AGUS SETIADJI
SEEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN PERTAHANAN RI
Rabu, 07 Juni 2017
Berkaca Pada Negara Maritim Norway Yang Saya Kunjungi
Kamis, 25 Mei 2017
Selasa, 16 Mei 2017
EKONOMI MARITIM DAN PERTAHANAN KEAMANAN NASIONAL
Oleh: Laksda TNI Agus Setiadji, S.AP
Rahardjo Adisasmita dalam buku yang
berjudul Pembangunan Ekonomi Maritim (2013), membuat terminologi tentang
ekonomi maritim. Ada beberapa terminologi yang mirip tapi berbeda penekanan,
yaitu ekonomi maritim, ekonomi kepulauan, ekonomi kelautan, dan ekonomi archipelago. Semua terminologi tersebut
membahas pentingnya laut, perdagangan antar pulau, kegiatan di pelabuhan,
industri galangan kapal, penangkapan ikan, wisata bahari, dan lainnya. Dampak
positifnyapun sangat luas, yaitu peningkatan produksi, investasi, penyerapan
tenaga kerja, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat, termasuk masyarakat
nelayan.
Ekonomi Maritim berkolaborasi dengan
sistem transportasi maritim, peranan dan fungsi pelabuhan pembangunan berbasis
kemaritiman dan kepulauan, sistem perwilayahan maritim, pengembangan wilayah
pesisir, potensi sumber daya perikanan dan kelautan, penataan ruang wilayah
pesisir, serta tujuan dan unsur-unsur pembangunan maritim, termasuk juga
keamanan maritim dalam menjaga kesinambungan ekonomi maritim. Menurut jurnal
ilmiah Maritime Economics and Logistics
(MEL) Palgrave Macmillan, Inggris, “Ekonomi Maritim”, atau “Ekonomi Maritim dan Logistik”, adalah
studi terintegrasi tentang transportasi laut, kepelabuhan, serta manajemen
rantai suplai global. Konsep ini diperkenalkan pada 1999 oleh Profesor Hercules
Haralambides dari Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda. Profesor Hercules
juga memasukkan fokus logistik maritim, khususnya optimalisasi terminal
kontainer dan jaringan transportasi laut (tol laut).
Dari dua pengertian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa ekonomi maritim adalah segala upaya manusia untuk
mengalokasikan segala sumber daya maritim bagi kemakmuran bangsa. Ekonomi
maritim juga bersinggungan antara banyaknya daya dukung pengolahan laut,
sebagai komoditas yang layak pakai, dengan aspek kemakmuran bangsa. Laut merupakan sentral pertumbuhan ekonomi
yang dapat digeneralisasi sebagai sistem nilai ekonomi terintegrasi.
Laut bukan hanya sekedar lahan mengunduh ikan, rumput laut, atau komoditas
kelautan lain. Laut juga dapat memenuhi semua kebutuhan manusia, mulai dari
pemenuhan kebutuhan pangan, energi, hingga wisata. Dikarenakan laut adalah
suatu sistem nilai terintegrasi, maka semua kebutuhan manusia dapat didukung
oleh eksplorasi sumber daya laut atau yang terhubung langsung dan tidak
langsung dengan laut. Manusia membangun filosofi ekonomi dari laut, dengan
meyakini bahwa laut dapat memakmurkan, manusia mengentaskan pendidikan berbasis
laut, dengan menanamkan jiwa kebaharian, serta manusia bekerja dengan
memanfaatkan laut secara berkelanjutan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) mencatat bahwa potensi bisnis sektor kelautan Indonesia mencapai Rp 3.000
triliun per tahun.[1]
Nilai potensi kelautan Indonesia tersebut meliputi perikanan USD 32 miliar,
wilayah pesisir USD 56 miliar, bioteknologi USD 40 miliar, wisata bahari USD 2
miliar, minyak bumi USD 21 miliar, dan transportasi laut USD 20 miliar.[2] Kalkulasi
ini membutuhkan perencanaan matang serta manajemen pengelolaan yang harus
berbuah berupa kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan nilai
tambah ekonomi bidang maritim untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia,
diperlukan juga aspek keamanan maritim. Konsepsi ketahanan nasional bangsa Indonesia
merupakan pedoman untuk meningkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa yang
mengandung kemampuan mengembangan kekuatan nasional dengan pendekatan
kesejahteraan (prosperity) dan
keamanan (security). Upaya mengelola keamanan maritim (maritime security) merupakan kunci bagi
negara pantai di sebuah kawasan untuk meningkatkan kesejahteraan, pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas keamanan.[3] Kedudukan
Indonesia pada posisi silang perdagangan, yang memiliki empat dari sembilan Sea Lines of Communication (SLOC) dunia,
mengakibatkan Indonesia mempunyai kewajiban yang sangat besar, untuk menjamin
keselamatan dan keamanan pelayaran internasional di Selat Malaka dan Selat
Singapura, serta tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Oleh karena itu
Indonesia harus mempunyai kemampuan pertahanan dan keamanan maritim yang
memadai, apalagi untuk menjaga kedaulatan di seluruh wilayah laut
yurisdiksinya.
Pada dasarnya Indonesia adalah
negara yang cinta damai dan tidak memiliki ambisi menguasai negara atau wilayah
bangsa lain. Selain itu, Indonesia juga memiliki pulau-pulau yang jauh terutama
di Laut Natuna dan Laut Sulawesi, serta masih memiliki beberapa wilayah
perbatasan laut yang belum ditetapkan maupun wilayah rawan sengketa, sehingga
Indonesia harus memiliki daya tawar. Indonesia harus memiliki kesiagaan dan
kemampuan untuk dapat mengendalikan laut dan memroyeksikan kekuatannya melalui
laut dalam rangka memelihara stabilitas dan integritas Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam mewujudkan
kepentingan untuk menjaga keselamatan, keamanan dan pertahanan negara di laut,
kuantitas dan kualitas alutsista yang dimiliki TNI masih belum memadai untuk
melakukan penguasaan dan pengendalian laut di dalam yurisdiksi nasional.
Pembangunan TNI terutama TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara harus lebih
bersifat outward looking, yaitu
berdasarkan kebutuhan pengendalian laut nasional sampai ke batas wilayah Zona Ekonomi
Eksklusif, bukan hanya untuk mendukung pertahanan di darat semata. Perlu pula
mempertimbangkan strategi pertahanan yang bersifat deterrent dan denial.
Kepentingan mengamankan kegiatan
ekonomi dan kedaulatan di laut yurisdiksi Indonesia yang sangat luas
membutuhkan sistem yang profesional, efektif dan efisien. Pakar hukum laut internasional, Profesor
Hasyim Djalal, menyatakan bahwa sudah sepatutnya Indonesia memiliki konsep
negara maritim (ocean policy), yang
mampu memanfaatkan dan menjaga laut untuk menyejahterakan rakyatnya. Profesor Hasyim Jalal juga menyampaikan bahwa
secara hukum internasional dan undang-undang, memang Indonesia sebagai negara
kepulauan, tetapi belum maksimal memanfaatkan kekayaan yang ada di laut,
sehingga diperlukan konsep strategi negara maritim yang tangguh dan berdaulat.
Negara maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan (kesejahteraan) dan
menjaga (keamanan) lautnya. Karena kondisi geografi, banyak negara merupakan
negara kepulauan tapi bukan negara maritim, sementara ada beberapa negara dengan
wilayah laut kecil, tapi memiliki predikat negara maritim.
Ekonomi dan pertahanan pada dasarnya
merupakan dua sisi mata uang. Pembangunan ekonomi membutuhkan stabilitas
pertahanan dan keamanan, sedangkan kekuatan pertahanan membutuhkan alokasi
anggaran yang sepadan. Pembagian alokasi anggaran untuk aspek pertahanan sangat
dipengaruhi oleh besarnya pendapatan suatu negara. Kekuatan pertahanan salah
satunya direpresentasikan juga dari besarnya alokasi anggaran pertahanan yang
sering dihitung berdasarkan persentase Produk Domestik Bruto (PDB). PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang
diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per
tahun). Besarnya alokasi anggaran pertahanan banyak dipengaruhi oleh politik
negara, nilai ancaman dan resiko maupun pertimbangan dari aspek ekonomi.
Senin, 15 Mei 2017
DIPLOMASI MARITIM
Oleh: Laksda TNI
Agus Setiadji, S.AP
“Melalui diplomasi maritim, kami mengajak semua mitra-mitra Indonesia untuk bekerja sama di bidang kelautan ini. Bersama-sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Laut harus menyatukan, bukan memisahkan, kita semua”. (Presiden RI, Ir. Joko Widodo, 2014).
Diplomasi
adalah seni dan praktik bernegosiasi oleh
seseorang (disebut diplomat)
yang biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi
(Kemlu, 2010). Kata diplomasi sendiri biasanya terkait dengan diplomasi
internasional, yang biasanya mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi,
pertahanan dan perdagangan.
Perjanjian-perjanjian internasional
umumnya dirundingkan oleh para diplomat terlebih dahulu sebelum disetujui oleh
pembesar-pembesar negara. Istilah “diplomacy” diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Edward Burke pada tahun 1796, berdasarkan sebuah kata dari bahasa Perancis
yaitu “diplomatie”. Negara maritim adalah negara yang dikelilingi oleh laut dan
menjadikan laut sebagai bagian dari sumber penghidupan, sehingga diplomasi maritim adalah
negosiasi atau perundingan yang dilakukan oleh dua negara atau lebih mengenai
batas laut, kerjasama maritim serta pertahanan.
Berdasarkan UNCLOS 1982, zona-zona maritim yang berada
dibawah yurisdiksi nasional dibagi lagi ke dalam dua zona. Zona-zona maritim
yang berada dibawah kedaulatan penuh adalah perairan pedalaman (internal water), perairan kepulauan (archipelagic water) bagi negara
kepulauan, dan laut territorial (territorial
sea). Zona-zona maritim yang berada dibawah wewenang dan hak khusus negara
pantai adalah jalur tambahan (contiguous
zone), Zona Ekonomi Eksklusiif (ZEE) dan landas kontinen. Zona-zona maritim yang berada di luar
yurisdiksi nasional adalah laut lepas (high
seas) dan kawasan dasar laut internasional. Mengingat fungsi laut sebagai
sumber daya yang dapat dikonversi menjadi nilai ekonomi, maka aktivitas manusia
dalam kaitan kepentingan pemanfaatan sumber daya laut, terkadang memperlihatkan
kecenderungan tidak memperhatikan fungsi laut lainnya. Tanpa pengaturan yang
tegas dalam pemanfaatan laut, akan dapat berdampak pada terjadinya konflik
pemanfaatan ruang di laut. Kegiatan penambangan pasir laut dapat berdampak
negatif pada ekosistem pulau-pulau kecil, kelangsungan hidup nelayan
tradisional, wisata bahari dan sektor terkait lainnya. Pembangunan bagan-bagan
ikan di laut ataupun lahan budi daya rumput laut yang pada akhir-akhir ini
berkembang cukup pesat, dan telah meningkatkan kerawanan konflik pemanfaatan
ruang laut.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985
mengamanatkan perlunya penanganan secara serius terhadap penataan batas-batas
maritim dengan negara-negara tetangga. Laut Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh)
negara, yakni India, Singapura, Australia, Malaysia, Thailand, Vietnam,
Filipina, Palau, Papua Nugini, dan Timor Leste. Dalam aspek nasional, batas
daerah di laut (batas maritim antar daerah), adalah pemisah antara daerah yang
berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dan daftar koordinat di peta,
yang dalam implementasinya merupakan batas kewenangan pengelolaan sumber daya
wilayah laut. Mengacu kepada Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pasal 3 disebutkan bahwa wilayah daerah propinsi di laut
adalah sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas atau
ke arah perairan kepulauan. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat 3 juga menyebutkan
bahwa kewenangan daerah Kabupaten dan Kota di wilayah laut adalah sejauh
sepertiga dari batas laut propinsi.
Sesuai ketentuan UNCLOS 1982, dalam penentuan batas
maritim internasional, titik pangkal yang merupakan perpotongan garis air
rendah (low water line) dengan pantai,
yang digunakan sebagai acuan untuk mengukur lima batas maritim internasional.
UNCLOS 1982 memberi kebebasan kepada tiap negara pantai untuk menentukan air
rendah sebagai datum vertikal yang akan digunakan untuk delimitasi batas maritim,
baik pada penentuan limit batas maritim secara unilateral, maupun pada
delimitasi batas maritim secara bilateral. UNCLOS 1982 juga memberi kebebasan
kepada tiap negara pantai untuk menentukan garis air pasang (high water) sebagai datum vertikal yang
akan digunakan untuk delimitasi batas maritim, baik pada penentuan batas limit
secara unilateral maupun pada delimitasi maritim secara bilateral. Pemilihan
garis air pasang sebagai datum vertikal akan memiliki implikasi pada penentuan
pulau dan elevasi pasut yang selanjutnya secara berantai akan berimplikasi pada
delimitasi batas maritim.
Salah satu persoalan yang dapat memicu persengketaan antar
negara, adalah masalah perbatasan (baik darat, udara maupun laut). Anggapan
bahwa situasi regional kawasan Asia Pasifik dalam tiga dekade ke depan tetap
aman dan damai, tidak sepenuhnya benar. Kawasan ini bertabur potensi konflik
yang diakibatkan oleh berbagai persoalan, antara lain ketidak sepahaman mengenai
garis batas antar negara yang belum terselesaikan, peningkatan perlombaan
persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara kawasan maupun
negara dari luar kawasan serta eskalasi aksi terorisme lintas negara dan
gerakan sparatis bersenjata, yang dapat mengundang kesalah pahaman antar negara
tetangga dan lain-lain. Faktor-faktor potensial di kawasan yang dapat menyulut
persengketaan terbuka tersebut antara lain adalah persaingan antara negara
besar di kawasan (Amerika Serikat dan Tiongkok), serta situasi sengketa
perbatasan Laut Tiongkok Selatan yang makin memanas, yang melibatkan berbagai
negara pengklaim (Claimant States),
yang juga menyangkut perbatasan nasional Indonesia di ZEE dan landas
kontinental di utara Kepulauan Natuna.
Mengingat kerawanan perbatasan antar negara sering menjadi
penyebab sengketa maka diplomasi maritim perlu ditujukan untuk mencapai
kepentingan nasional, yakni mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian
dalam kebudayaan, berdaulat di bidang pertahanan, dengan latar belakang
geostrategi sebagai negara maritim. Diplomasi maritim tetap
dijalankan berdasarkan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Dalam Pidato
pelantikannya, Presiden Jokowi menegaskan arti penting diplomasi maritim,
dengan tujuan utama adalah “Jalesveva
Jayamahe”, yaitu “…untuk
mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk
adalah masa depan peradaban kita”. Selain itu, Presiden Jokowi mengajak
bangsa Indonesia mengingat himbauan “…Presiden
Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi
negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki
jiwa cakrawarti samudera; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan
hempasan ombak yang menggulung”.
Reorientasi kebijakan
luar negeri yang ditempuh dalam upaya sistematis untuk mengedepankan aspek
diplomasi maritim, adalah untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari
Komunitas ASEAN 2015 (MEA), kerjasama multilateral maupun bilateral. Peran
aktif Indonesia di ASEAN dalam 10 tahun telah mengembalikan peran aktif Indonesia
di organisasi regional ini. Kepiawaian diplomasi Indonesia juga menonjol dalam
keanggotaan aktif pada berbagai forum, seperti G7, G20, APEC, MDG’s, dan forum
multilateral lainnya. Pengakuan itu juga diwujudkan dalam bentuk kepercayaan
kepada Indonesia sebagai tuan rumah dan ketua dari forum-forum multilateral. Tantangan
geostrategi dan geografi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia,
harus diwujudkan dan ditegakkan dalam konteks hukum internasional, melalui
batas-batas negara yang jelas. Seperti ditegaskan Menteri Luar Negeri RI, Retno
L. Marsudi (2014); kedaulatan Indonesia atas wilayah maritimnya harus
ditegakkan tanpa dapat ditawar (non-negotiable).
Kedaulatan maritim menuntut kapasitas dan kapabilitas Indonesia dalam
mengamankan wilayah perairan/laut dari ancaman dan gangguan eksternal.
Kehadiran kekuatan
militer dan kemampuan reaksi cepat dari para pemangku kepentingan keamanan maritim,
menjadi syarat utama dari keberlangsungan kedaulatan negara, namun demikian
kedaulatan yang bersifat teritorial, fisik dan militer, ternyata juga tidak
cukup. Walaupun perlindungan terhadap wilayah laut dan udara diatasnya sangat
penting, namun juga dituntut rasa nyaman dan aman masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada
sektor kelautan, seperti nelayan, industri perkapalan maupun masyarakat maritim
lainnya. Kesejahteraan ekonomi nelayan, konektivitas melalui tol laut,
kemudahan kredit, pasokan BBM, merupakan sebagian dari “public goods” yang perlu disediakan pemerintah.
Rasa nyaman dan aman
untuk tinggal dan melaut di wilayah perairan, akan mendorong nelayan Indonesia
bekerja sama dengan aparat untuk mempertahankan wilayah laut dari gangguan
kapal-kapal ilegal. Kedaulatan maritim melalui pengerahan kapal-kapal TNI
Angkatan Laut dan pesawat terbang TNI Angkatan Udara, juga tetap diperlukan
untuk menimbulkan efek gentar terhadap kemungkinan menyusupnya
kapal-kapal/pesawat terbang asing secara ilegal.
Diplomasi maritim juga
menuntut kesiapan Kementerian Luar Negeri RI sebagai leading sector dalam mengoordinasikan pelaksanaannya. Kemlu perlu mengidentifikasi
negara-negara yang paling berpotensi untuk diajak bekerja sama dalam rangka
mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Selain itu perlu keterlibatan
TNI Angkatan Laut secara aktif dalam mendukung diplomasi maritim sesuai dengan teori Trinitas yang dikemukakan oleh Ken
Booth (Navies and Foreign Policy, 1979), bahwa pada dasarnya semua
Angkatan Laut di seluruh dunia memiliki tiga peran yaitu militer, polisional,
diplomasi.
KEKUATAN PERTAHANAN MARITIM
Oleh :Laksda TNI Agus Setiadji, S.AP
Posisi geografi
sebagai negara maritim telah mewujudkan Indonesia sebagai negara yang plural.
Pluralisme ini menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan alam yang berlimpah
serta kekayaan budaya yang sangat menakjubkan. Indonesia merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia, pulau-pulau tersebut terbentang dari timur ke
barat yang sepadan dengan jarak antara London dan Siberia, serta dengan jarak
sekitar 2.500 km dari utara ke selatan.
Dengan dilandasi kondisi itulah, maka para pendahulu bangsa (founding fathers), telah merumuskan dan
mengajukan “Deklarasi Juanda” pada tahun 1957, agar dunia mengakui wilayah
kedaulatan maritim Indonesia, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Deklarasi Djuanda terkandung suatu konsepsi
“Negara Maritim Nusantara”, yang melahirkan konsekuensi bagi Pemerintah dan
bangsa Indonesia untuk memperjuangkan serta mempertahankannya hingga mendapat
pengakuan internasional. Deklarasi Djuanda merupakan landasan struktural dan
legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia, sebagai negara maritim.
Sebagai salah satu
pilar berdirinya negara, pertahanan merupakan fungsi yang vital dan menentukan
dalam kehidupan bernegara. Pertahanan negara adalah kemampuan dalam menjamin
kelangsungan hidup dan mempertahankan diri dari setiap ancaman yang datang dari
luar dan dalam negeri.
Oleh karena itu sudah sudah menjadi konsekuensi logis bahwa pertahanan negara
harus memiliki kemampuan yang handal untuk menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup bangsa dan negara. Konstelasi geografis Indonesia sebagai
negara kepulauan dengan wilayah laut yang sangat luas, terbentang pada jalur
pelintasan dan transportasi internasional yang sangat strategis, berimplikasi
pada munculnya peluang sekaligus tantangan geopolitik dan geostrategi, dalam
rangka mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah. Pertahanan negara adalah kewajiban seluruh
warga negara, seperti yang tertulis pada Undang-Undang Dasar 1945, Pasal
27 ayat 3, yang menyatakan bahwa “setiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”,
Pasal 30 ayat 1, berbunyi “tiap-tiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara”, Pasal 30 ayat 2, berbunyi “Usaha
pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan
pendukung” serta Pasal 30 ayat 3, berbunyi “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,
dan Angkatan Udara, sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”.
Pertahanan negara yang
kuat, akan meningkatkan kemampuan dalam menghadapi berbagai ancaman, baik yang
datang dari dalam maupun dari luar negeri. Melalui Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun
2002, tentang Pertahanan Negara, maka konsep pertahanan negara mengalami
perubahan yang sangat mendasar. Pasal 3 ayat 2 menyebutkan “Pertahanan negara disusun dengan
memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan”. Berdasarkan
pasal tersebut diatas, maka orientasi pertahanan negara harus mengacu kepada archipelagic
oriented bukan lagi land oriented.
Archipelagic
Oriented
mengandung makna bahwa pertahanan negara tidak lagi inward looking,
melainkan outward looking. Ketentuan tersebut senada
dengan rumusan tentang ancaman dalam pasal 7 UU Nomor 3 tahu 2002, yang tidak
lagi menyebutkan ancaman dari dalam negeri dan ancaman luar negeri, melainkan
dinyatakan lebih jelas dengan istilah ancaman militer dan ancaman non militer.
Ancaman militer dipersepsikan lebih bersifat outward looking, sehingga fokus pembangunan dan penggunaan kekuatan
TNI adalah untuk menghadapi ancaman militer asing, tanpa mengabaikan pelibatan
kekuatan TNI dalam menghadapi pemberontakan bersenjata di dalam negeri.
Sebagai negara Nusantara (Archipelagic State), Indonesia
memiliki ciri khas dengan konfigurasi geografi yang sebagian besar wilayahnya
terdiri dari lautan dengan ditebari pulau-pulau besar dan kecil. Kekhasan
tersebut memungkinkan Indonesia untuk memanfaatkan ketentuan United Nation
Convention on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS’82) sepenuhnya, karena
Indonesia telah meratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985,
yang diberlakukan sebagai hukum positif sejak tanggal 16 Nopember 1994,
sehingga status Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State),
diakui oleh dunia.
Pengakuan dunia dalam hukum internasional tersebut, telah mengesahkan
a defined territory negara Indonesia, sehingga Indonesia memiliki
legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi wilayah darat, laut
dan udara di atasnya. Demikian pula Indonesia juga mempunyai
kedaulatan dan kewenangan untuk menjaga dan mempertahankan integritas wilayah
kelautannya, termasuk mengelola dan mengatur orang dan barang yang ada di dalam
wilayah kelautan tersebut, namun hal ini tidak berarti meniadakan hak negara
lain sesuai dengan ketentuan dalam konvensi tersebut.
Secara legal formal, Indonesia terikat dengan
ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional tersebut, termasuk kewajiban
Indonesia untuk menjamin keamanan wilayah kelautan, khususnya sebagai Sea
Lines Of Communication (SLOC). Bila kewajiban ini diabaikan,
dalam arti bahwa kapal-kapal niaga negara pengguna merasa tidak aman saat
melintas di perairan Indonesia, maka hal itu dapat menjadi alasan bagi mereka untuk
menghadirkan kekuatan angkatan laut negaranya. Berkaitan dengan hal
tersebut diatas diperlukan kesamaan persepsi tentang keamanan laut, khususnya
bagi komponen bangsa yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang di laut, agar action
plan yang dilaksanakan dapat tepat sasaran, terarah dan terpadu. Penegakan
kedaulatan di laut memiliki dua dimensi pemahaman, yaitu kedaulatan
negara (sovereignity) dan hak berdaulat (sovereign right)
sebagaimana dijelaskan pada pasal 2, 34, 47 dan 49 dari UNCLOS 1982.
Kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi pada negara untuk melakukan suatu
tindakan yang dianggap perlu, demi kepentingan negara, berdasarkan hukum
nasional dengan memperhatikan hukum internasional.
Dasar hukum penguasaan negara atas suatu wilayah bersumber
dari eksistensi sebagai negara merdeka dan berdaulat. Kedaulatan negara
meliputi kedaulatan atas wilayah, kedaulatan atas kepentingan nasional lainnya,
serta kedaulatan atas pengawasan terhadap kegiatan di dalam wilayah
negara. Oleh karena itu negara memiliki hak dan wewenang untuk
mengatur maupun membuat peraturan hukum (legislation), mengawasi
berlakunya peraturan (control), serta menegakkan peraturan dan hukum
yang berlaku (law enforcement), demi kepentingan negara dan bangsa.
Sedangkan pasal 56 UNCLOS 1982, menyatakan bahwa hak berdaulat adalah suatu hak
negara pantai untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, atas sumber daya alam
hayati maupun non hayati di ZEE dan di Landas Kontinen, berdasarkan hukum laut
internasional. Oleh karena itu negara memiliki hak pemanfaatan sumber daya
alam, dan wewenang mengatur/membuat peraturan hukum (legislation),
mengawasi berlakunya peraturan (control),
dan menegakkan peraturan/hukum (law enforcement) yang berkenaan dengan
penegakan hak berdaulat, serta perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam di
ZEE maupun di Landas Kontinen.
Disamping suatu negara mempunyai kedaulatan, dalam hukum
laut juga disebutkan bahwa kapal perang juga memiliki nilai yang melambangkan
kedaulatan negara secara utuh, yang tidak dimilki oleh wahana lain.
Sebuah kapal perang juga memiliki imunitas (pasal 95) yang membuatnya tidak
tersentuh hukum teritorial setempat. Berbagai bentuk nyata penghormatan
kedaulatan dan hak berdaulat negara pantai oleh pelaku lintas pelayaran di
perairan wilayah kedaulatan, telah dijelaskan dalam UNCLOS 1982 pasal 39,
antara lain:
a. Berlayar tanpa berhenti, terus menerus dan secepat mungkin
dengan cara normal, kecuali diperlukan karena alasan force majeure;
b. Tidak mengancam dan atau menggunakan kekuatan apapun terhadap
kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara yang berbatasan
dengan selat, atau menggunakan cara lain apa pun yang melanggar hukum
internasional;
c. Menaati peraturan hukum internasional tentang keselamatan laut,
pencegahan pencemaran dari kapal;
d. Menaati peraturan penerbangan yang ditetapkan oleh Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) bagi pesawat udara sipil;
e. Tidak melakukan riset atau kegiatan survei tanpa ijin negara
pantai dan tidak melakukan penangkapan ikan, menaikkan atau menurunkan
komoditi, mata uang atau orang yang bertentangan dengan peraturan bea cukai,
fiskal, imigrasi atau saniter negara pantai.
Alur pelayaran merupakan Sea Lines of Communication
(SLOC) serta Sea Lines of Trade (SLOT). SLOC dan SLOT ini
bagaikan urat nadi bagi kehidupan banyak bangsa di dunia, termasuk bagi bangsa
Indonesia sendiri. Bagi sebagian besar negara di kawasan Asia Timur, di mana
kebanyakan struktur ekonominya berorientasi kepada bidang ekspor dan impor,
ketergantungan pada keberadaan SLOC/SLOT menjadi semakin penting. Hal tersebut
bersamaan dengan makin dominannya kekuatan industri dunia di Asia Timur seperti
Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, seiring kebutuhan minyak dari Timur Tengah,
yang dari tahun ke tahun makin meningkat pesat. Sejalan dengan hal itu,
pola hubungan antar bangsa, cenderung bergeser ke arah semakin menonjolnya
kepentingan ekonomi dibandingkan kepentingan lainnya, sehingga menimbulkan
tuntutan terwujudnya stabilitas keamanan kawasan laut regional.
Sebagai negara maritim yang memiliki perairan yang sangat
luas dan strategis, Indonesia dengan segala cara dan upaya, senantiasa berusaha
untuk menjamin stabilitas perdamaian dan keamanan di wilayah perairan
yurisdiksinya terhadap kemungkinan timbulnya konflik dan ancaman. Indonesia
beserta negara kawasan, berusaha menciptakan keamanan kawasan laut regional,
termasuk di Selat Malaka dan Selat Singapura, merupakan salah satu selat
terpadat di dunia, yang menjadi perhatian masyarakat maritim internasional.
Jalur perdagangan dunia yang menggunakan jasa angkutan laut, sebagian besar
melalui perairan Indonesia, sehingga dapat dimengerti bahwa apabila keamanan
laut di perairan Indonesia terganggu, akan berdampak terganggunya aktivitas
perdagangan lewat laut, sehingga merugikan negara pengguna, khususnya negara
dengan volume perdagangan yang lewat laut.
Kawasan Asia Tenggara memiliki peranan sangat penting,
karena merupakan penghubung antara samudera Pasifik dan samudera
Hindia. Selat-selat dan perairan kawasan ini merupakan jalur
perdagangan dunia yang sekaligus menjadi choke points strategis bagi
proyeksi armada Angkatan Laut negara maritim besar, dalam rangka forward
presence ke seluruh penjuru dunia. Sebagai jalur
perdagangan, kondisi ini akan mengundang beberapa ekses negatif yang berkaitan
dengan masalah keamanan kawasan.
Seluruh komponen bangsa Indonesia memiliki kepentingan
yang sama terhadap laut, yaitu terwujudnya stabilitas keamanan di laut
dalam rangka menjamin integritas wilayah maupun kepentingan nasional di dan
atau lewat laut. Untuk dapat mewujudkan kondisi keamanan di laut, diperlukan
upaya penegakan kedaulatan dan penegakan hukum. Masalah penegakan hukum di laut
menjadi salah satu isu nasional yang sangat penting, mengingat kerugian yang
dialami negara sangat besar, akibat berbagai pelanggaran hukum; antara lain illegal
fishing, illegal migrant, illegal logging, dan illegal mining.
Penegakan keamanan di laut memiliki dua dimensi, yaitu
penegakan kedaulatan dan penegakan hukum, sehingga kedua dimensi tersebut
saling terkait satu sama lain. Sistem Pertahanan Negara, yaitu Sistem
Pertahanan Semesta (Sishanta) diletakkan dalam format negara moderen melalui
kebijakan politik negara, sehingga memberi kesadaran dan tanggung jawab kepada
masyarakat bahwa masalah pertahanan negara bukan hanya urusan TNI semata, melainkan
masalah seluruh bangsa. Demikian pula menyangkut pembangunan kemampuan
pertahanan negara, bukan hanya tanggung jawab TNI atau Kementerian Pertahanan,
melainkan juga tanggung jawab seluruh komponen bangsa yang meliputi pemerintahan
dan segenap komponen masyarakat.
Pembangunan nasional di daerah juga harus memperhatikan
pembinaan kemampuan pertahanan. Disamping itu, Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun
2002 juga mengamanatkan peningkatan kemampuan pertahanan negara melalui
kegiatan penelitian dan pengembangan industri dan teknologi di bidang
pertahanan, hal ini merupakan langkah awal yang sangat baik bagi tumbuh dan
berkembangnya industri pertahanan. Perubahan yang fundamental dari Konsep Dasar
Pertahanan Negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun
2002 tersebut, masih perlu dijabarkan lebih lanjut, baik dalam peraturan
perundang-undangan, sesuai yang diamanatkan dalam pasal-pasalnya, maupun dalam
dokumen dan piranti lunak instrumen strategis lainnya, yang diperlukan untuk
mengelola pertahanan negara.
Strategi pertahanan
negara harus mampu menjawab tiga hal yang mendasar, yakni apa yang
dipertahankan, dengan apa mempertahankannya, serta bagaimana mempertahankannya.
Strategi pertahanan hendaknya dirumuskan dengan mencermati kondisi geografis,
dinamika yang terjadi pada lingkungan strategis, serta kecenderungan penggunaan
persenjataan (alutsista), baik pada lingkungan internasional maupun regional.
Strategi pertahanan Indonesia hendaknya dapat mengkaitkan dan mengintegrasikan
karakteristik kekuatan masing-masing kekuatan pertahanan, baik darat, laut dan
udara, tanpa adanya dominasi matra. Perumusan strategi pertahanan ditujukan
untuk menciptakan kekuatan pertahanan yang terpadu (integrated armed forces).
Kekuatan terpadu
Indonesia terdiri dari kekuatan darat yang
interoperability dengan kekuatan laut maupun udara, terintegrasi ke dalam
strategi pertahanan maritim. Kekuatan pertahanan hendaknya didasari strategi
maritim sebagai negara kepulauan, juga membutuhkan kekuatan udara yang tangguh
dalam penyelenggaraan pertahanan negara.
Dengan lahirnya Deklarasi Djuanda, landasan struktural dan legalitas
batas perairan Indonesia menjadi semakin jelas. Untuk mencapai posisi sebagai
negara maritim, tentu batas-batas wilayah perairan harus dijaga dengan ketat,
sehingga sumber daya yang ada di dalamnya tidak dieksploitasi dengan
sembarangan.
Sebagai komponen utama
pertahanan negara, Tentara Nasional Indonesia memerlukan dukungan dan peran
masyarakat dalam ikut melaksanakan fungsi utama untuk menjaga kedaulatan NKRI.
Hal mendasar yang terkait kewajiban warga negara adalah bahwa negara dapat
mewajibkan setiap warga negara untuk ikut dalam upaya pertahanan negara.
Mewajibkan warga negara untuk ikut dalam upaya pertahanan negara, adalah
konteks yang konstitusional sebagai konsekuensi menjadi warga negara dari suatu
negara yang berdaulat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD RI tahun 1945. Dalam
rangka menciptakan kekuatan pertahanan maritim yang tangguh, perlu alokasi
anggaran yang sesuai dengan konstelasi geografis nasional. Keterbatasan alokasi
anggaran dapat diatasi dengan pendekatan prioritas dan perencanaan yang matang.
Selain itu sistem penganggaran perlu ditinjau kembali, agar efektifitas dan
akuntabilitas anggaran negara dapat dipertanggung jawabkan.
Minggu, 14 Mei 2017
PENERAPAN TEKNOLOGI PERTAHANAN AMERIKA SERIKAT DAN INDONESIA
Pengertian penelitian, dan pengembangan atau Litbang (Research
and Development atau R&D) adalah kegiatan penelitian, dan
pengembangan, dalam kaitannya dengan riset
ilmiah murni, dan pengembangan aplikatif di bidang teknologi. Seals dan Richey
(1994) mendefinisikan penelitian dan pengembangan sebagai suatu kajian
sistematik terhadap pendesainan, pengembangan dan evaluasi program, proses dan
produk pembelajaran yang harus memenuhi kriteria validitas, kepraktisan, dan
efektifitas. .
Aktivitas
penelitian dan pengembangan biasanya dilakukan oleh suatu unit, lembaga
atau pusat khusus yang dimiliki oleh suatu perusahaan, perguruan tinggi, atau
lembaga negara, biasanya merujuk pada aktivitas
yang berorientasi ke masa yang akan datang, dan untuk jangka panjang baik dalam
bidang ilmu maupun dalam
bidang teknologi. Bentuk penelitian murni biasanya dihasilkan oleh
lembaga penelitian seperti BATAN, LIPI, LAPAN,
sementara bentuk yang bersifat praktis bisa dilakukan oleh BPPT
dan institusi Puslitbang/Balitbang di masing-masing Kementerian, Lembaga maupun
perusahaan.
Berkaitan
dengan aspek R&D, Departemen Pertahanan Amerika Serikat menempatkan
kegiatan penelitian dan pengembangan alutsista menjadi salah satu bagian yang
sangat sentral, karena menyangkut kegiatan lanjutan hingga penghapusan
material. Alokasi anggaran Litbang (R&D) berbeda-beda tergantung tipe,
model, tingkat teknologi masing-masing alutsista. Pada bulan Maret 2014, kantor Sektretaris
Pertahanan Amerika Serikat telah melaksanakan assessment biaya dan evaluasi program alutsista, menyampaikan bahwa
biaya litbang pesawat tempur dan kapal selam sekitar 7% dari Life Cycle Cost
(LCC) sedangkan untuk kapal permukaan sekitar 5% dari LCC. Institusi Litbang
industri pertahanan di Amerika Serikat langsung berada dibawah kendali
Departemen Pertahanan Amerika Serikat, sedangkan di Indonesia setiap institusi
memiliki lembaga Litbang sendiri-sendiri, lengkap dengan alokasi anggarannya masing-masing
(Balitbang, Dislitbang Angkatan, Litbang masing-masing perusahaan BUMN/BUMS
dll).
Ditinjau dari kemampuan industri
pertahanan, dari sepuluh perusahaan senjata terbesar di dunia, tujuh
diantaranya berasal dari Amerika Serikat.
No
|
Perusahaan
|
Negara
|
Penjualan
Senjata (dalam satuan $ Juta)
|
% Total Penjualan
|
1
|
Lockhead Martin
|
AS
|
30.000
|
76
|
2
|
Boeing
|
AS
|
27.610
|
34
|
3
|
BAE System
|
Inggris
|
26.850
|
95
|
4
|
Raytheon
|
AS
|
22.500
|
92
|
5
|
General Dynamics
|
AS
|
20.940
|
66
|
6
|
Northrop Grumman
|
AS
|
19.400
|
77
|
7
|
EADS
|
Trans Eropa
|
15.400
|
21
|
8
|
United Technologies
|
AS
|
13.460
|
22
|
9
|
Finmecanica
|
Perancis
|
12.530
|
57
|
10
|
L-3 Communication
|
AS
|
10.840
|
82
|
Industri pertahanan merupakan salah
satu faktor penting dalam mendukung kekuatan pertahanan suatu negara. Negara
yang memiliki industri pertahanan yang kuat, akan mempunyai kemampuan lebih
dalam kekuatan pertahanannya. Industri pertahanan yang kuat mempunyai dua efek
utama, yakni efek langsung terhadap pembangunan kemampuan pertahanan, serta
efek terhadap pembangunan ekonomi dan teknologi nasional. Dalam bidang
pembangunan kemampuan pertahanan, industri pertahanan yang kuat menjamin
pasokan kebutuhan alutsista dan sarana pertahanan secara berkelanjutan, yang
menjadi prasyarat mutlak bagi keleluasaan dan kepastian untuk menyusun rencana
pembangunan kemampuan pertahanan dalam jangka panjang, tanpa adanya
kekhawatiran akan faktor-faktor politik dan ekonomi, seperti embargo atau
pembatasan. Industri pertahanan dapat memberikan efek pertumbuhan ekonomi dan
industri nasional, yakni ikut menggairahkan pertumbuhan industri nasional yang
berskala internasional, penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup signifikan,
transfer teknologi yang dapat menggairahkan sektor penelitian, dan
pengembangan, sekaligus memenuhi kebutuhan sektor pendidikan nasional di bidang
sains dan teknologi.
Pengembangan
industri nasional bidang pertahanan, memerlukan kerja sama tiga pilar industri
pertahanan, yaitu (1) badan penelitian/pengembangan dan perguruan tinggi, (2)
industri, serta (3) Kemhan/TNI. Penyelenggaraan pengembangan industri
pertahanan sebagai penjabaran dari strategi raya (grand strategy) dilaksanakan oleh Kemhan dalam bentuk Komite
Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), yang bertugas untuk melaksanakan
sinkronisasi terhadap cetak biru (blue
print) pembangunan kekuatan pokok pertahanan serta cetak biru penelitian
dan pengembangan alutsista TNI. KKIP berperan sangat penting dalam fase
penelitian dan pengembangan alutsista sesuai tahapan diatas. KKIP dengan
melibatkan pengguna (Mabes Angkatan), bertugas menyinergikan BUMN (Badan Usaha
Milik Negara) dan BUMS (Badan Usaha Milik Swasta) agar mampu berperan dalam
memenuhi kebutuhan alutsista TNI secara bertahap dan berlanjut. BUMN Industri
Pertahanan (BUMNIP) di Indonesia antara lain PT Pindad, PT Dirgantara
Indonesia, PT PAL, PT Dahana dan PT LEN. Masing-masing BUMNIP tersebut memiliki
spesialisasi dan kekhususan tersendiri dalam rangka penentuan sebagai lead integrator, antara lain PTDI mampu
memproduksi alutsista pesawat terbang.
Berdasarkan
Undang-Undang RI nomor 16 tahun 2012, serta dihadapkan kepada tahapan LCC
alutsista, Pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membangun dan
mengembangkan industri pertahanan agar kuat, maju, mandiri dan berdaya saing.
Industri pertahanan tersebut meliputi industri alat utama, industri alat utama
dan penunjang, industri komponen dan pendukung serta industri bahan baku
Alutsista
identik dengan penguasaan teknologi tinggi serta integrasi berbagai teknologi.
Kemampuan industri pertahanan dalam membuat alutsista tidak dapat dikelompokkan
secara parsial. Sebagai contoh sebuah kapal perang yang dibangun oleh PT PAL,
bisa jadi menggunakan meriam buatan PT Pindad, sistem radio, ESM, IFF dan Combat Management System buatan PT LEN,
dan dilengkapi dengan Rudal Anti Kapal Permukaan atau roket yang merupakan
hasil kerjasama antara PTDI, PT Dahana dan lain-lain. KKIP harus mampu memetakan
kemampuan masing-masing BUMN dan BUMS dalam membuat alutsista yang handal.
Pengelompokan
industri pertahanan menurut fungsi dan teknologi pertahanan, meliputi:
a. Industri yang memproduksi
sarana-prasarana alutsista yang memfokuskan “daya gerak” (rantis, ranpur,
kapal, pesawat udara).
b. Industri yang dapat memproduksi
senjata, amunisi dan bahan peledak atau yang memfokuskan “daya tempur”.
c. Industri yang memproduksi peralatan
elektronika untuk keperluan produk K4IPP (Komando, Kendali, Komunikasi,
Komputer, Informasi, Pengamatan dan Pengintaian).
d. Industri yang bergerak di bidang
sistem senjata yang terintegrasi (Fire
Control System/Combat Management System)
e. Industri yang bergerak di bidang
perbekalan, baik yang mempunyai spesialisasi bekal makanan maupun bekal
perlengkapan perorangan/prajurit.
Peningkatan kemampuan industri pertahanan nasional yang memiliki
teknologi tinggi berkaitan dengan kualitas
penelitian dan pengembangan alutsista, dengan indikator keberhasilan sebagai
berikut:
a.
Lembaga penelitian dan pengembangan
industri pertahanan, dapat menjadi sarana mengejar ketertinggalan teknologi
militer dengan berperan aktif memenuhi persyaratan teknis alutsista TNI, serta
bekerja sama dengan KKIP, Litbang Angkatan/ Balitbang Kemhan serta perguruan
tinggi.
b. Munculnya produk-produk industri
pertahanan yang dapat dimanfaatkan TNI, bahkan dapat di ekspor.
c. Sinergi yang saling mendukung/menguntungkan antara Kementerian dan Lembaga yang bertanggung jawab atas
kesiapan alutsista. DPR, Kementerian PPN/Bappenas, Kemhan, Kemkeu, Kemenristek
Dikti, Perguruan Tinggi, Industri pertahanan, dan lembaga penelitian nasional,
dapat memahami perencanaan strategis, kebutuhan operasi, spesifikasi teknis dan
persyaratan kelaikan militer, dalam menghasilkan alutsista yang dikehendaki
pengguna.
d. Industri pertahanan memahami jabaran
skala prioritas alutsista yang dibutuhkan TNI, dalam rangka pembangunan
kekuatan pertahanan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan keuangan
negara.
e. Memperjuangkan alih teknologi dan
kandungan lokal sebanyak mungkin (>35%) dalam setiap kontrak pengadaan
alutsista, dengan memberi kesempatan kepada SDM Angkatan/Kemhan, industri
nasional dan lembaga penelitian dan pengembangan yang lain, untuk berperan
dalam alih teknologi.
f. Terpenuhinya kemampuan teknologi terhadap industri bahan baku pembuat
alutsista.
g. Terpenuhinya industri yang memiliki
kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai teknologi kesenjataan dalam bentuk
alutsista yang mempunyai daya gentar dan fire
power tinggi.
Saat ini KKIP,
Kemristek/Dikti, Kemhan dan TNI telah membangun landasan pijakan dalam bentuk
cetak biru tahapan yang perlu dilalui untuk mengembangkan alutsista sampai
dengan tahun 2024. Cetak biru tersebut merupakan perpaduan program antara KKIP,
Kemhan/TNI, Dewan Riset Nasional, dengan keterangan KKIP melaksanakan fungsi
sebagai pengambil kebijakan dalam industri pertahanan, Kemhan/TNI sebagai
pengguna yang memahami rencana pembangunan kekuatan pokok dan kekuatan ideal
pertahanan, Dewan Riset Nasional (DRN) yang berada di bawah koordinasi
Kemristek Dikti, membidani penelitian dan pengembangan bersifat riset terapan
tentang alutsista.
Teknologi
tinggi dan ilmu terapan Industri Pertahanan yang telah dikuasai dari proses
Industri Pertahanan dikembangkan pada perguruan tinggi nasional. Dalam meningkatkan sumber daya manusia yang diperlukan
untuk menguasai ilmu terapan Industri Pertahanan serta teknologi pertahanan dan
keamanan. Pemerintah mendorong kerja sama antar semua unsur kelembagaan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan jaringan informasi, ilmu
pengetahuan pertahanan dan keamanan, serta teknologi Industri Pertahanan.
Dalam
rangka meningkatkan kemampuan teknologi pertahanan dalam negeri, berdasarkan
Undang-Undang nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan perlu diambil
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengguna (Tentara Nasional
Indonesia) wajib menggunakan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan produksi
dalam negeri.
b. Pengguna wajib melakukan
pemeliharaan dan perbaikan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan di dalam
negeri.
c. Dalam hal Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan dalam negeri belum dapat dipenuhi oleh Industri
Pertahanan, Pengguna dan Industri Pertahanan dapat mengusulkan untuk
menggunakan produk luar negeri dengan pengadaan melalui proses langsung antar
Pemerintah atau kepada pabrikan.
d. Dalam hal kepentingan
strategis nasional, DPR memberikan pertimbangan dalam pengadaan produk Alat
Peralatan Pertahanan dan Keamanan tertentu sesuai dengan politik luar negeri
yang dijalankan Pemerintah.
e. Pengadaan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan produk luar negeri, harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1)
Alat Peralatan Pertahanan
dan Keamanan belum atau tidak bisa dibuat di dalam negeri;
2)
mengikutsertakan
partisipasi Industri Pertahanan;
3)
kewajiban alih teknologi;
4) jaminan tidak adanya
potensi embargo, kondisionalitas politik dan hambatan penggunaan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara;
5) adanya imbal dagang,
kandungan lokal dan/atau ofset paling rendah 85% (delapan puluh lima persen);
6) kandungan lokal dan/atau
ofset paling rendah 35% (tiga puluh lima persen) dengan peningkatan 10%
(sepuluh persen) setiap 5 (lima) tahun; dan
7) pemberlakuan ofset paling
lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Beberapa pengalaman yang
berkaitan dengan pemanfaatan teknologi industri pertahanan Amerika Serikat di
Indonesia, antara lain:
a.
Beberapa
alutsista TNI yang berasal dari Amerika Serikat cukup beragam, mulai pesawat
tempur, pesawat angkut, kapal perang, Rudal rudal
canggih hingga senapan serbu, namun demikian beberapa permasalahan yang terjadi
adalah dengan adanya pembatasan dalam bentuk embargo maupun pembatasan
operasional alutsista. Embargo senjata maupun suku cadang telah beberapa kali
dialami alutsista TNI sehingga melumpuhkan kesiapan tempur dan operasional.
Kebijakan yang berkaitan dengan export
licence alutsista, suku cadang, senjata maupun sistem kesenjataan sangat
ditentukan oleh Pemerintah Amerika Serikat, pihak perusahaan tidak mempunyai
kewenangan berkaitan dengan kebijakan ekspor kepada negara pengguna.
b.
Keterbatasan alih teknologi. Beberapa
peralatan Alutsista yang dimiliki tidak dilengkapi dengan special tools dan test bench,
sehingg terjadi ketergantungan dengan pabrik pembuat.
c. Pemerintah
Amerika Serikat menerapkan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan alutsistanya
dengan katagori: (1) dalam negeri Amerika Serikat, (2) negara sahabat, (2)
negara aliansi, (3) negara netral, (5) negara musuh. Indonesia masuk dalam
kategori negara netral sehingga beberapa kategori senjata dan alutsista dengan
presisi tertentu masih belum diijinkan untuk dimiliki (contoh Gyro kompas
dengan presisi sangat tinggi masih belum diijinkan untuk dibeli oleh Indonesia).
Langganan:
Postingan (Atom)
Berkaca Pada Negara Maritim Norway Yang Saya Kunjungi
Selama beberapa hari berkunjung ke Oslo sbg ibukota negara Norway dlm rangka mengikuti sidang FAO, banyak pelajaran yg saya anggap berm...
-
Oleh :Laksda TNI Agus Setiadji, S.AP Posisi geografi sebagai negara maritim telah mewujudkan Indone...
-
Oleh: Laksamana Muda TNI Agus Setiadji S.AP PENDAHULUAN Berdirinya sebuah negara tidak terlepas dari bagaimana proses pembentuk...