), sehingga perlu terus dijaga dan dipertahankan. Di dalam bukunya  “On War“ Clausewitz mendifinisikan arti Center of Gravity sebagai: “The hub of all power and movement, on which everything depends. That is the point against which all our energies should be directed”. (halaman 596). Dalam pengertian ini Clausewitz berbicara tentang lawan atau musuh, dengan berasumsi, jika musuh kehilangan keseimbangan akibat melemahnya Center of Gravity, maka pukulan demi pukulan terus dilakukan sehingga kemenangan lebih mudah tercapai. Center of Gravity bangsa Indonesia sangat dipahami oleh kolonial penjajah VOC Belanda sehingga, dengan metoda Devide Et Impera  serta merubah karakter bangsa Indonesia menjadi kontinental, telah mampu menjajah wilayah Nusantara lebih dari 300 tahun. Selain karakter positif bangsa maritim yang mengalir dalam darah bangsa Indonesia, terdapat pula hambatan dan kebiasaan yang diakibatkan oleh faktor geografi maupun lingkungan sosial, yang perlu untuk diperbaiki melalui program revolusi mental, antara lain: (1) bangsa yang hidup di daerah dua musim yang sangat subur, cenderung malas karena semua kebutuhan untuk hidup bisa dengan mudah didapat di sekitarnya, (2) walaupun religius, bangsa Indonesia cenderung mudah percaya kepada hal-hal yang berbau klenik dan irasional (tidak rasional), (3) bangsa Indonesia cenderung senang disanjung, mudah lupa dan kurang peduli faktor sejarah, (4) kelemahan yang sangat mendasar pada bangsa Indonesia adalah kecenderungan untuk tidak disiplin dan tidak taat aturan.

Pendidikan karakter bangsa perlu dilaksanakan melalui konsep gerakan nasional yang didukung oleh semua lapisan masyarakat di pusat pemerintahan maupun daerah. Langkah yang paling efektif untuk membentuk karakter bangsa adalah pada usia dini. Perlu dikembangkan pengalaman belajar (learning experiences) dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter sejak dini ke dalam diri individu generasi muda Indonesia. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan, yang berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Pada aspek aplikatif, perlu dibangun berbagai museum-museum budaya maritim di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Sebagai contoh, pendidikan Sekolah Dasar (Basisschool) di Belanda berlangsung dengan sangat sederhana dan mengena, serta memberikan pijakan dalam membentuk karakter. Siswa-siswa SD di Belanda, setiap hari selalu diarahkan untuk mengunjungi berbagai museum, kantor pemerintahan (gemeente kantoren) maupun komunitas lain yang menunjukkan identitas nasional, sementara pelajaran matematika masih belum banyak diajarkan. Siswa kelas tiga beberapa kali dibekali uang beberapa Euro dan dibawa ke pasar, diharuskan berbelanja dan  mempertanggung-jawabkan hasilnya di depan kelas. Siswa SD di Belanda dari awal juga sudah dibekali pengetahuan bahwa geografi negaranya sebagian besar berada di bawah permukaan laut, sehingga wajib hukumnya untuk bisa berenang serta mampu berenang dengan menggunakan pakaian lengkap.

Saat ini Pemerintah Kabinet Kerja telah menggulirkan gerakan nasional revolusi mental. Revolusi Mental adalah “gerakan seluruh rakyat Indonesia bersama Pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi Indonesia yang lebih baik”. Perbaikan karakter bangsa Indonesia hanya bisa dilaksanakan bilamana tetap mengacu kepada jati diri bangsa maritim yang merupakan identitas bangsa Indonesia yang tertampil dalam nilai-nilai pada setiap sila dalam Pancasila, dan perlu ditanamkan dalam diri manusia Indonesia sejak dini, melalui metoda yang benar dan mengena dalam benak mereka. Pendidikan karakter bangsa yang berjiwa maritim harus merupakan komitmen seluruh sektor kehidupan, bukan hanya tugas sektor pendidikan nasional. Keterlibatan aktif dari sektor-sektor pemerintahan lainnya, khususnya sektor keagamaan, kesejahteraan, pemerintah daerah, komunikasi dan informasi, kesehatan, hukum dan hak azasi manusia, serta pemuda dan olah raga, juga sangat menentukan keberhasilan pembentukan karakter bangsa. Karakter bangsa maritim yang kuat akan menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dalam kancah nasional, regional maupun global, sehingga memperkuat elemen nasional yang lain dalam rangka Ketahanan Nasional.

PENUTUP

Pada dasarnya setiap negara di dunia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dalam rangka mencapai tujuan nasional dan cita-cita nasionalnya. Dua aspek melekat yang berkaitan dengan eksistensi bangsa dan negara dalam kancah kehidupan nasional, regional dan global adalah kesejahteraan (prosperity) dan keamanan (security). Keamanan nasional dirupakan dalam bentuk kekuatan pertahanan nasional, oleh karena itu negara harus memiliki kemampuan yang handal untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Kekuatan pertahanan nasional yang berdasarkan geografi dan geostrategi negara secara langsung akan meningkatkan Ketahanan Nasional.

Pemerintah Kabinet Kerja tahun 2014-2019 menempatkan pembangunan nasional yang berlandaskan kondisi geografi Indonesia sebagai negara maritim. Visi ini pada dasarnya merupakan ide cemerlang dalam rangka mengembalikan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim, karena sumber daya di laut sangat melimpah dan dapat dikelola untuk menyejahterakan bangsa Indonesia, dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai negara besar yang disegani. Visi kemaritiman Presiden Jokowi membutuhkan kekuatan postur pertahanan yang unggul. Postur pertahanan yang bervisi maritim, merupakan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2002, tentang Pertahanan Negara, yaitu pembangunan pertahanan yang berdasarkan konstelasi geografi sebagai negara kepulauan. Postur pertahanan maritim memiliki tiga aspek utama, yaitu kemampuan (capability), kekuatan (force) dan gelar (deployment). Ketersediaan alokasi anggaran pertahanan memang penting, namun pembangunan kekuatan pertahanan yang hanya berdasarkan alokasi anggaran semata, akan mendapatkan kualitas dan kuantitas yang tidak sesuai dengan kondis geografi, sehingga pada gilirannya akan membuat inefisiensi anggaran. Alokasi anggaran pertahanan sampai tahun 2016, masih kurang dari 0,8% dari PDB. Pemerintah saat ini akan berupaya meningkatkan alokasi anggaran pertahanan setiap tahun, menjadi 1,5% dari PDB secara bertahap. Penambahan alokasi anggaran sebesar 0,7% (dari 0,8% menjadi 1,5%), merupakan suatu nilai yang cukup signifikan, sehingga perlu penajaman dan prioritas kebijakan dalam membangun kekuatan Tri Matra Terpadu pertahanan maritim.

Membangun kejayaan maritim juga harus ditopang dari karakter bangsa unggul, sebagai jati diri yang sesuai dengan geografis negara. Dengan mengembalikan kembali visi pembangunan nasional yang berciri kemaritiman, mari kita gelorakan kembali kejayaan bangsa Indonesia dalam menyongsong masa depan yang lebih baik.

Jalesveva Jayamahe, Justru di laut kita jaya. 



[1] Dishidros (TNI AL), 2014
[2] Neelakantan, V, Eradicating Smallox in Indonesia: “The Archipelagic Challenge. Health and History”, 2010, Halaman 12
[3] “Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”, Jokowi Jusuf Kalla, 2014.
[4] Ibid
[5] Doktrin TNI Angkatan Laut, Mabes TNI Angkatan Laut, 2001
[7] Dean Peabody, National Characteristics, University of Cambridge, 1985,  halaman 419

Berkaca Pada Negara Maritim Norway Yang Saya Kunjungi

Selama beberapa hari berkunjung ke Oslo sbg ibukota negara Norway dlm rangka mengikuti sidang FAO, banyak pelajaran yg saya anggap berm...